Sabtu (16/8), dua gadis yang hanya bertemu melalui korespondensi, Nada Luthfiyyah (12 tahun) asal Aceh dan Maggie (13 tahun) dari Amerika Serikat, akan diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani, di Wisma Negara, Jakarta. Keduanya akan beraudiensi dan memakaikan gelang persahabatan kepada SBY dan Ibu Ani.
Kisah dua gadis dari dua benua yang berjauhan itu sungguh unik. Nada adalah gadis yatim piatu korban tsunami Aceh. Sedangkan Maggie adalah gadis cilik dari kota kecil di Amerika Serikat bernama Charlevoix, Michigan. Kedua gadis cilik tersebut dipertemukan secara kebetulan oleh sejarah ketika Presiden SBY menjadi kurir surat Maggie kepada Nada dan surat Nada ke Maggie. Surat Nada dan Maggie dibacakan oleh Presiden di Gedung Putih, AS, pada acara the Asia-Pacific American Heritage Event, 25 Mei 2005.
Selain akan diterima SBY dan Ibu Ani, Nada dan Maggie juga akan mengikuti serangkaian program dalam rangka Peringatan HUT ke-63 RI, 15-26 Agustus 2008. Antara lain, mengunjungi beberapa sekolah di Jakarta dan wisata ke Taman Mini Indonesia Indah. Maggie dan Keluarga juga dijadwalkan melakukan kunjungan ke Nanggroe Aceh Darussalam, Medan, dan Yogyakarta .
Juru Bicara Presiden, Dino Patti Djalal, punya cerita menarik mengenai kedua gadis tersebut. Cerita itu ia tuangkan dalam salah satu judul "Pemimpin yang Menyentuh Hati dan Menyembuhkan Luka" pada buku Harus Bisa, yang telah beredar beberapa waktu lalu. Beikut kutipannya:
...Dari seluruh kunjungan Presiden SBY ke luar negeri, salah satu momen yang paling menyentuh adalah ke tika SBY menjadi ‘kurir surat’ sekaligus penghubung antara seorang gadis yatim piatu di Aceh dan seorang gadis cilik di Michigan.
Ceritanya bermula di awal 2005. Waktu itu, saya mengadakan pertemuan dengan mitra kerja saya di Gedung Putih, Washington DC. Dalam kunjungan tersebut, saya mendapatkan sepucuk surat yang ditulis oleh seorang anak SD di Charlevoix, Michigan, bernama Maggie.
Surat tersebut ditulis Maggie untuk anak-anak di Aceh, namun karena tidak tahu kepada siapa akan di alamatkan, akhirnya sekolahnya mengirim surat itu ke Gedung Putih. Waktu itu, berita tsunami yang disiarkan setiap hari di televisi memang mengguncang Amerika Serikat, dan menyentuh hati rakyatnya. Mantan Presiden Bill Clinton menyatakan bahwa sepertiga dari seluruh rumah tangga di AS memberi sumbangan untuk korban tsunami.
Saya memang sempat terharu sewaktu membaca surat itu, karena isinya yang polos, tulus dan penuh kasih sayang yang murni dari seorang anak kecil, dan langsung ada perasaan di hati saya bahwa akan ada peristiwa yang spesial kelak—namun baru sekedar firasat.
Saya segera menawarkan untuk membawa surat itu ke Indonesia. Ketika kembali ke Jakarta, saya menceritakan perihal surat ini kepada Presiden. SBY ternyata sangat tertarik terhadap surat Maggie ini. Instruksi beliau: “Sampaikan surat ini kepada (Kepala BRR) Pak Kuntoro. Sampaikan permintaan saya agar beliau dapat meneruskan surat ini kepada anak-anak di Aceh. Biarlah mereka membacanya dan mudah-mudahan salah satu dari mereka dapat membalas surat ini. Perhatikan hal ini baik-baik dan laporkan terus kepada saya, Din." Pesan tersebut segera saya sampaikan pada Dr. Kuntoro Mangkusubroto, yang berjanji akan menindaklanjutinya.
Beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa surat itu telah sampai ke tangan seorang anak yang selamat dari bencana tsunami. Anak itu adalah Nada Lutfiyyah, yang telah menjadi yatim piatu karena ayah, ibu dan semua saudara-saudaranya hilang dibawa ombak tsunami. Nada kini tinggal dengan seorang sepupunya di Banda Aceh.
Surat balasan dari Nada kepada Maggie lebih mengharukan lagi: ada kepedihan yang dipendam, namun juga ada harapan dan kerinduan akan kasih sayang. Jujurnya, saya menangis begitu membaca surat Nada itu. Nada juga mengirim ikatan rambut untuk Maggie yang dilampirkan dalam surat itu.
Ketika saya melaporkan surat Nada ke Presiden, SBY sedang sibuk mempersiapkan rencana serangkaian kunjungan ke Amerika Serikat, Jepang dan Vietnam. Di sinilah timbul gagasan kreatif: surat tersebut tidak akan dikirim dulu kepada Maggie di Michigan, namun akan dibacakan SBY dalam suatu acara resmi di Gedung Putih yang banyak diliput media. Kebetulan pada tanggal 25 Mei 2005, Presiden Bush mengundang Presiden SBY untuk memberi pidato pa da acara The Asia -Pacific American Heritage Event, di Gedung Putih. Di sanalah SBY akan membuat kejutan tersebut.
Pada hari-H, setelah mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden George W. Bush di Oval Office, kedua pemimpin menuju ruangan di Gedung Putih, dimana sudah menunggu sejumlah elit politik dan tokoh-tokoh Amerika keturunan Asia. Presiden George W. Bush memulai dengan sebuah pidato singkat—sekitar 3 menit saja, sesuai dengan skenario protokol. Setelah Presiden Bush selesai ber pidato, tiba giliran Presiden SBY. Beliau berpidato tentang tsunami, kepahlawanan dan solidaritas kemanusiaan.
Di pertengahan pidato, beliau merujuk pada surat Maggie, dan membaca surat itu kepada hadirin: “Hi, I hope your family and friends are okay. In church, I pray for you and your country. In school, we are raising money for your country. We have a loose change bucket and kids bring money in. Also, we are making tsunami bracelets to raise money too. I have made you one. I hope you like it. I will continue praying for you and your country in church. Your friend, Maggie.”
Presiden SBY kemudian merujuk pada surat balasan Nada kepada Maggie. Sebelumnya, Presiden SBY menunjukkan foto Nada dari podium. Namun Presiden SBY menunjukkan foto Nada dalam posisi terbalik, dan Presiden Bush membantu membetulkan letak foto itu—semua hadirin tertawa. SBY membaca surat Nada yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris: “My good friend, hello friend. My name is Nada Lutfiyyah. I was so happy and my heart was touched to receive the letter you sent us. My family—my dad, mom,older brother and younger brother—have disappeared, and now I live with my cousin. I am so glad you are paying attention to us here. I hope to receive your bracelet in the coming days because I want to wear it on my arm to remind me that I have a new friend.”
Semua orang yang hadir, termasuk wartawan, berlinangan air mata. Saya melihat mata Presiden Bush berkaca-kaca. Presiden SBY mengakhiri pidatonya: “These two letters are extraordinary both on the words they conveyed and in the fact that two youngster from entirely different backgrounds made a connection. An American girl who prays at church, collect loose change and make bracelets for tsunami kids two oceans away. An Indonesian Muslim girl who lost all her family and wants to kill the pain and is eager just to be a kid again, just like Maggie. I think the world would be a better place if all of us start to have connections and conversations the way Maggie and Nada did.”
Sebenarnya Presiden SBY hanya diacarakan bicara 3 menit, tidak lebih dari Presiden Bush. Biasanya protokol Amerika akan langsung cerewet kalau protokol dilanggar, tapi kali itu tidak ada satu pun yang protes karena memang semuanya terbawa suasana yang sangat mengharukan. Tepuk tangan panjang membahana seusai Presiden SBY berpidato. Presiden Bush langsung menjabat erat-erat tangan SBY. Saya sempat mendengar seseorang di antara hadirin berkata: “That was one of the most brilliant and touching speeches I ever heard.”
