10 Februari 2009

Kakak Beradik Jadi Suami Istri di Manado

Kakak beradik sekandung Tinu dan Tin Pinile dari Kampung Winuangan Paal Dua, Lingkungan VII, Kecamatan Tikala, Manado, memutuskan hidup bersama sebagai suami-istri. Mesti sempat dipisahkan, mereka tetap menjalani kehidupan tersebut sampai mendapatkan dua anak.

Rumah keluarga Pinile yang terletak di tengah kebun terasa sunyi. Pasangan suami-istri (pasutri) tersebut tidak berada di rumah. Terlihat karangan bunga tergantung di rumah sangat sederhana itu. ''Keluarga ini baru ditimpa duka," kata Reinald Barahama, warga Winuangan yang menemani koran ini berkunjung ke rumah Tinu dan Tin.

Yang meninggal adalah anak laki-laki mereka, Noldy Pinile, yang berusia sekitar 20 tahun. Dia meninggal akibat sakit berkepanjangan.

Beberapa saat ditunggu, Tinu dan Tin yang berpakaian hitam tiba di rumah. Begitu datang, keduanya langsung mengumbar senyum.

Tin mengaku dari rumah tetangga, sedangkan Tinu barusan pulang melihat kubur sang anak di makam umum Patu Paal Dua. Lelaki berusia 48 tahun itu mengaku begitu capek. Apalagi sejak kawin dengan Tin, entah mengapa kaki kirinya jadi mengecil. Bila berjalan, Tinu harus menggunakan alat bantu. Dia membuat sendiri alat bantu yang terbuat dari bambu untuk berjalan itu.

Secara ekonomi, keluarga tersebut tergolong miskin. Rumah yang sehari-hari menjadi tempat mereka berteduh hanya berdinding pitate, berlantai tanah, dan beratap rumbia. Sebagai suami, Tinu memang sudah tidak bisa diharapkan banyak untuk mencari nafkah. Sejak kawin, dia mulai sakit-sakitan hingga kaki kirinya lumpuh.

Dengan berbagai upaya, Tin yang juga punya masalah dalam pendengaran itu berusaha mengais rezeki dengan menjual nasi jahe. Kadang dia membantu pekerjaan rumah tangga tetangga.

Beberapa tetangga menyebutkan bahwa masalah yang dialami pasangan tersebut merupakan kutukan Tuhan karena kakak-beradik itu melanggar susila dengan menjadi suami-istri.

Tin dan Tinu blak-blakan menceritakan masa kecil mereka hingga sekarang. Menurut Tin dan Tinu, sejak kecil keduanya sudah ditinggal mati orang tua mereka. ''Jumlah saudara kami tiga, tapi satu sudah lama meninggal dunia. Tinggal saya dan Tinu yang hidup sampai sekarang,'' jelas Tin.

Begitu kedua orang tua mereka meninggal, sang nenek membawa Tin ke Sangihe. Sedangkan Tinu tetap di Manado dan diasuh salah satu keluarga di Paal Dua. ''Waktu saya ke Sangihe, Tinu masih kecil sekali, belum tahu jalan,'' terang Tin yang lebih tua tujuh tahun daripada sang suami itu.

Sekitar 20 tahun kemudian, tepatnya 1984, Tin kembali ke Manado. Ketika itu, kerinduannya sangat besar untuk bertemu adik tercinta, Tinu. Apalagi sang adik yang waktu ditinggal pergi masih bayi, saat keduanya bertemu, Tinu sudah menjadi pemuda yang tampan. Jadilah Tin dan Tinu tinggal serumah.

Lama-kelamaan, kehidupan yang mereka jalani sudah tidak lagi sebagai kakak-beradik. Justru, sudah jauh meningkat sebagai kehidupan suami-istri. Sampai-sampai Tin hamil dan melahirkan dua anak. Noldy dan satunya lagi perempuan. ''Anak kami perempuan diadopsi keluarga dokter, sekarang tinggal di luar Manado,'' aku Tin.

Tinu pernah ditahan polisi akibat menjalani kehidupan suami-istri dengan sang kakak. Mereka dilaporkan kerabat keluarga mereka. Tapi, polisi akhirnya jenuh dan melepas Tinu. ''Kami sudah saling sayang," kata Tin dibenarkan Tinu. (kepritoday.com)

0 komentar :

Tulisan Terkait: