Tulisan ini akan membahas jet tempur yang harga satu pesawatnya adalah 258 juta dollar AS atau Rp 2.322.000.000.000, alias Rp 2,322 triliun.
Video: Pesawat Jet Tempur F/A-22 Raptor
Jet yang dimaksud di sini adalah F/A-22 Raptor, julukan yang mengingatkan orang pada binatang buas semacam T-Rex di film dinosaurus. (Catatan: F/A menyimbolkan ciri jet itu, yakni sebagai pesawat penempur dan penyerang, fighter dan attack). Ini adalah jet yang sudah dicetuskan 23 tahun silam, dan kini menjadi jet tempur yang paling mahal dalam sejarah. Raptor kini sudah masuk dalam jajaran Angkatan Udara (AU) AS (USAF).
Banyaklah catatan yang bisa dibuat untuk F/A-22 Raptor. Sebagaimana dilaporkan oleh Tim Weiner di The New York Times (dan dimuat di International Herald Tribune, 28/10/ 2004), oleh AU AS Raptor disebut menandai babakan baru dalam riwayat kekuatan udara. Ia merupakan pesawat tempur berteknologi paling maju yang pernah dibuat, sekaligus menjadi antena terbang siluman (stealthy, tidak kasat radar) yang bisa menangkap intelijen musuh, dan itu dilakukan sambil menjatuhkan bom pintar, dan melesat dengan kecepatan 1.600 km per jam.
RAPTOR F/A-22 dikembangkan tahun 1981 untuk memenuhi kebutuhan AU AS akan pesawat tempur taktis mutakhir yang juga memiliki kemampuan serangan darat untuk menggantikan F-15 Eagle.
Pada tahun itu, tentu saja paradigma Perang Dingin masih sangat kental. Jadi, yang termasuk dalam misi yang diamanatkan ke Raptor adalah "menerobos radar Soviet tanpa terdeteksi, dan menembak jatuh pesawat Soviet kalau Perang Dunia III pecah."
Faktanya, F/A-22 membutuhkan tempo 23 tahun untuk beranjak dari meja gambar ke jalur produksi, dan masuk ke jajaran skuadron tempur AU AS. Ini berarti F/A-22 muncul ketika zaman telah berubah. Perang Dingin telah usai, dan AU AS kini telah menjadi kekuatan udara yang tanpa tanding. Sementara musuh yang dulu harus dihadapinya kini juga telah menjadi kekuatan udara yang justru sedang berjuang untuk mempertahankan kejayaannya. (Lihat laporan Andrew Brookes di Air International, Agustus 2004.)
Selama menunggu yang hampir seperempat abad ini, F/A-22 nyaris tamat riwayatnya lima tahun silam, yaitu tatkala anggota Kongres dari Partai Republik berupaya membunuhnya. Pembuatnya sendiri, Lockheed Martin, yang merupakan kontraktor militer paling besar di AS, tampaknya memang baru bisa merasa tenang sekarang ini.
Selain meragukan kemampuan Lockheed untuk mewujudkan kemampuan yang dipersyaratkan, alasan untuk membunuh F/A-22 tentu saja uang. Dengan harga 258 juta dollar AS per pesawat, jelas F/A-22 jauh lebih mahal daripada pesawat tempur mana pun yang pernah dibuat. Harga itu empat kali harga yang dulu pernah disebutkan oleh AU AS, dan lima kali dibandingkan harga F-15 yang akan ia gantikan.
Harga pesawat yang pembuatannya didukung oleh tak kurang dari 1.000 subkontraktor di 43 negara bagian di AS ini berasal dari pesanan total senilai 71,8 miliar dollar AS untuk 277 jet, sehingga setiap pesawat berharga 258 juta dollar AS. Tentu saja harga per unit tadi akan turun kalau Pentagon membeli lebih banyak lagi. Sebaliknya, harga akan makin mahal kalau Pentagon membeli kurang dari 277, atau kalau pesawat harus ditingkatkan kemampuannya di masa mendatang.
RIWAYAT F/A-22 boleh jadi mengingatkan orang pada pesawat pembom B-1B Lancer maupun B-2 Spirit. Keduanya juga dirancang untuk menerobos radar Soviet, tetapi ketika akhirnya muncul, keduanya menghadapi zaman yang sudah berubah. B-1B malah diikutkan dalam perang di Afganistan dan Irak. B-2 kini menjadi pesawat (pembom) paling mahal di dunia dengan harga di atas 1 miliar dollar AS (Rp 9 triliun) per unitnya.