Seusai acara itu, Presiden SBY segera menugaskan Duta Besar Indonesia di AS, Soemadi Brotodiningrat, ke Michigan untuk secara langsung membawa dan menyampaikan surat Nada kepada Maggie. Di sana, Dubes Soemadi disambut dalam upacara resmi, dihadiri seluruh siswa SD K-6 Charlevoix dan para orang tua, termasuk pejabat Walikota. Maggie sama sekali tidak menyangka suratnya itu akan berbuntut panjang, dan baik Maggie maupun se luruh SD kini merasa ada koneksi emosional yang riil dengan Indonesia yang selama ini hanya mereka baca di buku.
Cerita ini masih berlanjut terus. Nada selalu ingin bertemu dengan SBY, namun tidak pernah kesampaian karena faktor jarak antara Aceh dan Jakarta . Akhirnya, pada bulan Desember 2005, Nada Luthfiyyah berhasil mewujudkan mimpinya selama ini. SBY sedang memberikan pidato peringatan setahun tsunami di Ulelee, Aceh. Nada dengan sabar menunggu di pinggir podium, bersama anak yatim piatu lainnya. Setelah SBY selesai dan beranjak meninggalkan tempat acara, beliau dihadang oleh Nada, dan langsung saya perkenalkan kepada SBY.
SBY: “Oo, ini yang namanya Nada. Belajar terus yang baik ya nak.” Ibu Ani yang berada di samping SBY langsung memeluk Nada dengan penuh kasih sayang. Nada, yang kini sudah bisa tersenyum, hanya ter sipu-sipu, dan kehilangan kata.
Peristiwa ini merupakan pembelajaran bagi diplomat Indonesia: tugas mereka bukan saja untuk menjaga hubungan dengan pejabat Pemerintah setempat, namun juga untuk belajar bergaul dan menyentuh hati rakyat dimanapun mereka berada. Dan caranya tidak terlalu sulit: asal kreatif, bertujuan baik, dan harus datang dari hati. (*)
Sumber: www.presidensby.info
Kisah dua gadis dari dua benua yang berjauhan itu sungguh unik. Nada adalah gadis yatim piatu korban tsunami Aceh. Sedangkan Maggie adalah gadis cilik dari kota kecil di Amerika Serikat bernama Charlevoix, Michigan. Kedua gadis cilik tersebut dipertemukan secara kebetulan oleh sejarah ketika Presiden SBY menjadi kurir surat Maggie kepada Nada dan surat Nada ke Maggie. Surat Nada dan Maggie dibacakan oleh Presiden di Gedung Putih, AS, pada acara the Asia-Pacific American Heritage Event, 25 Mei 2005.
Selain akan diterima SBY dan Ibu Ani, Nada dan Maggie juga akan mengikuti serangkaian program dalam rangka Peringatan HUT ke-63 RI, 15-26 Agustus 2008. Antara lain, mengunjungi beberapa sekolah di Jakarta dan wisata ke Taman Mini Indonesia Indah. Maggie dan Keluarga juga dijadwalkan melakukan kunjungan ke Nanggroe Aceh Darussalam, Medan, dan Yogyakarta .
Juru Bicara Presiden, Dino Patti Djalal, punya cerita menarik mengenai kedua gadis tersebut. Cerita itu ia tuangkan dalam salah satu judul "Pemimpin yang Menyentuh Hati dan Menyembuhkan Luka" pada buku Harus Bisa, yang telah beredar beberapa waktu lalu. Beikut kutipannya:
...Dari seluruh kunjungan Presiden SBY ke luar negeri, salah satu momen yang paling menyentuh adalah ke tika SBY menjadi ‘kurir surat’ sekaligus penghubung antara seorang gadis yatim piatu di Aceh dan seorang gadis cilik di Michigan.
