Beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan keberatan atas rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi.
Pernyataan yang diteken anggota DPD asal Sulawesi Tenggara Laode Ida mewakili para penolak disampaikan kepada Balkan Kaplale, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pornografi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagai perorangan yang mewakili kepentingan daerah serta menjaga keseimbangan antar-daerah dan antara pusat dengan daerah secara adil dan serasi, beberapa anggota DPD mengajukan keberatan setelah mengakomodasi aspirasi daerahnya masing-masing.
Selain Laode, yang meneken pernyataan antara lain keempat anggota DPD asal Bali (I Wayan Sudirta, Ida Ayu Agung Mas, Nyoman Rudana, Ida Bagus Gede Agastia (Bali)), Muspani (Bengkulu), Benyamin Bura (Sulawesi Selatan), Tonny Tesar (Papua), Lundu Panjaitan (Sumatera Utara).
“Substansi yang terkandung dalam pasal dan ayat RUU Pornografi, khususnya definisi pornografi, bertentangan dengan realitas masyarakat yang memiliki kebhinnekaan,” demikian satu dari enam butir pernyataannya tertanggal 18 September 2008 itu.
Jika substansinya dipaksakan justru mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas yang bukan mustahil memicu sentimen disintegrasi bangsa.
“Hak atas tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapa pun. Karenanya, siapa pun juga tak terkecuali negara harus melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia,” tegas para anggota DPD.
Karenanya, selain tidak diperlukan RUU Pornografi, RUU ini sangat berbahaya karena mengatasnamakan membangun moralitas masyarakat menjadikannya sebagai hukum positif yang mengikat.
Kemudian, memosisikan negara sangat menentukan persoalan moralitas, khususnya menyangkut tubuh perempuan, serta memasung kebebasan berekspresi sebagai hak dasar manusia. “Dengan kata lain, negara telah memasuki dan mengintervensi ruang privat warganya.”
Selama ini pun, sambung mereka, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat prinsip dan ketentuan hukum materi kesusilaan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
UU 32/2002 tentang Penyiaran, UU 40/1999 tentang Pers, UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Dalam proses pembahasan RUU Pornografi, Pansus RUU Pornografi DPR tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga secara hukum cacat karena melanggar prinsip asas-asas umum tata pemerintahan yang baik,” tegas para anggota DPD.
Sumber: inilah.com
Pernyataan yang diteken anggota DPD asal Sulawesi Tenggara Laode Ida mewakili para penolak disampaikan kepada Balkan Kaplale, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pornografi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagai perorangan yang mewakili kepentingan daerah serta menjaga keseimbangan antar-daerah dan antara pusat dengan daerah secara adil dan serasi, beberapa anggota DPD mengajukan keberatan setelah mengakomodasi aspirasi daerahnya masing-masing.
Selain Laode, yang meneken pernyataan antara lain keempat anggota DPD asal Bali (I Wayan Sudirta, Ida Ayu Agung Mas, Nyoman Rudana, Ida Bagus Gede Agastia (Bali)), Muspani (Bengkulu), Benyamin Bura (Sulawesi Selatan), Tonny Tesar (Papua), Lundu Panjaitan (Sumatera Utara).
“Substansi yang terkandung dalam pasal dan ayat RUU Pornografi, khususnya definisi pornografi, bertentangan dengan realitas masyarakat yang memiliki kebhinnekaan,” demikian satu dari enam butir pernyataannya tertanggal 18 September 2008 itu.
Jika substansinya dipaksakan justru mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas yang bukan mustahil memicu sentimen disintegrasi bangsa.
“Hak atas tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapa pun. Karenanya, siapa pun juga tak terkecuali negara harus melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia,” tegas para anggota DPD.
Karenanya, selain tidak diperlukan RUU Pornografi, RUU ini sangat berbahaya karena mengatasnamakan membangun moralitas masyarakat menjadikannya sebagai hukum positif yang mengikat.
Kemudian, memosisikan negara sangat menentukan persoalan moralitas, khususnya menyangkut tubuh perempuan, serta memasung kebebasan berekspresi sebagai hak dasar manusia. “Dengan kata lain, negara telah memasuki dan mengintervensi ruang privat warganya.”
Selama ini pun, sambung mereka, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat prinsip dan ketentuan hukum materi kesusilaan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
UU 32/2002 tentang Penyiaran, UU 40/1999 tentang Pers, UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Dalam proses pembahasan RUU Pornografi, Pansus RUU Pornografi DPR tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga secara hukum cacat karena melanggar prinsip asas-asas umum tata pemerintahan yang baik,” tegas para anggota DPD.
Sumber: inilah.com
0 komentar :
Posting Komentar