Tarif telekomunikasi telepon seluler Indonesia pada 2008 adalah yang paling murah di Asia dengan harga hanya 0,015 dollar AS per menit.
"Kalau sebelumnya (2005) Indonesia dalam kategori termahal di Asia setelah China, dengan tarif sebesar 0,15 dollar AS per menit, pada 2008 menjadi negara bertarif termurah dengan harga 0,015 dollar AS per menit," kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Mohammad Nuh, di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, kebijakan pemerintah berkait dengan program keterjangkauan tarif telepon seluler memang telah mendapat apresiasi lembaga perbankan internasional, Deutche Bank.
Lembaga tersebut dalam laporan terbarunya, menyatakan, kalau tarif telepon seluler di Indonesia merupakan paling murah di Asia setelah melalui studi yang mereka lakukan beberapa waktu lalu.
"Kita mempunyai 3 pondasi yaitu ketersediaan terkait coverage, keterjangkauan dari sisi tarif, dan yang terpenting adalah kualitas," katanya.
Jika dua hal yaitu ketersediaan dan keterjangkauan terpenuhi tetapi kualitas tidak optimal maka kepuasan konsumen belum tercapai. Oleh karena itu pada 2009, pihaknya akan menekankan perlunya kualitas ditetapkan.
Ia mengatakan, pemerintah selama kuran waktu 2006-2008 telah menjalankan program berkait dengan kebijakan availability (ketersediaan), keterjangkauan.
Dan hasilnya dalam dunia seluler kini tampak bila sebelumnya tarifnya termahal se-Asia kini menjadi termurah. Bukan hanya itu, dalam dunia telepon seluler, bila pada 2005 jumlah pelanggan baru mencapai 46.912.118, maka pada 2008 telah melewati angka 124.865.871 pelanggan.
Sesuai logika, bila harga turun, maka keuntungan akan berkurang pula. Namun karena terjadi peningkatan jumlah pelanggan yang mencapai lebih dari 200 persen, maka sepertinya telah terjadi anomali berkait dengan tingkat penghasilan para operator.
"Meski tarif turun tapi yang menarik adalah EBITDA di atas 60 persen, itu luar biasa," katanya.
Pada 2005 earning before interest, taxes, depreciation and amortization (EBITDA) atau laba bersih ditambahkan kembali dengan beban bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi, para operator seluler mencapai angka 65,5 persen, kini turun sedikit menjadi hanya 61,6 persen. Artinya, meski terjadi penurunan harga, penurunan EBITDA-nya tidak terlalu signifikan.
Pada 2010, ia mengatakan, Indonesia akan memasuki fase kedua pengembangan ICT yaitu "costumize services" di mana para operator telepon dan penyelenggara ICT dapat memberikan layanan yang spesifik kepada masyarakat.
"Jadi semakin banyak kebutuhan masyarakat yang sifatnya khas bisa dipenuhi," katanya. (antara.co.id)
"Kalau sebelumnya (2005) Indonesia dalam kategori termahal di Asia setelah China, dengan tarif sebesar 0,15 dollar AS per menit, pada 2008 menjadi negara bertarif termurah dengan harga 0,015 dollar AS per menit," kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Mohammad Nuh, di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, kebijakan pemerintah berkait dengan program keterjangkauan tarif telepon seluler memang telah mendapat apresiasi lembaga perbankan internasional, Deutche Bank.
Lembaga tersebut dalam laporan terbarunya, menyatakan, kalau tarif telepon seluler di Indonesia merupakan paling murah di Asia setelah melalui studi yang mereka lakukan beberapa waktu lalu.
"Kita mempunyai 3 pondasi yaitu ketersediaan terkait coverage, keterjangkauan dari sisi tarif, dan yang terpenting adalah kualitas," katanya.
Jika dua hal yaitu ketersediaan dan keterjangkauan terpenuhi tetapi kualitas tidak optimal maka kepuasan konsumen belum tercapai. Oleh karena itu pada 2009, pihaknya akan menekankan perlunya kualitas ditetapkan.
Ia mengatakan, pemerintah selama kuran waktu 2006-2008 telah menjalankan program berkait dengan kebijakan availability (ketersediaan), keterjangkauan.
Dan hasilnya dalam dunia seluler kini tampak bila sebelumnya tarifnya termahal se-Asia kini menjadi termurah. Bukan hanya itu, dalam dunia telepon seluler, bila pada 2005 jumlah pelanggan baru mencapai 46.912.118, maka pada 2008 telah melewati angka 124.865.871 pelanggan.
Sesuai logika, bila harga turun, maka keuntungan akan berkurang pula. Namun karena terjadi peningkatan jumlah pelanggan yang mencapai lebih dari 200 persen, maka sepertinya telah terjadi anomali berkait dengan tingkat penghasilan para operator.
"Meski tarif turun tapi yang menarik adalah EBITDA di atas 60 persen, itu luar biasa," katanya.
Pada 2005 earning before interest, taxes, depreciation and amortization (EBITDA) atau laba bersih ditambahkan kembali dengan beban bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi, para operator seluler mencapai angka 65,5 persen, kini turun sedikit menjadi hanya 61,6 persen. Artinya, meski terjadi penurunan harga, penurunan EBITDA-nya tidak terlalu signifikan.
Pada 2010, ia mengatakan, Indonesia akan memasuki fase kedua pengembangan ICT yaitu "costumize services" di mana para operator telepon dan penyelenggara ICT dapat memberikan layanan yang spesifik kepada masyarakat.
"Jadi semakin banyak kebutuhan masyarakat yang sifatnya khas bisa dipenuhi," katanya. (antara.co.id)
0 komentar :
Posting Komentar