Ceritanya bermula di awal 2005. Waktu itu, saya mengadakan pertemuan dengan mitra kerja saya di Gedung Putih, Washington DC. Dalam kunjungan tersebut, saya mendapatkan sepucuk surat yang ditulis oleh seorang anak SD di Charlevoix, Michigan, bernama Maggie.
Surat tersebut ditulis Maggie untuk anak-anak di Aceh, namun karena tidak tahu kepada siapa akan di alamatkan, akhirnya sekolahnya mengirim surat itu ke Gedung Putih. Waktu itu, berita tsunami yang disiarkan setiap hari di televisi memang mengguncang Amerika Serikat, dan menyentuh hati rakyatnya. Mantan Presiden Bill Clinton menyatakan bahwa sepertiga dari seluruh rumah tangga di AS memberi sumbangan untuk korban tsunami.
Saya memang sempat terharu sewaktu membaca surat itu, karena isinya yang polos, tulus dan penuh kasih sayang yang murni dari seorang anak kecil, dan langsung ada perasaan di hati saya bahwa akan ada peristiwa yang spesial kelak—namun baru sekedar firasat.
Saya segera menawarkan untuk membawa surat itu ke Indonesia. Ketika kembali ke Jakarta, saya menceritakan perihal surat ini kepada Presiden. SBY ternyata sangat tertarik terhadap surat Maggie ini. Instruksi beliau: “Sampaikan surat ini kepada (Kepala BRR) Pak Kuntoro. Sampaikan permintaan saya agar beliau dapat meneruskan surat ini kepada anak-anak di Aceh. Biarlah mereka membacanya dan mudah-mudahan salah satu dari mereka dapat membalas surat ini. Perhatikan hal ini baik-baik dan laporkan terus kepada saya, Din." Pesan tersebut segera saya sampaikan pada Dr. Kuntoro Mangkusubroto, yang berjanji akan menindaklanjutinya.
Beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa surat itu telah sampai ke tangan seorang anak yang selamat dari bencana tsunami. Anak itu adalah Nada Lutfiyyah, yang telah menjadi yatim piatu karena ayah, ibu dan semua saudara-saudaranya hilang dibawa ombak tsunami. Nada kini tinggal dengan seorang sepupunya di Banda Aceh.
Surat balasan dari Nada kepada Maggie lebih mengharukan lagi: ada kepedihan yang dipendam, namun juga ada harapan dan kerinduan akan kasih sayang. Jujurnya, saya menangis begitu membaca surat Nada itu. Nada juga mengirim ikatan rambut untuk Maggie yang dilampirkan dalam surat itu.
Ketika saya melaporkan surat Nada ke Presiden, SBY sedang sibuk mempersiapkan rencana serangkaian kunjungan ke Amerika Serikat, Jepang dan Vietnam. Di sinilah timbul gagasan kreatif: surat tersebut tidak akan dikirim dulu kepada Maggie di Michigan, namun akan dibacakan SBY dalam suatu acara resmi di Gedung Putih yang banyak diliput media. Kebetulan pada tanggal 25 Mei 2005, Presiden Bush mengundang Presiden SBY untuk memberi pidato pa da acara The Asia -Pacific American Heritage Event, di Gedung Putih. Di sanalah SBY akan membuat kejutan tersebut.
Pada hari-H, setelah mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden George W. Bush di Oval Office, kedua pemimpin menuju ruangan di Gedung Putih, dimana sudah menunggu sejumlah elit politik dan tokoh-tokoh Amerika keturunan Asia. Presiden George W. Bush memulai dengan sebuah pidato singkat—sekitar 3 menit saja, sesuai dengan skenario protokol. Setelah Presiden Bush selesai ber pidato, tiba giliran Presiden SBY. Beliau berpidato tentang tsunami, kepahlawanan dan solidaritas kemanusiaan.
Di pertengahan pidato, beliau merujuk pada surat Maggie, dan membaca surat itu kepada hadirin: “Hi, I hope your family and friends are okay. In church, I pray for you and your country. In school, we are raising money for your country. We have a loose change bucket and kids bring money in. Also, we are making tsunami bracelets to raise money too. I have made you one. I hope you like it. I will continue praying for you and your country in church. Your friend, Maggie.”