Akan tetapi, dengan kecanggihan teknologi yang dimilikinya, siapa kini yang harus dihadapi oleh F/A-22? Jet-jet Soviet, dan kini Rusia, secara teknologi tidak ada yang setingkat dengannya. Lalu negara-negara yang kini dinilai mengancam AS tidak punya jet tempur yang bisa menandingi F-15 Eagle.
Wajar kalau muncul pertanyaan, apakah F/A-22 merupakan pesawat yang pas untuk masa depan. Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh Jacques Gansler, seorang mantan pejabat di Departemen Pertahanan AS pada masa pemerintahan Bill Clinton.
Tahun demi tahun, tulis Weiner, Raptor bergeser dari pesawat, yang akan dibeli dalam jumlah banyak oleh AU, menjadi pesawat yang terlalu mahal untuk dibeli dalam jumlah banyak.
Pihak Lockheed sendiri menjelaskan, pesawat itu butuh waktu lama untuk membuatnya karena kecanggihan teknologi yang diamanatkan padanya, tapi juga karena tentangan Kongres dan mundurnya pembayaran. Dua dasawarsa silam, AU AS berencana membeli sekitar 760 Raptor, didasarkan pada harga awal 35 juta dollar AS per unit. Satu dekade kemudian rencana pemesanan merosot menjadi 438 pesawat, lalu menjadi 339 di akhir tahun 1990-an, dan sekarang menjadi hanya 277. Pakar militer menyebut perkembangan semacam itu "Spiral Kematian", di mana dengan berlalunya waktu dan makin tingginya biaya membuat senjata yang bisa dibeli oleh Pentagon menyusut jumlahnya.
Memang kalau sampai salah urus, situasi semacam itu bisa membuat pesanan tak jadi mewujud, karena mana mungkin kontraktor bisa membuat pesanan yang sangat mahal untuk pengembangannya, tetapi kemudian hanya dibeli sedikit. Tetapi kata pimpinan Lockheed, untunglah Raptor bisa lolos dari proses menukik ke jurang kematian tersebut, meskipun pada tahun 1999 nasibnya benar-benar kritis ketika Komite Angkatan Bersenjata DPR AS yang saat itu dipimpin oleh politisi Republiken mengancam untuk membunuh program saat itu juga.
DENGAN masuknya F-22 Raptor dalam jajaran dinas aktif, selain Lockheed yang senang tentu saja AU AS. Lockheed sendiri, yang tahun ini diperkirakan akan meraup penjualan sebesar 35 miliar dollar AS, masih membuat jet legendaris F-16, dan sedang mengembangkan pesawat tempur masa depan Joint Strike Fighter F-35 yang kelak tidak saja akan digunakan oleh AU, tetapi juga oleh AL dan Marinir. Pesawat ini, yang akan dibuat dalam jumlah ribuan, oleh eksekutif Lockheed sudah diramalkan akan mencapai status "dominasi dunia", karena selain akan digunakan di AS, F-35 juga akan digunakan oleh Inggris, sejumlah negara NATO, Australia, dan kemungkinan besar Singapura.
Kembali pada F/A-22 Raptor, Lockheed mungkin masih akan diminta untuk memantau kinerja jet canggih buatannya, yang dua tahun terakhir masih memperlihatkan problem pada avionik atau elektronika penerbangannya. Padahal, terkait dengan itu juga kemampuannya untuk mendeteksi pesawat tempur musuh jauh di luar medan pandang pilot.
Kini, 23 tahun setelah dikembangkan, Raptor mulai berdinas. Salah satu pesawat produksi dimunculkan (roll-out) dari pabrik Lockheed di Marietta, Georgia, 27 Oktober silam, dan pesawat tempur paling mahal di dunia ini lalu bergabung dengan Skuadron Tempur Ke-27 di Pangkalan AU Langley di Virginia.
