ORANG-orang tua kuno dulu suka menasihati anak mereka: kalau buang air kecil, jangan sembarangan. Nanti "yang tunggu" marah. Maka, jika mau buang air di tempat yang tak dikenal, bilang dulu pada langit: "numpang kencing". Atau, "maaf, mau kencing, mbah".
Deffan (39) punya pengalaman tentang akibat kencing sembarangan ini. Suatu hari tujuh tahun lalu, demikian Deffan menuturkan pengalamannya Rabu (22/10) ia, tak tahan untuk buang air kecil dalam perjalanan antara Cirebon-Kuningan. Maka, dia pun turun dari mobil dan cari tempat kencing di balik pohon yang rindang. Tentunya, "tanpa permisi".
Beberapa langkah dari pohon, usai kencing, dia merasa bagian punggungnya ada yang memegangi. Semakin jauh semakin terasa. Makhluk haluskah? Marahkah ia karena tempatnya dikencingi tanpa permisi?
Maka, Deffan pun kembali ke pohon tadi sambil mohon maaf, serta membaca ayat pengusir setan. Tak berapa lama, "beban" di punggungnya pun hilang. Sejak itu, Deffan selalu "minta permisi" setiap kali buang air kecil di tempat yang tak ia kenal.
Lain lagi kejadian yang dialami seorang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Dia bukan kencing sembarangan di balik pohon, tetapi di pinggiran sungai. Suatu hari ia datang ke bekas lokasi Batu Tapak Kaki Raja Purnawarman di tepi Sungai Ciaruteun, Ciampea, Bogor untuk mengambil gambar letak semula prasasti Ciaruteun itu.
Usai memotret, karena tak tahan kencing, dia pun dengan enaknya kencing di tepi sungai tak jauh dari lokasi prasasti. Tetapi, guru besar itu merasa seperti ada yang menggotong dan kemudian menceburkannya ke sungai. Sopirnya sempat mencari. Sang guru besar itu tiba-tiba muncul dengan basah kuyup pakaiannya.
Sumber: Kompas
0 komentar :
Posting Komentar