Presiden SBY kemudian merujuk pada surat balasan Nada kepada Maggie. Sebelumnya, Presiden SBY menunjukkan foto Nada dari podium. Namun Presiden SBY menunjukkan foto Nada dalam posisi terbalik, dan Presiden Bush membantu membetulkan letak foto itu—semua hadirin tertawa. SBY membaca surat Nada yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris: “My good friend, hello friend. My name is Nada Lutfiyyah. I was so happy and my heart was touched to receive the letter you sent us. My family—my dad, mom,older brother and younger brother—have disappeared, and now I live with my cousin. I am so glad you are paying attention to us here. I hope to receive your bracelet in the coming days because I want to wear it on my arm to remind me that I have a new friend.”
Semua orang yang hadir, termasuk wartawan, berlinangan air mata. Saya melihat mata Presiden Bush berkaca-kaca. Presiden SBY mengakhiri pidatonya: “These two letters are extraordinary both on the words they conveyed and in the fact that two youngster from entirely different backgrounds made a connection. An American girl who prays at church, collect loose change and make bracelets for tsunami kids two oceans away. An Indonesian Muslim girl who lost all her family and wants to kill the pain and is eager just to be a kid again, just like Maggie. I think the world would be a better place if all of us start to have connections and conversations the way Maggie and Nada did.”
Sebenarnya Presiden SBY hanya diacarakan bicara 3 menit, tidak lebih dari Presiden Bush. Biasanya protokol Amerika akan langsung cerewet kalau protokol dilanggar, tapi kali itu tidak ada satu pun yang protes karena memang semuanya terbawa suasana yang sangat mengharukan. Tepuk tangan panjang membahana seusai Presiden SBY berpidato. Presiden Bush langsung menjabat erat-erat tangan SBY. Saya sempat mendengar seseorang di antara hadirin berkata: “That was one of the most brilliant and touching speeches I ever heard.”
Seusai acara itu, Presiden SBY segera menugaskan Duta Besar Indonesia di AS, Soemadi Brotodiningrat, ke Michigan untuk secara langsung membawa dan menyampaikan surat Nada kepada Maggie. Di sana, Dubes Soemadi disambut dalam upacara resmi, dihadiri seluruh siswa SD K-6 Charlevoix dan para orang tua, termasuk pejabat Walikota. Maggie sama sekali tidak menyangka suratnya itu akan berbuntut panjang, dan baik Maggie maupun se luruh SD kini merasa ada koneksi emosional yang riil dengan Indonesia yang selama ini hanya mereka baca di buku.
Cerita ini masih berlanjut terus. Nada selalu ingin bertemu dengan SBY, namun tidak pernah kesampaian karena faktor jarak antara Aceh dan Jakarta . Akhirnya, pada bulan Desember 2005, Nada Luthfiyyah berhasil mewujudkan mimpinya selama ini. SBY sedang memberikan pidato peringatan setahun tsunami di Ulelee, Aceh. Nada dengan sabar menunggu di pinggir podium, bersama anak yatim piatu lainnya. Setelah SBY selesai dan beranjak meninggalkan tempat acara, beliau dihadang oleh Nada, dan langsung saya perkenalkan kepada SBY.
SBY: “Oo, ini yang namanya Nada. Belajar terus yang baik ya nak.” Ibu Ani yang berada di samping SBY langsung memeluk Nada dengan penuh kasih sayang. Nada, yang kini sudah bisa tersenyum, hanya ter sipu-sipu, dan kehilangan kata.
Peristiwa ini merupakan pembelajaran bagi diplomat Indonesia: tugas mereka bukan saja untuk menjaga hubungan dengan pejabat Pemerintah setempat, namun juga untuk belajar bergaul dan menyentuh hati rakyat dimanapun mereka berada. Dan caranya tidak terlalu sulit: asal kreatif, bertujuan baik, dan harus datang dari hati. (*)
Sumber: www.presidensby.info
0 komentar :
Posting Komentar