Budaya Mena Pada Masyarakat Karo - Pada sistem penanggalan menurut kalender Karo terdapat beberapa keterangan hari yang baik dan juga tidak baik untuk melakukan suatu kegiatan. Bila melihat hari pertama yang disebut Aditia misalnya, maka disana disebutkan sebagai hari yang cocok untuk mena, dan juga runggu. Begitu juga pada hari yang keempat yang disebut dengan hari Budaha juga menyebutkan sebagai hari yang cocok untuk mena.
Lalu apa sebenarnya pengertian mena yang kerap disebut di kalender Karo? Bila ditelusuri di internet, maka refrensi terkait dengan kegiatan mena ini sangat jarang ditemukan, malahan bisa dikatakan tulisan terkait budaya mena pada masyarakat Karo sejauh ini belum pernah ditulis atau dipublikasikan di media online. Oleh karenanya alangkah baiknya bila pada kesempatan kali ini, penulis akan mencoba menuliskan sedikit pengalaman yang ada terkait dengan kegiatan mena yang sering dilakukan oleh masyarakat Karo pada jaman dahulu, meski kegiatan tersebut sebenaranya saat ini sudah jarang ataupun malah tidak pernah lagi dilakukan.
Menurut pengalaman penulis sendiri, maka kegiatan mena sebenarnya masih sering dilakukan oleh sebahagian masyarakat Karo hingga awal tahun 90-an. Adapun budaya mena itu sendiri sering juga diidentikkan dengan kegiatan ritual dengan tujuan agar hasil panen melimpah ruah, serta sekaligus mendatangkan kemakmuran bagi para petani.
Adapun dalam ritual mena dilakukan sebagai ucapan doa kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen padi yang melimpah, sekaligus agar para anggota keluarga yang melakukan ritual tersebut diberikan kesehatan dan keselamatan.
Sebagai perlengkapan yang disediakan pada saat melakukan ritual mena adalah besi sangka sempilet, si malem-malem, kalinjuhang, galuh tabar, dan juga benih padi yang tidak begitu banyak. Selain itu beberapa perlengkapan lain yang juga turut dipersiapkan, diantaranya adalah makanan lengkap dengan lauknya yang terbuat dari daging ayam, dan sebagainya.
Pelaksanaan ritual mena sendiri dilakukan pada saat matahari belum terbit atau sekitar pukul 4-5 pagi, dan dilaksanakan di areal perladangan yang sudah dipersiapkan, dimana dalam beberapa hari kemudian keberadaan ladang tersebut sudah siap untuk ditanami padi. Adapun ritual mena ini sendiri dilakukan oleh pasangan suami istri.
Pada Area ritual akan dipersiapkan altar atau dalam bahasa Karo disebut batar-batar, dimana altar ini akan dipergunakan sebagai tempat meletakkan makanan yang akan dipersembahkan. Adapun besi sangka sempilet, si malem-malem, kalinjuhang, dan galuh tabar akan ditanami pada areal ini. Selain itu benih padi yang sudah dipersiapkan juga akan ditanami di sekitar areal altar.
Setelah besi sangka sempilet, si malem-malem, kalinjuhang, galuh tabar telah selesai ditanam, maka ritual selanjutnya yang dilakukan adalah memberikan persembahan makanan diatas altar, dan sekaligus memanjatkan doa untuk meminta hasil panen yang melimpah, sekaligus meminta agar diberikan kesehatan dan keselamatan bagi seluruh anggota keluarga.
Dengan selesainya doa dipanjatkan, pada giliran paling terakhir adalah menanam benih padi, dimana benih padi yang ditanam sebanyak satu hingga dua genggam tangan orang dewasa.
Lalu apa sebenarnya pengertian mena yang kerap disebut di kalender Karo? Bila ditelusuri di internet, maka refrensi terkait dengan kegiatan mena ini sangat jarang ditemukan, malahan bisa dikatakan tulisan terkait budaya mena pada masyarakat Karo sejauh ini belum pernah ditulis atau dipublikasikan di media online. Oleh karenanya alangkah baiknya bila pada kesempatan kali ini, penulis akan mencoba menuliskan sedikit pengalaman yang ada terkait dengan kegiatan mena yang sering dilakukan oleh masyarakat Karo pada jaman dahulu, meski kegiatan tersebut sebenaranya saat ini sudah jarang ataupun malah tidak pernah lagi dilakukan.
Menurut pengalaman penulis sendiri, maka kegiatan mena sebenarnya masih sering dilakukan oleh sebahagian masyarakat Karo hingga awal tahun 90-an. Adapun budaya mena itu sendiri sering juga diidentikkan dengan kegiatan ritual dengan tujuan agar hasil panen melimpah ruah, serta sekaligus mendatangkan kemakmuran bagi para petani.
Adapun dalam ritual mena dilakukan sebagai ucapan doa kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen padi yang melimpah, sekaligus agar para anggota keluarga yang melakukan ritual tersebut diberikan kesehatan dan keselamatan.
Sebagai perlengkapan yang disediakan pada saat melakukan ritual mena adalah besi sangka sempilet, si malem-malem, kalinjuhang, galuh tabar, dan juga benih padi yang tidak begitu banyak. Selain itu beberapa perlengkapan lain yang juga turut dipersiapkan, diantaranya adalah makanan lengkap dengan lauknya yang terbuat dari daging ayam, dan sebagainya.
Pelaksanaan ritual mena sendiri dilakukan pada saat matahari belum terbit atau sekitar pukul 4-5 pagi, dan dilaksanakan di areal perladangan yang sudah dipersiapkan, dimana dalam beberapa hari kemudian keberadaan ladang tersebut sudah siap untuk ditanami padi. Adapun ritual mena ini sendiri dilakukan oleh pasangan suami istri.
Pada Area ritual akan dipersiapkan altar atau dalam bahasa Karo disebut batar-batar, dimana altar ini akan dipergunakan sebagai tempat meletakkan makanan yang akan dipersembahkan. Adapun besi sangka sempilet, si malem-malem, kalinjuhang, dan galuh tabar akan ditanami pada areal ini. Selain itu benih padi yang sudah dipersiapkan juga akan ditanami di sekitar areal altar.
Setelah besi sangka sempilet, si malem-malem, kalinjuhang, galuh tabar telah selesai ditanam, maka ritual selanjutnya yang dilakukan adalah memberikan persembahan makanan diatas altar, dan sekaligus memanjatkan doa untuk meminta hasil panen yang melimpah, sekaligus meminta agar diberikan kesehatan dan keselamatan bagi seluruh anggota keluarga.
Dengan selesainya doa dipanjatkan, pada giliran paling terakhir adalah menanam benih padi, dimana benih padi yang ditanam sebanyak satu hingga dua genggam tangan orang dewasa.
0 komentar :
Posting Komentar