Dengan mengoperasikan jet paling canggih dan sekaligus paling mahal ini, AU AS semakin meninggalkan jauh AU lain di dunia. TNI AU yang untuk pengadaan empat jet Sukhoi saja harus menghadapi kontroversi ramai, pasti juga melihat bahwa alangkah jauhnya perbedaan antara dirinya dan USAF. Tapi bukan hanya TNI AU yang bergumam begitu, karena negara-negara lain juga akan berkomentar serupa. Itulah yang menjelaskan mengapa AS merupakan satu-satunya adidaya di dunia. (kompas 2004)
Banyaklah catatan yang bisa dibuat untuk F/A-22 Raptor. Sebagaimana dilaporkan oleh Tim Weiner di The New York Times (dan dimuat di International Herald Tribune, 28/10/ 2004), oleh AU AS Raptor disebut menandai babakan baru dalam riwayat kekuatan udara. Ia merupakan pesawat tempur berteknologi paling maju yang pernah dibuat, sekaligus menjadi antena terbang siluman (stealthy, tidak kasat radar) yang bisa menangkap intelijen musuh, dan itu dilakukan sambil menjatuhkan bom pintar, dan melesat dengan kecepatan 1.600 km per jam.
RAPTOR F/A-22 dikembangkan tahun 1981 untuk memenuhi kebutuhan AU AS akan pesawat tempur taktis mutakhir yang juga memiliki kemampuan serangan darat untuk menggantikan F-15 Eagle.
Pada tahun itu, tentu saja paradigma Perang Dingin masih sangat kental. Jadi, yang termasuk dalam misi yang diamanatkan ke Raptor adalah "menerobos radar Soviet tanpa terdeteksi, dan menembak jatuh pesawat Soviet kalau Perang Dunia III pecah."
Faktanya, F/A-22 membutuhkan tempo 23 tahun untuk beranjak dari meja gambar ke jalur produksi, dan masuk ke jajaran skuadron tempur AU AS. Ini berarti F/A-22 muncul ketika zaman telah berubah. Perang Dingin telah usai, dan AU AS kini telah menjadi kekuatan udara yang tanpa tanding. Sementara musuh yang dulu harus dihadapinya kini juga telah menjadi kekuatan udara yang justru sedang berjuang untuk mempertahankan kejayaannya. (Lihat laporan Andrew Brookes di Air International, Agustus 2004.)
Selama menunggu yang hampir seperempat abad ini, F/A-22 nyaris tamat riwayatnya lima tahun silam, yaitu tatkala anggota Kongres dari Partai Republik berupaya membunuhnya. Pembuatnya sendiri, Lockheed Martin, yang merupakan kontraktor militer paling besar di AS, tampaknya memang baru bisa merasa tenang sekarang ini.
Selain meragukan kemampuan Lockheed untuk mewujudkan kemampuan yang dipersyaratkan, alasan untuk membunuh F/A-22 tentu saja uang. Dengan harga 258 juta dollar AS per pesawat, jelas F/A-22 jauh lebih mahal daripada pesawat tempur mana pun yang pernah dibuat. Harga itu empat kali harga yang dulu pernah disebutkan oleh AU AS, dan lima kali dibandingkan harga F-15 yang akan ia gantikan.
Harga pesawat yang pembuatannya didukung oleh tak kurang dari 1.000 subkontraktor di 43 negara bagian di AS ini berasal dari pesanan total senilai 71,8 miliar dollar AS untuk 277 jet, sehingga setiap pesawat berharga 258 juta dollar AS. Tentu saja harga per unit tadi akan turun kalau Pentagon membeli lebih banyak lagi. Sebaliknya, harga akan makin mahal kalau Pentagon membeli kurang dari 277, atau kalau pesawat harus ditingkatkan kemampuannya di masa mendatang.
RIWAYAT F/A-22 boleh jadi mengingatkan orang pada pesawat pembom B-1B Lancer maupun B-2 Spirit. Keduanya juga dirancang untuk menerobos radar Soviet, tetapi ketika akhirnya muncul, keduanya menghadapi zaman yang sudah berubah. B-1B malah diikutkan dalam perang di Afganistan dan Irak. B-2 kini menjadi pesawat (pembom) paling mahal di dunia dengan harga di atas 1 miliar dollar AS (Rp 9 triliun) per unitnya.
