Sejak terbentuk dalam sidang paripurna DPR, 1 Juli lalu, Panitia Hak Angket Bahan Bakar Minyak (BBM) memulai tugasnya menyelidiki tentang kebijakan harga BBM. Pembentukan panitia khusus DPR itu dipicu maraknya unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM. Pada saat yang sama, pembentukan Panitia Angket itu memunculkan wacana pemakzulan (impeachment) presiden.
Mungkinkan hak angket DPR mengarah pada impeachment? Untuk menggali jawabannya, Selasa pekan lalu wartawan Gatra Rita Triana Budiarti mewawancarai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia itu menerima Gatra di ruang kerjanya, lantai 15 Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Merdeka Barat Nomor 7, Jakarta. Berikut petikannya:
Dapatkan hak angket DPR mengarah pada impeachment?
Hak angket dan impeachment adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama penyelidikan, yang kedua impeachment. Penyelidikan itu bisa menyelidiki isu, bisa menyelidiki orang. Kalau menyelidiki isu, artinya menyelidiki kebijakan. Kalau menyelidiki orang, kelak bisa menemukan indikasi tindak pidana. Kalau ditemukan indikasi tindak pidana, bisa diteruskan ke penyidik. Lalu urusannya tinggal urusan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Orang yang terkena bisa macam-macam, dari tukang sapu sampai presiden. Salah satu sub-cabang dari kemungkinan-kemungkinan itu, kalau tindak pidana itu terkait dengan presiden, itu baru terkait dengan impeachment. Maka, tidak ada hubungan isu penyelidikan dengan impeachment. Itu antara bumi dan langit. Bahwa antara bumi dan langit itu ada udara, iya, bisa dihubungkan, tapi meloncat, jauh sekali.
Seberapa jauh hubungan hak angket dengan impeachment?
Proses untuk sampai pada impeachment bisa satu-dua tahun. Maka, saya mengatakan tidak ada hubungannya. Seperti orang mendiskusikan apa hubungan antara salat dan pembangunan nasional. Tapi, kalau mau mencari kaitannya, bisa dijelaskan bahwa salat bisa meningkatkan akhlak manusia, akhlak manusia meningkatkan kualitas. Bisa dikait-kaitkan. Cuma, sebagai persoalan hukum, tidak ada kaitannya. Begitu dikaitkan, tujuan angket pasti akan gagal.
Proses tahunan itu untuk apa saja?
Proses impeachment lama dan tidak ada hubungannya dengan angket. Impeachment adalah tindak pidana yang dilakukan presiden. Prosesnya di DPR dulu. Berapa lama DPR membutuhkan waktu untuk sampai pada kesimpulan bahwa seorang presiden melanggar hukum? Sekarang ini kan sudah kampanye. Ini kan baru mau menyelidiki kebijakan BBM. Kebijakan itu bukan tindak pidana.
Selain itu, impeachment itu cuma untuk presiden dan wakil presiden. Sedangkan kebijakan BBM melibatkan banyak orang. Yang membuat undang-undangnya DPR (550 orang) bersama-sama dengan pemerintah. Ada menteri yang tekait, dirjen, aparat pelaksana, mungkin melibatkan 1.000 orang. Kebijakan sendiri ada ada dua, yang membuat dan yang melaksanakan. Yang terlibat dalam kedua kebijakan itu mungkin 1.000 orang. Ini semua nggak ada hubungannya dengan impeachment.
Lalu, apa saja syarat-syarat impeachment itu?
Kesatu, dia mengkhianati negara. Kedua, dia melakukan korupsi. Ketiga, dia melakukan suap. Keempat, dia melakukan tindak pidana berat yang ancaman pidananya lima tahun. Kelima, dia melakukan perbuatan tercela. Keenam, dia berubah tidak memenuhi syarat lagi menjadi presiden. Hanya karena enam sebab itu presiden atau wakil presiden (wapres) bisa di-impeach. Sedangkan penyelidikan BBM tidak termasuk.
Secara teori, bagaimana proses impeachment dalam hukum ketatanegaraan kita?
Kalau DPR sebagai institusi berpendapat bahwa presiden atau wapres sudah memenuhi salah satu unsur itu, dia bisa mengajukan tuntutan pemberhentian ke MPR. Namun DPR harus mengajukannya dulu ke MK. Kemudian MK memutuskan apakah tuduhan DPR itu benar atau salah. Jadi, harus dibuktikan dulu melalui proses peradilan di sini. Bila dalam persidangan presiden terbukti bersalah, MK bisa membuat keputusan yang mengabulkan permohonan DPR. Atas dasar putusan mengabulkan itu, DPR mengajukan tuntutan pemberhentian presiden ke MPR. Sehingga, kalau diurut-urut begitu, dibutuhkan waktu lama.
Perlu dicatat bahwa pendapat DPR yang menyatakan presiden atau wapres sudah memenuhi salah satu unsur tindak pidana harus merupakan pendapat lembaga. Maka, dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 ditentukan, pengajuan pendapat ke MK tadi harus dengan dukungan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir, yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR. Jadi, seandainya jumlah pendukung presiden dan wapres lebih dari sepertiganya, pasti dia akan boikot. Pasti tidak datang. Maka, tidak mungkin akan ada pernyataan pendapat, kesimpulan tentang impeachment.
Karena ini politik, maka harus dihitung jumlahnya. Misalnya, jumlah anggota DPR dari partai pemerintah itu berapa. Saya rasa, lebih dari sepertiga. Dengan kalkulasi tersebut, apa realistis orang bermimpi untuk impeachment? Paling-paling nanti untuk nakut-nakutin aja. Tapi, kalau begitu, berarti bukan impeachment. Hanya untuk black campaign secara legal.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses itu?
Kalau impeachment itu sudah didukung dua pertiga anggota DPR, baru diajukan ke MK. Paling lama 90 hari sesudah permintaan diputus di MK. Jadi, kalau penyelidikan di DPR makan waktu katakanlah enam bulan, lalu ditambah demo-demo jadi sembilan bulan. Kemudian di MK tiga bulan, ditambah demo-demo lagi berarti setahun.
Kemudian dalam Pasal 7B ayat 5 disebutkan, apabila presiden dan wapres terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dituduhkan, baru kemudian DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian itu kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang atas usul DPR paling lambat 30 hari atau satu bulan. Jadi, impeachment membutuhkan waktu minimal satu tahun.
Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan wakil presiden harus dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga anggota MPR. Sekarang komposisi MPR terdiri dari DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jumlah DPD sepertiga. Jadi, kalau seluruh anggota DPD tidak hadir, memboikot, maka seluruh anggota DPR harus hadir supaya memenuhi kuorum dua pertiga.
Jadi, memang sulit memberhentikan presiden. Impeachment itu hanya mungkin terjadi bila ada kejadian luar biasa bobrok, sehingga seluruh rakyat benar-benar benci. Sebab mekanisme impeachment sengaja dibuat untuk melindungi presiden dari kemungkinan diberhentikan hanya dengan prosedur politik. Tidak lagi semudah sebelumnya, hanya karena tidak mendapat dukungan suara yang besar di MPR. Jadi, sebelum dibawa ke MPR, dia harus diadili dulu di MK.
Kalau diadili di MK, berarti penuntut umumnya DPR?
Iya, semacam itu. Di dalam praktek di berbagai negara, seperti Amerika, DPR berhak mengangkat jaksa ad hoc untuk melakukan fungsi teknis penuntutan. Tapi di dalam undang-undang tidak diatur kayak bagaimana penuntut ad hoc itu. Sehingga kami di sini mengatur sendiri hukum acaranya. Yang jelas, semua pihak harus kami dengar. Pihak yang tertuduh, yakni presiden dan wakil presiden, harus diberi kesempatan membela diri. Sebab ini menyangkut nasib pribadi dia dan lebih jauh lagi, karena menyangkut jabatan presiden dan wapres, berarti menyangkut nasib seluruh rakyat.
Lalu, bagaimana dengan hukum acaranya?
Meskipun undang-undang belum lengkap, MK sudah siap. Ada hal-hal yang mestinya diatur dalam undang-undang menyangkut hak-hak pihak lain, bukan sekadar internal dalam MK. Misalnya ketentuan mengenai jaksa ad hoc. Biasanya DPR diwakili oleh kuasa hukum DPR, tapi DPR terdiri dari berbagai fraksi, bagaimana kalau fraksi yang menjadi wakil itu pendapatnya tidak sama? Ada yang membela presidennya. Nah, hal-hal seperti itu akan menyulitkan, sehingga perlu petugas yang diangkat khusus oleh DPR sebagai jaksa ad hoc. Ia bisa diambil dari kejaksaan. Tapi bukan Jaksa Agung secara otomatis karena ia bawahan presiden sehingga tidak independen.
