DPR dituding sebagai aktor paling menghambat pemberantasan korupsi. Dalam banyak hal DPR berdiri pada posisi mengancam dan menghambat pemberantasan korupsi.
"Tidak maksimalnya kinerja penegak hukum diperparah dengan sikap resistensi sejumlah fraksi di DPR RI. Tahun 2008 aktor paling menghambat pemberantasan korupsi itu pihak DPR," kata pengamat hukum ICW Febri Diansyah dalam diskusi 'Menakar Masa Depan Pemberantasan Korupsi' di Jakarta Media Center Senin (5/1).
ICW melakukan pencatatan dan pengamatan dari tahun ke tahun. Menurut Febri, setidaknya ada 6 argumen yang mendukung pernyataan itu.
Pertama, sikap serangan balik dan bahkan rencana revisi kewenangan penyadapan pada UU KPK pasca mulai banyak anggota DPR yang diperiksa dalam kasus korupsi. Kedua, penghapusan eksistensi Hakim Ad Hoc pada revisi kedua UU Mahkamah Agung. Ketiga soal BPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan audit.
"Keempat sikap pro-status quo mayoritas fraksi untuk memperpanjang usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun, yang sama saja sebagai sikap anti perubahan, anti regenerasi dan perbaikan kekuasaan kehakiman," paparnya.
Kelima, upaya mempertahankan klausul kewajiban adanya izin pemeriksaan bagi anggota MPR,DPR,DPD, dan DPRD dalam proses pemeriksaan tindak pidana. Berlindung dibalik logika 'Imunitas Legislatif' sikap itu justru menganulir asas semua orang dianggap sama di depan hukum dan mengarah pada strategi kebal hukum.
"Yang keenam adalah, lambatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Pengadilan Tipikor," tandasnya. (inilah.com)
"Tidak maksimalnya kinerja penegak hukum diperparah dengan sikap resistensi sejumlah fraksi di DPR RI. Tahun 2008 aktor paling menghambat pemberantasan korupsi itu pihak DPR," kata pengamat hukum ICW Febri Diansyah dalam diskusi 'Menakar Masa Depan Pemberantasan Korupsi' di Jakarta Media Center Senin (5/1).
ICW melakukan pencatatan dan pengamatan dari tahun ke tahun. Menurut Febri, setidaknya ada 6 argumen yang mendukung pernyataan itu.
Pertama, sikap serangan balik dan bahkan rencana revisi kewenangan penyadapan pada UU KPK pasca mulai banyak anggota DPR yang diperiksa dalam kasus korupsi. Kedua, penghapusan eksistensi Hakim Ad Hoc pada revisi kedua UU Mahkamah Agung. Ketiga soal BPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan audit.
"Keempat sikap pro-status quo mayoritas fraksi untuk memperpanjang usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun, yang sama saja sebagai sikap anti perubahan, anti regenerasi dan perbaikan kekuasaan kehakiman," paparnya.
Kelima, upaya mempertahankan klausul kewajiban adanya izin pemeriksaan bagi anggota MPR,DPR,DPD, dan DPRD dalam proses pemeriksaan tindak pidana. Berlindung dibalik logika 'Imunitas Legislatif' sikap itu justru menganulir asas semua orang dianggap sama di depan hukum dan mengarah pada strategi kebal hukum.
"Yang keenam adalah, lambatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Pengadilan Tipikor," tandasnya. (inilah.com)
0 komentar :
Posting Komentar