Sekelompok siswi SMA Negeri Gondang, Tulungagung, yang menamakan dirinya sebagai Geng Nyik-Nyik melakukan tindak kekerasan terhadap siswi lainnya, yang umumnya adik kelas mereka. Aksi kelompok siswi nakal itu terbongkar setelah beberapa orangtua korban mendatangi sekolah tersebut untuk melaporkan adanya tindak kekerasan terhadap anak mereka.
"Sudah lama saya diperlakukan kasar oleh mereka, tapi baru kali ini saya mengadu pada orangtua karena tak tahan," kata seorang siswi SMA Negeri Gondang berinisial Oi, ketika ditemui melaporkan kasusnya ke sekolah, Selasa (21/10).
Selain Oi, Vit juga melaporkan masalah itu dengan menunjukkan ponsel yang berisi tayangan tindak kekerasan Geng Nyik-Nyik di sekolah itu. Tayangan ini diperoleh Vit dari seorang teman yang diam-diam merekam aksi brutal Geng Nyik Nyik terhadap para junior.
Dalam tayangan itu sekelompok siswi yang tergabung dalam Geng Nyik Nyik melakukan penganiayaan terhadap beberapa orang siswi dengan cara menampar muka dan menjambak rambut korban.
Menurut kantor berita Antara, Geng Nyik Nyik itu terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama beranggotakan siswi Kelas III yang dipimpin oleh siswi berinisial Prs, warga Desa/Kecamatan Kedungwaru dan Dna, warga Desa/Kecamatan Boyolangu. Sedangkan kelompok kedua beranggotakan siswi Kelas II dengan koordinator Jvt, PPt, dan Lli.
"Mereka ini tidak segan-segan melukai para siswi Kelas I yang tidak mau membelikan makanan atau mentraktir mereka di kantin sekolah," kata Vit.
Kepala Sekolah SMA Negeri Gondang, Panut Adi Suwignyo, mengaku baru mengetahui adanya geng yang mirip dengan Geng Nero (yang juga beranggotakan para siswi) di Pati, Jawa Tengah, setelah menerima laporan dari para orangtua korban.
"Saya baru tahu dari laporan orangtua siswi pada 15 Oktober 2008 lalu. Saya sudah menindaklanjuti semua persoalan ini," kata Panut, Selasa (21/10).
Pihaknya sudah memanggil beberapa siswi yang diduga melakukan serangkaian tindak kekerasan terhadap juniornya itu. "Mereka sudah saya peringatkan. Jika tidak mematuhi peringatan itu, mereka akan kami keluarkan," kata Panut seraya menyebutkan, siswi yang tergabung dalam geng itu berjumlah enam orang.
Kepala Dinas Pendidikan Tulungagung, Maryoto Birowo, mengaku kaget ketika dimintai tanggapannya kemarin tentang munculnya geng kekerasan di kalangan pelajar putri di wilayah kerjanya.
“Masak ada yang seperti itu. Biasanya, para pelajar di kota kecil seperti Tulungagung ini ya ramai-ramai ketika kelulusan sekolah saja. Tetapi, besok (hari ini, red) akan saya cek kasus tersebut,” ucap Maryoto kepada Surya.
Yang jelas, tambah Maryoto, jika benar demikian keadaannya dan tindakan geng tersebut belum sampai ditangani oleh pihak kepolisian, maka Dinas Pendidikan akan melakukan pembinaan intensif. Termasuk dalam kategori pembinaan itu, kata Maryoto, adalah pemberian sanksi. “Tapi, jika sudah mengarah ke tindak kriminal, ya tentu aparat kepolisian yang akan menangani,” kata dia. “Yang jelas, kejadian semacam ini belum pernah ada sebelumnya di Tulungagung.”
Sementara itu Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Zainuddin Maliki menyebut fenomena kekerasan yang dilakukan sekelompok geng siswi merupakan akibat minimnya wadah bagi para remaja, khususnya siswi, untuk menyalurkan bakat, hobi dan kelebihannya. Itu bisa berupa guru di sekolah yang kurang memberi wadah untuk aktualisasi diri bagi muridnya. Akibatnya, para siswi pun mencari `penyaluran` sendiri yang kurang terarah, yang kerapkali berakibat negatif. Baik bagi dirinya maupun lingkungannya.
Selain itu, kata Zainudin, sistem pembelajaran kolaboratif juga belum banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia. “Remaja punya kecenderungan untuk bergaul dengan peer group-nya atau berkelompok dengan rekan seusia. Semestinya, kecenderungan itu bisa diwadahi oleh sekolah atau guru dalam sebuah kegiatan yang positif. Wadah itu tak harus terkait dengan pelajaran di kelas agar para murid tidak merasa bosan,” terang Zainudin.