Sumber: http://gatra.com/
Mungkinkan hak angket DPR mengarah pada impeachment? Untuk menggali jawabannya, Selasa pekan lalu wartawan Gatra Rita Triana Budiarti mewawancarai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia itu menerima Gatra di ruang kerjanya, lantai 15 Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Merdeka Barat Nomor 7, Jakarta. Berikut petikannya:
Dapatkan hak angket DPR mengarah pada impeachment?
Hak angket dan impeachment adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama penyelidikan, yang kedua impeachment. Penyelidikan itu bisa menyelidiki isu, bisa menyelidiki orang. Kalau menyelidiki isu, artinya menyelidiki kebijakan. Kalau menyelidiki orang, kelak bisa menemukan indikasi tindak pidana. Kalau ditemukan indikasi tindak pidana, bisa diteruskan ke penyidik. Lalu urusannya tinggal urusan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Orang yang terkena bisa macam-macam, dari tukang sapu sampai presiden. Salah satu sub-cabang dari kemungkinan-kemungkinan itu, kalau tindak pidana itu terkait dengan presiden, itu baru terkait dengan impeachment. Maka, tidak ada hubungan isu penyelidikan dengan impeachment. Itu antara bumi dan langit. Bahwa antara bumi dan langit itu ada udara, iya, bisa dihubungkan, tapi meloncat, jauh sekali.
Seberapa jauh hubungan hak angket dengan impeachment?
Proses untuk sampai pada impeachment bisa satu-dua tahun. Maka, saya mengatakan tidak ada hubungannya. Seperti orang mendiskusikan apa hubungan antara salat dan pembangunan nasional. Tapi, kalau mau mencari kaitannya, bisa dijelaskan bahwa salat bisa meningkatkan akhlak manusia, akhlak manusia meningkatkan kualitas. Bisa dikait-kaitkan. Cuma, sebagai persoalan hukum, tidak ada kaitannya. Begitu dikaitkan, tujuan angket pasti akan gagal.
Proses tahunan itu untuk apa saja?
Proses impeachment lama dan tidak ada hubungannya dengan angket. Impeachment adalah tindak pidana yang dilakukan presiden. Prosesnya di DPR dulu. Berapa lama DPR membutuhkan waktu untuk sampai pada kesimpulan bahwa seorang presiden melanggar hukum? Sekarang ini kan sudah kampanye. Ini kan baru mau menyelidiki kebijakan BBM. Kebijakan itu bukan tindak pidana.
Selain itu, impeachment itu cuma untuk presiden dan wakil presiden. Sedangkan kebijakan BBM melibatkan banyak orang. Yang membuat undang-undangnya DPR (550 orang) bersama-sama dengan pemerintah. Ada menteri yang tekait, dirjen, aparat pelaksana, mungkin melibatkan 1.000 orang. Kebijakan sendiri ada ada dua, yang membuat dan yang melaksanakan. Yang terlibat dalam kedua kebijakan itu mungkin 1.000 orang. Ini semua nggak ada hubungannya dengan impeachment.
Lalu, apa saja syarat-syarat impeachment itu?
Kesatu, dia mengkhianati negara. Kedua, dia melakukan korupsi. Ketiga, dia melakukan suap. Keempat, dia melakukan tindak pidana berat yang ancaman pidananya lima tahun. Kelima, dia melakukan perbuatan tercela. Keenam, dia berubah tidak memenuhi syarat lagi menjadi presiden. Hanya karena enam sebab itu presiden atau wakil presiden (wapres) bisa di-impeach. Sedangkan penyelidikan BBM tidak termasuk.
Secara teori, bagaimana proses impeachment dalam hukum ketatanegaraan kita?
Kalau DPR sebagai institusi berpendapat bahwa presiden atau wapres sudah memenuhi salah satu unsur itu, dia bisa mengajukan tuntutan pemberhentian ke MPR. Namun DPR harus mengajukannya dulu ke MK. Kemudian MK memutuskan apakah tuduhan DPR itu benar atau salah. Jadi, harus dibuktikan dulu melalui proses peradilan di sini. Bila dalam persidangan presiden terbukti bersalah, MK bisa membuat keputusan yang mengabulkan permohonan DPR. Atas dasar putusan mengabulkan itu, DPR mengajukan tuntutan pemberhentian presiden ke MPR. Sehingga, kalau diurut-urut begitu, dibutuhkan waktu lama.
