Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan album ketiga. Pendahulunya, Abdurrahman Wahid pun melancarkan kritikan. Rakyat lagi susah, presidennya kok malah menyanyi. Gitu aja kok repot.
Produktif mana SBY sebagai presiden ketimbang penyanyi? Dalam terminologi kuantitas, jawabnya tentu yang terakhir. Bayangkan, baru satu term jadi presiden, SBY sudah meluncurkan tiga album. Album ketiganya bertajuk Evolusi diluncurkan Minggu (11/1).
Untuk apa SBY meluncurkan album ketiga ini? Dia ingin mengungkapkan isi hati dan pikirannya setelah empat tahun lebih memimpin bangsa. Dia ingin berbagi rasa keseniannya kepada masyarakat. Maka, diajaknya Yockie Suryoprayogo, musisi yang top ketika berkolaborasi dengan Chrisye dan Eros Djarot, untuk menggarapnya.
Album ketiga SBY meluncur saat kehidupan masyarakat belum juga terangkat ke harkat yang lebih baik. Kesulitan dan kesusahan masih mendera sebagian besar warga. Maka, datanglah sentilan dari Gus Dur, mantan presiden. “Rakyat sedang krisis, presidennya kok malah nyanyi,” kata Gus Dur.
Rakyat susah? SBY belum mampu mencarikan solusi untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat, terutama dari sisi ekonomi. Itu karena titik pandang dan tindakan yang sering berubah-ubah.
Masih ingat pernyataan SBY yang mengkritik tiga sistem ekonomi: kapitalisme, komunisme, dan neoliberalisme? Sungguh terasa aneh. Pernyataan itu justru hadir di tengah gencarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi kapitalisme-neoliberalisme era kepresidenan SBY, pemimpin hasil Pemilu 2004.
Sejatinya, kritik SBY terhadap kapitalisme global bukan barang jualan baru. Pada beberapa kesempatan, sebagaimana dicatat aktivis LSM Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, ternyata SBY pernah menegaskan hal yang sama. Bahkan ketika menyampaikan pidato awal tahun, SBY mengajukan tiga komitmen pemerintah memperjuangkan kemandirian bangsa. Tiga hal pokok tersebut adalah kemandirian di bidang ekonomi, politik, dan pertahanan negara.
Di sinilah letak persoalannya. SBY bersikap ambivalen dan mendua. “SBY mengkritik kapitalisme dan mendorong kemandirian. Di saat yang sama, berbagai kebijakan politik dan ekonomi neolib pro IMF dan Bank Dunia kerap lahir atas persetujuannya,” kata Dani Setiawan Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU), Jakarta.
Rakyat tentu tidak lupa betapa sadisnya pencabutan subsidi BBM, dua tahun lalu. Rakyat juga gerah ketika pemerintah melaksanakan kebijakan liberalisasi perdagangan dengan membuka keran impor bagi produk-produk pertanian. Dan paling banyak diributkan adalah penjualan blok Cepu ke ExxonMobil, serta perjanjian DCA Indonesia-Singapura yang sangat mengusik kedaulatan kita.
Bagian terbesar dari inkonsistensi pernyataan SBY adalah lahirnya produk regulasi investasi pesanan Bank Dunia yang sangat liberal dan pro asing. Yakni, pengesahan UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan Peraturan Presiden No. 76 dan 77. Kedua beleid ini menjadi payung dari arah liberalisasi ekonomi secara total di Indonesia.
Di tengah itu semualah, album ketiga SBY muncul. Tak pelak, sejumlah kritikan pun muncul ke hadapannya. SBY diminta lebih serius mengurus kemiskinan ketimbang meluncurkan album.
Menghadapi kritik-kritik itu, Partai Demokrat (PD) bersikap tenang dan elegan. PD juga mempersilahkan bagi siapa saja yang akan memanfaatkan momentum itu untuk menjatuhkan popularitas SBY.
“Silahkan saja bila memang mau dimanfaatkan. Kita tidak melarang, biarkan saja. Itukan aktualisasi diri dari seorang manusia yang memiliki jiwa seni,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Achmad Mubarok kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (12/1).
Namun agaknya, presiden memang perlu lebih teliti memahami kapitalisme dan neoliberalisme. Pembangunan nasional yang berkarakter kerakyatan, sebagaimana diamanatkan konstitusi, tidak butuh jargon. Pelaksanaannya menghendaki komitmen dan kesungguhan mengoreksi struktur ekonomi warisan kolonial yang masih bertahan. (inilah.com)
Produktif mana SBY sebagai presiden ketimbang penyanyi? Dalam terminologi kuantitas, jawabnya tentu yang terakhir. Bayangkan, baru satu term jadi presiden, SBY sudah meluncurkan tiga album. Album ketiganya bertajuk Evolusi diluncurkan Minggu (11/1).
Untuk apa SBY meluncurkan album ketiga ini? Dia ingin mengungkapkan isi hati dan pikirannya setelah empat tahun lebih memimpin bangsa. Dia ingin berbagi rasa keseniannya kepada masyarakat. Maka, diajaknya Yockie Suryoprayogo, musisi yang top ketika berkolaborasi dengan Chrisye dan Eros Djarot, untuk menggarapnya.
Album ketiga SBY meluncur saat kehidupan masyarakat belum juga terangkat ke harkat yang lebih baik. Kesulitan dan kesusahan masih mendera sebagian besar warga. Maka, datanglah sentilan dari Gus Dur, mantan presiden. “Rakyat sedang krisis, presidennya kok malah nyanyi,” kata Gus Dur.
Rakyat susah? SBY belum mampu mencarikan solusi untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat, terutama dari sisi ekonomi. Itu karena titik pandang dan tindakan yang sering berubah-ubah.
Masih ingat pernyataan SBY yang mengkritik tiga sistem ekonomi: kapitalisme, komunisme, dan neoliberalisme? Sungguh terasa aneh. Pernyataan itu justru hadir di tengah gencarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi kapitalisme-neoliberalisme era kepresidenan SBY, pemimpin hasil Pemilu 2004.
Sejatinya, kritik SBY terhadap kapitalisme global bukan barang jualan baru. Pada beberapa kesempatan, sebagaimana dicatat aktivis LSM Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, ternyata SBY pernah menegaskan hal yang sama. Bahkan ketika menyampaikan pidato awal tahun, SBY mengajukan tiga komitmen pemerintah memperjuangkan kemandirian bangsa. Tiga hal pokok tersebut adalah kemandirian di bidang ekonomi, politik, dan pertahanan negara.
Di sinilah letak persoalannya. SBY bersikap ambivalen dan mendua. “SBY mengkritik kapitalisme dan mendorong kemandirian. Di saat yang sama, berbagai kebijakan politik dan ekonomi neolib pro IMF dan Bank Dunia kerap lahir atas persetujuannya,” kata Dani Setiawan Program Officer Sekretariat Nasional Koalisi Anti Utang (KAU), Jakarta.
Rakyat tentu tidak lupa betapa sadisnya pencabutan subsidi BBM, dua tahun lalu. Rakyat juga gerah ketika pemerintah melaksanakan kebijakan liberalisasi perdagangan dengan membuka keran impor bagi produk-produk pertanian. Dan paling banyak diributkan adalah penjualan blok Cepu ke ExxonMobil, serta perjanjian DCA Indonesia-Singapura yang sangat mengusik kedaulatan kita.
Bagian terbesar dari inkonsistensi pernyataan SBY adalah lahirnya produk regulasi investasi pesanan Bank Dunia yang sangat liberal dan pro asing. Yakni, pengesahan UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan Peraturan Presiden No. 76 dan 77. Kedua beleid ini menjadi payung dari arah liberalisasi ekonomi secara total di Indonesia.
Di tengah itu semualah, album ketiga SBY muncul. Tak pelak, sejumlah kritikan pun muncul ke hadapannya. SBY diminta lebih serius mengurus kemiskinan ketimbang meluncurkan album.
Menghadapi kritik-kritik itu, Partai Demokrat (PD) bersikap tenang dan elegan. PD juga mempersilahkan bagi siapa saja yang akan memanfaatkan momentum itu untuk menjatuhkan popularitas SBY.
“Silahkan saja bila memang mau dimanfaatkan. Kita tidak melarang, biarkan saja. Itukan aktualisasi diri dari seorang manusia yang memiliki jiwa seni,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Achmad Mubarok kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (12/1).
Namun agaknya, presiden memang perlu lebih teliti memahami kapitalisme dan neoliberalisme. Pembangunan nasional yang berkarakter kerakyatan, sebagaimana diamanatkan konstitusi, tidak butuh jargon. Pelaksanaannya menghendaki komitmen dan kesungguhan mengoreksi struktur ekonomi warisan kolonial yang masih bertahan. (inilah.com)
0 komentar :
Posting Komentar