Akan tetapi, dengan kecanggihan teknologi yang dimilikinya, siapa kini yang harus dihadapi oleh F/A-22? Jet-jet Soviet, dan kini Rusia, secara teknologi tidak ada yang setingkat dengannya. Lalu negara-negara yang kini dinilai mengancam AS tidak punya jet tempur yang bisa menandingi F-15 Eagle.
Wajar kalau muncul pertanyaan, apakah F/A-22 merupakan pesawat yang pas untuk masa depan. Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh Jacques Gansler, seorang mantan pejabat di Departemen Pertahanan AS pada masa pemerintahan Bill Clinton.
Tahun demi tahun, tulis Weiner, Raptor bergeser dari pesawat, yang akan dibeli dalam jumlah banyak oleh AU, menjadi pesawat yang terlalu mahal untuk dibeli dalam jumlah banyak.
Pihak Lockheed sendiri menjelaskan, pesawat itu butuh waktu lama untuk membuatnya karena kecanggihan teknologi yang diamanatkan padanya, tapi juga karena tentangan Kongres dan mundurnya pembayaran. Dua dasawarsa silam, AU AS berencana membeli sekitar 760 Raptor, didasarkan pada harga awal 35 juta dollar AS per unit. Satu dekade kemudian rencana pemesanan merosot menjadi 438 pesawat, lalu menjadi 339 di akhir tahun 1990-an, dan sekarang menjadi hanya 277. Pakar militer menyebut perkembangan semacam itu "Spiral Kematian", di mana dengan berlalunya waktu dan makin tingginya biaya membuat senjata yang bisa dibeli oleh Pentagon menyusut jumlahnya.
Memang kalau sampai salah urus, situasi semacam itu bisa membuat pesanan tak jadi mewujud, karena mana mungkin kontraktor bisa membuat pesanan yang sangat mahal untuk pengembangannya, tetapi kemudian hanya dibeli sedikit. Tetapi kata pimpinan Lockheed, untunglah Raptor bisa lolos dari proses menukik ke jurang kematian tersebut, meskipun pada tahun 1999 nasibnya benar-benar kritis ketika Komite Angkatan Bersenjata DPR AS yang saat itu dipimpin oleh politisi Republiken mengancam untuk membunuh program saat itu juga.
DENGAN masuknya F-22 Raptor dalam jajaran dinas aktif, selain Lockheed yang senang tentu saja AU AS. Lockheed sendiri, yang tahun ini diperkirakan akan meraup penjualan sebesar 35 miliar dollar AS, masih membuat jet legendaris F-16, dan sedang mengembangkan pesawat tempur masa depan Joint Strike Fighter F-35 yang kelak tidak saja akan digunakan oleh AU, tetapi juga oleh AL dan Marinir. Pesawat ini, yang akan dibuat dalam jumlah ribuan, oleh eksekutif Lockheed sudah diramalkan akan mencapai status "dominasi dunia", karena selain akan digunakan di AS, F-35 juga akan digunakan oleh Inggris, sejumlah negara NATO, Australia, dan kemungkinan besar Singapura.
Kembali pada F/A-22 Raptor, Lockheed mungkin masih akan diminta untuk memantau kinerja jet canggih buatannya, yang dua tahun terakhir masih memperlihatkan problem pada avionik atau elektronika penerbangannya. Padahal, terkait dengan itu juga kemampuannya untuk mendeteksi pesawat tempur musuh jauh di luar medan pandang pilot.
Kini, 23 tahun setelah dikembangkan, Raptor mulai berdinas. Salah satu pesawat produksi dimunculkan (roll-out) dari pabrik Lockheed di Marietta, Georgia, 27 Oktober silam, dan pesawat tempur paling mahal di dunia ini lalu bergabung dengan Skuadron Tempur Ke-27 di Pangkalan AU Langley di Virginia.
Dengan mengoperasikan jet paling canggih dan sekaligus paling mahal ini, AU AS semakin meninggalkan jauh AU lain di dunia. TNI AU yang untuk pengadaan empat jet Sukhoi saja harus menghadapi kontroversi ramai, pasti juga melihat bahwa alangkah jauhnya perbedaan antara dirinya dan USAF. Tapi bukan hanya TNI AU yang bergumam begitu, karena negara-negara lain juga akan berkomentar serupa. Itulah yang menjelaskan mengapa AS merupakan satu-satunya adidaya di dunia. (kompas 2004)
0 komentar :
Posting Komentar