Perlu dicatat bahwa pendapat DPR yang menyatakan presiden atau wapres sudah memenuhi salah satu unsur tindak pidana harus merupakan pendapat lembaga. Maka, dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 ditentukan, pengajuan pendapat ke MK tadi harus dengan dukungan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir, yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR. Jadi, seandainya jumlah pendukung presiden dan wapres lebih dari sepertiganya, pasti dia akan boikot. Pasti tidak datang. Maka, tidak mungkin akan ada pernyataan pendapat, kesimpulan tentang impeachment.
Karena ini politik, maka harus dihitung jumlahnya. Misalnya, jumlah anggota DPR dari partai pemerintah itu berapa. Saya rasa, lebih dari sepertiga. Dengan kalkulasi tersebut, apa realistis orang bermimpi untuk impeachment? Paling-paling nanti untuk nakut-nakutin aja. Tapi, kalau begitu, berarti bukan impeachment. Hanya untuk black campaign secara legal.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses itu?
Kalau impeachment itu sudah didukung dua pertiga anggota DPR, baru diajukan ke MK. Paling lama 90 hari sesudah permintaan diputus di MK. Jadi, kalau penyelidikan di DPR makan waktu katakanlah enam bulan, lalu ditambah demo-demo jadi sembilan bulan. Kemudian di MK tiga bulan, ditambah demo-demo lagi berarti setahun.
Kemudian dalam Pasal 7B ayat 5 disebutkan, apabila presiden dan wapres terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dituduhkan, baru kemudian DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian itu kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang atas usul DPR paling lambat 30 hari atau satu bulan. Jadi, impeachment membutuhkan waktu minimal satu tahun.
Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan wakil presiden harus dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga anggota MPR. Sekarang komposisi MPR terdiri dari DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jumlah DPD sepertiga. Jadi, kalau seluruh anggota DPD tidak hadir, memboikot, maka seluruh anggota DPR harus hadir supaya memenuhi kuorum dua pertiga.
Jadi, memang sulit memberhentikan presiden. Impeachment itu hanya mungkin terjadi bila ada kejadian luar biasa bobrok, sehingga seluruh rakyat benar-benar benci. Sebab mekanisme impeachment sengaja dibuat untuk melindungi presiden dari kemungkinan diberhentikan hanya dengan prosedur politik. Tidak lagi semudah sebelumnya, hanya karena tidak mendapat dukungan suara yang besar di MPR. Jadi, sebelum dibawa ke MPR, dia harus diadili dulu di MK.
Kalau diadili di MK, berarti penuntut umumnya DPR?
Iya, semacam itu. Di dalam praktek di berbagai negara, seperti Amerika, DPR berhak mengangkat jaksa ad hoc untuk melakukan fungsi teknis penuntutan. Tapi di dalam undang-undang tidak diatur kayak bagaimana penuntut ad hoc itu. Sehingga kami di sini mengatur sendiri hukum acaranya. Yang jelas, semua pihak harus kami dengar. Pihak yang tertuduh, yakni presiden dan wakil presiden, harus diberi kesempatan membela diri. Sebab ini menyangkut nasib pribadi dia dan lebih jauh lagi, karena menyangkut jabatan presiden dan wapres, berarti menyangkut nasib seluruh rakyat.
Lalu, bagaimana dengan hukum acaranya?
Meskipun undang-undang belum lengkap, MK sudah siap. Ada hal-hal yang mestinya diatur dalam undang-undang menyangkut hak-hak pihak lain, bukan sekadar internal dalam MK. Misalnya ketentuan mengenai jaksa ad hoc. Biasanya DPR diwakili oleh kuasa hukum DPR, tapi DPR terdiri dari berbagai fraksi, bagaimana kalau fraksi yang menjadi wakil itu pendapatnya tidak sama? Ada yang membela presidennya. Nah, hal-hal seperti itu akan menyulitkan, sehingga perlu petugas yang diangkat khusus oleh DPR sebagai jaksa ad hoc. Ia bisa diambil dari kejaksaan. Tapi bukan Jaksa Agung secara otomatis karena ia bawahan presiden sehingga tidak independen.
Sumber: http://gatra.com/
0 komentar :
Posting Komentar