Dosen Teknik Elektro ITS Dr Muhammad Rivai menciptakan suatu teknologi sensor aroma yang akan mampu mendeteksi, menganalisis dan mengidentifikasi berbagai macam bau melalui pola-pola algoritma neural network.
"Biasanya hotel menggunakan indra penciuman manusia untuk aroma masakannya, juga pabrik rokok, atau hewan untuk mendeteksi adanya zat berbahaya," kata pria yang berhasil meraih hibah riset Indonesia Toray Science Foundation (ITSF), yang dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Namun indra penciuman manusia atau hewan tergantung sekali pada "mood" dan hasilnya tidak konsisten, tambahnya.
Kalaupun ada alat sensor aroma seperti gas chromatography buatan AS, harganya sangat mahal, sampai sekitar Rp1 miliar, sedangkan alat yang dikembangkannya ini bermodal murah, tak lebih dari Rp10 juta.
Alat yang terdiri dari kolom partisi, sensor dan software tersebut saat ini sudah "dilatih" mengenali 16 jenis aroma seperti aroma apel, melati hingga peppermint, namun ke depan software tersebut memungkinkan untuk mengidentifikasi lebih dari 30 aroma dengan tingkat presisi yang tinggi.
Cara kerjanya, lanjut dia, uap aroma dimasukkan dalam kolom partisi, kemudian uap tersebut akan terpisahkan menjadi komponen penyusun uap yang masing-masing komponen itu diukur intensitas dan konsentrasinya oleh sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM).
"Setiap aroma ini akan menghasilkan pola sinyal sensor yang spesifik misalnya aroma tembakau yang baik, aroma buah apel busuk dan segar, atau aroma sayur yang terkontaminasi insektisida," katanya.
Aroma ini dikenali oleh algoritma neural network yang kemudian dipolakan di layar komputer, ujar pria yang memperoleh Rp32,7 juta dari Toray untuk kepentingan riset lanjutannya itu.
Alat ini, urainya, juga bisa digunakan oleh PDAM dalam mendeteksi kualitas air minum atau digunakan di bidang kesehatan seperti mendeteksi aroma urine untuk mengidentifikasi ginjal tak sehat atau bakteri yang ada di saluran kencing. (antara.co.id)
"Biasanya hotel menggunakan indra penciuman manusia untuk aroma masakannya, juga pabrik rokok, atau hewan untuk mendeteksi adanya zat berbahaya," kata pria yang berhasil meraih hibah riset Indonesia Toray Science Foundation (ITSF), yang dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Namun indra penciuman manusia atau hewan tergantung sekali pada "mood" dan hasilnya tidak konsisten, tambahnya.
Kalaupun ada alat sensor aroma seperti gas chromatography buatan AS, harganya sangat mahal, sampai sekitar Rp1 miliar, sedangkan alat yang dikembangkannya ini bermodal murah, tak lebih dari Rp10 juta.
Alat yang terdiri dari kolom partisi, sensor dan software tersebut saat ini sudah "dilatih" mengenali 16 jenis aroma seperti aroma apel, melati hingga peppermint, namun ke depan software tersebut memungkinkan untuk mengidentifikasi lebih dari 30 aroma dengan tingkat presisi yang tinggi.
Cara kerjanya, lanjut dia, uap aroma dimasukkan dalam kolom partisi, kemudian uap tersebut akan terpisahkan menjadi komponen penyusun uap yang masing-masing komponen itu diukur intensitas dan konsentrasinya oleh sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM).
"Setiap aroma ini akan menghasilkan pola sinyal sensor yang spesifik misalnya aroma tembakau yang baik, aroma buah apel busuk dan segar, atau aroma sayur yang terkontaminasi insektisida," katanya.
Aroma ini dikenali oleh algoritma neural network yang kemudian dipolakan di layar komputer, ujar pria yang memperoleh Rp32,7 juta dari Toray untuk kepentingan riset lanjutannya itu.
Alat ini, urainya, juga bisa digunakan oleh PDAM dalam mendeteksi kualitas air minum atau digunakan di bidang kesehatan seperti mendeteksi aroma urine untuk mengidentifikasi ginjal tak sehat atau bakteri yang ada di saluran kencing. (antara.co.id)
0 komentar :
Posting Komentar