Sebetulnya, menurut Zainudin, perilaku kekerasan dan kasar dari kelompok seperti Geng Nyik Nyik itu merupakan wujud dari aktualisasi diri yang tak terarah atau keliru.
“Dengan berlaku kasar, mereka menemukan aktualisasinya dan menjadi bangga karena kelompoknya ditakuti dan bisa bertindak arogan pada yang lemah,” jelasnya.
Diakui Zainudin, faktor penyebab tindak kekerasan itu sebenarnya tidak tunggal seperti tiadanya wadah bagi aktualisasi diri di sekolah. Faktor lingkungan keluarga di rumah juga berperan dalam membentuk sikap negative tersebut.
“Cuma, dalam konteks sekolah, umumnya munculnya perilaku kekerasan pelajar yang demikian itu, dipicu oleh kejenuhan terhadap pelajaran di sekolah,” sambungnya.Solusi yang ditawarkan Zainudin, para guru semestinya kreatif dalam menggunakan metode pembelajaran.
“Ada variasi-variasi pembelajaran dengan sistem kolaboratif,” katanya. Misalnya pada saat mata pelajaran biologi, murid tidak hanya diajari teori di dalam kelas. Murid bisa diajak ke Sungai Brantas mengenal biota sungai. Untuk pelajaran gizi, murid bisa diajak ke bagian gizi di rumah sakit; dan untuk pelajaran kewarganegaraan, murid bisa diajak berkunjung ke gedung DPRD atau kantor pemerintah kota/kabupaten.
Orangtua sebetulnya juga punya peran untuk mengarahkan kepribadian anak-anaknya yang masih berusia remaja, namun peran guru lebih besar mengingat guru berada di sisi mereka pada jam-jam beraktivitas.
“Guru juga harus memperkaya ide pembelajaran. Sebab belajar teori di dalam kelas saja hanya akan menciptakan pemikiran abstrak. Agar lebih konkret, murid perlu diajak studi ke luar ruangan dan bersentuhan langsung dengan obyek yang menjadi pembelajaran,” jelasnya.
Jika bersekolah menjadi menyenangkan, lanjut Zainudin, maka aktualisasi diri yang menyimpang dari para siswa (termasuk siswi) bisa diminimalisasi. “Bersekolah akhirnya menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan, sehingga para murid tak punya kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya secara liar,” kata Zainudin
Sumber: Surya.co.id
"Sudah lama saya diperlakukan kasar oleh mereka, tapi baru kali ini saya mengadu pada orangtua karena tak tahan," kata seorang siswi SMA Negeri Gondang berinisial Oi, ketika ditemui melaporkan kasusnya ke sekolah, Selasa (21/10).
Selain Oi, Vit juga melaporkan masalah itu dengan menunjukkan ponsel yang berisi tayangan tindak kekerasan Geng Nyik-Nyik di sekolah itu. Tayangan ini diperoleh Vit dari seorang teman yang diam-diam merekam aksi brutal Geng Nyik Nyik terhadap para junior.
Dalam tayangan itu sekelompok siswi yang tergabung dalam Geng Nyik Nyik melakukan penganiayaan terhadap beberapa orang siswi dengan cara menampar muka dan menjambak rambut korban.
Menurut kantor berita Antara, Geng Nyik Nyik itu terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama beranggotakan siswi Kelas III yang dipimpin oleh siswi berinisial Prs, warga Desa/Kecamatan Kedungwaru dan Dna, warga Desa/Kecamatan Boyolangu. Sedangkan kelompok kedua beranggotakan siswi Kelas II dengan koordinator Jvt, PPt, dan Lli.
"Mereka ini tidak segan-segan melukai para siswi Kelas I yang tidak mau membelikan makanan atau mentraktir mereka di kantin sekolah," kata Vit.
Kepala Sekolah SMA Negeri Gondang, Panut Adi Suwignyo, mengaku baru mengetahui adanya geng yang mirip dengan Geng Nero (yang juga beranggotakan para siswi) di Pati, Jawa Tengah, setelah menerima laporan dari para orangtua korban.
"Saya baru tahu dari laporan orangtua siswi pada 15 Oktober 2008 lalu. Saya sudah menindaklanjuti semua persoalan ini," kata Panut, Selasa (21/10).
Pihaknya sudah memanggil beberapa siswi yang diduga melakukan serangkaian tindak kekerasan terhadap juniornya itu. "Mereka sudah saya peringatkan. Jika tidak mematuhi peringatan itu, mereka akan kami keluarkan," kata Panut seraya menyebutkan, siswi yang tergabung dalam geng itu berjumlah enam orang.
Kepala Dinas Pendidikan Tulungagung, Maryoto Birowo, mengaku kaget ketika dimintai tanggapannya kemarin tentang munculnya geng kekerasan di kalangan pelajar putri di wilayah kerjanya.
“Masak ada yang seperti itu. Biasanya, para pelajar di kota kecil seperti Tulungagung ini ya ramai-ramai ketika kelulusan sekolah saja. Tetapi, besok (hari ini, red) akan saya cek kasus tersebut,” ucap Maryoto kepada Surya.
Yang jelas, tambah Maryoto, jika benar demikian keadaannya dan tindakan geng tersebut belum sampai ditangani oleh pihak kepolisian, maka Dinas Pendidikan akan melakukan pembinaan intensif. Termasuk dalam kategori pembinaan itu, kata Maryoto, adalah pemberian sanksi. “Tapi, jika sudah mengarah ke tindak kriminal, ya tentu aparat kepolisian yang akan menangani,” kata dia. “Yang jelas, kejadian semacam ini belum pernah ada sebelumnya di Tulungagung.”
Sementara itu Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Zainuddin Maliki menyebut fenomena kekerasan yang dilakukan sekelompok geng siswi merupakan akibat minimnya wadah bagi para remaja, khususnya siswi, untuk menyalurkan bakat, hobi dan kelebihannya. Itu bisa berupa guru di sekolah yang kurang memberi wadah untuk aktualisasi diri bagi muridnya. Akibatnya, para siswi pun mencari `penyaluran` sendiri yang kurang terarah, yang kerapkali berakibat negatif. Baik bagi dirinya maupun lingkungannya.
Selain itu, kata Zainudin, sistem pembelajaran kolaboratif juga belum banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia. “Remaja punya kecenderungan untuk bergaul dengan peer group-nya atau berkelompok dengan rekan seusia. Semestinya, kecenderungan itu bisa diwadahi oleh sekolah atau guru dalam sebuah kegiatan yang positif. Wadah itu tak harus terkait dengan pelajaran di kelas agar para murid tidak merasa bosan,” terang Zainudin.
Sebetulnya, menurut Zainudin, perilaku kekerasan dan kasar dari kelompok seperti Geng Nyik Nyik itu merupakan wujud dari aktualisasi diri yang tak terarah atau keliru.
“Dengan berlaku kasar, mereka menemukan aktualisasinya dan menjadi bangga karena kelompoknya ditakuti dan bisa bertindak arogan pada yang lemah,” jelasnya.
Diakui Zainudin, faktor penyebab tindak kekerasan itu sebenarnya tidak tunggal seperti tiadanya wadah bagi aktualisasi diri di sekolah. Faktor lingkungan keluarga di rumah juga berperan dalam membentuk sikap negative tersebut.
“Cuma, dalam konteks sekolah, umumnya munculnya perilaku kekerasan pelajar yang demikian itu, dipicu oleh kejenuhan terhadap pelajaran di sekolah,” sambungnya.Solusi yang ditawarkan Zainudin, para guru semestinya kreatif dalam menggunakan metode pembelajaran.
“Ada variasi-variasi pembelajaran dengan sistem kolaboratif,” katanya. Misalnya pada saat mata pelajaran biologi, murid tidak hanya diajari teori di dalam kelas. Murid bisa diajak ke Sungai Brantas mengenal biota sungai. Untuk pelajaran gizi, murid bisa diajak ke bagian gizi di rumah sakit; dan untuk pelajaran kewarganegaraan, murid bisa diajak berkunjung ke gedung DPRD atau kantor pemerintah kota/kabupaten.
Orangtua sebetulnya juga punya peran untuk mengarahkan kepribadian anak-anaknya yang masih berusia remaja, namun peran guru lebih besar mengingat guru berada di sisi mereka pada jam-jam beraktivitas.
“Guru juga harus memperkaya ide pembelajaran. Sebab belajar teori di dalam kelas saja hanya akan menciptakan pemikiran abstrak. Agar lebih konkret, murid perlu diajak studi ke luar ruangan dan bersentuhan langsung dengan obyek yang menjadi pembelajaran,” jelasnya.
Jika bersekolah menjadi menyenangkan, lanjut Zainudin, maka aktualisasi diri yang menyimpang dari para siswa (termasuk siswi) bisa diminimalisasi. “Bersekolah akhirnya menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan, sehingga para murid tak punya kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya secara liar,” kata Zainudin
Sumber: Surya.co.id
0 komentar :
Posting Komentar