“Tipe kos-kosan seperti itu seharusnya dihuni oleh para pekerja ataupun orang-orang yang sudah berumah tangga, dan harga yang ditawarkan para pemilik kos bisa dua kali lebih mahal daripada kos-kosan biasa yang mempunyai peraturan cukup ketat,” kata Jono, seorang pegawai yang bertugas mengelola rumah kos di daerah Tegalsari, Kota Semarang, Jumat.
Penghuni kos di sini memang didominasi mahasiswa, sedangkan yang sudah bekerja hanya sekitar 20 persennya saja. Padahal tarif bulanan per kamarnya antara Rp750 ribu sampai Rp1 juta, katanya.
Sementara beberapa mahasiswa baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta (PTN/PTS) di Semarang menyatakan hal yang sama bahwa tinggal di rumah kos dengan penghuni kos campur lebih menyenangkan ketimbang kos di rumah kos yang tarifnya lebih murah namun memiliki aturan lebih ketat.
Ranto (22), seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Semarang mengatakan bahwa tipe rumah kos campur memang yang diinginkannya.
“Di sini tidak banyak aturan, mau pulang kapan saja oke, subuh juga tidak masalah, bahkan teman cewek masuk kamar juga tidak dilarang,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Yeny (19), mahasiswa PTS yang kos di daerah Sampangan, dia mengatakan bahwa kos di rumah kos yang tidak terlalu banyak aturan lebih menyenangkan ketimbang kos dengan banyak aturan yang ketat.
Yang lebih mengejutkan, pengakuan Yeny yang menyebutkan, sudah terbiasa tinggal satu kamar dengan pacarnya di tempat kosnya.
Berdasarkan pengakuan dari penghuni maupun penjaga kos di bilangan Sampangan, Tegalsari, Kedungmundu, Tlogosari, Sekaran, Bendanduwur, dan Banyumanik, pengawasan para pemilik rumah kos terhadap penghuni kos sangat kurang.
Menurut pengakuan mereka, kebanyakan pemilik rumah kos jarang datang ke rumah kos miliknya.
“Mereka juga tidak terlalu memikirkan keadaan kos-kosan yang biasanya sering digunakan untuk ‘kumpul bersama’ antara penghuni kos dengan pacarnya. Yang terpenting buat pemilik, penghuni bayar bulanannya tepat waktu,” kata Ani, mahasiswa PTN di Semarang.
Pengakuan yang sama juga diungkapkan oleh Ario, Bambang, Nugroho, dan Wiwin, keempatnya adalah mahasiswa sebuah PTS di Semarang.
Menurut mereka berempat, kalaupun ada penjaga kos mereka (penjaga) hanya menjaga pintu masuk, memperbaiki inventaris yang rusak, memperbaiki lorong kamar dan mengurusi urusan administrasi bagi penghuni kos.
Namun, tidak semua mahasiswa PTS/PTN di Kota Semarang menyenangi tinggal di rumah kos yang penghuninya campur dengan pengawasan amat lemah dari pemiliknya.
Menurut Tri Hapsari, mahasiswa sebuah PTN yang tinggal di daerah Tegalsari, masih banyak mahasiswa yang kos di rumah kos dengan pengawasan baik.
“Mereka kebanyakan memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik pada dirinya sendiri, kedua orang tua yang memberi kepercayaan pada dirinya masing-masing, dan mereka tidak berbuat yang aneh-aneh,” katanya.
0 komentar :
Posting Komentar