Untuk kesekian kalinya dunia Arab tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya melontarkan kecaman, kutukan dan imbauan untuk saling bergandeng tangan menghadapi kekejaman Zionis Israel. Apa sebenarnya yang dapat mereka perbuat?
Yang jelas tak cukup hanya dengan kecaman atau kutukan, tapi dunia Arab harus benar-benar bersatu untuk memberikan tekanan politik dan ekonomi, bila tak mampu melalui jalur militer.
Coba lihat reaksi dari dunia Arab ketika pasukan udara Israel membombardir sejumlah fasilitas pertahanan Hamas di Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 200 orang, Sabtu (27/12). Mereka hanya bereaksi dengan melontarkan protes dan seruan aksi balasan atas kebengisan Israel. Tapi apakah sikap itu mewakili seluruh dunia Arab? Sepertinya tidak seperti itu, mereka yang bereaksi keras hanyalah negara-negara yang selama ini berseberangan sikap dengan Barat.
Meskipun Liga Arab menyerukan pertemuan para menlu negara-negara Arab pada Rabu mendatang (31/12) untuk fokus menanggapi serangan udara Israel, kata ketua Liga Arab Amr Moussa. Namun, banyak orang menerka hasil pertemuan itu hanyalah akan menghasilkan keputusan atau kebijakan basa-basi tanpa tindakan yang nyata untuk memukul negeri Yahudi itu.
Begitu juga dengan sikap Mesir, yang ditunjukkan oleh Menlu Ahmed Aboul Gheit. Ia hanya menyampaikan dua cita atas jatuhnya korban warga Palestina dalam serangan Israel itu. Ungkapan belasungkawa Mesir itu dinilai sejumlah kalangan hanya sebagai menutupi rasa malu dan bersalah, karena merekalah yang menjembatani hingga tercapainya gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang habis masa berlakunya Jumat pekan lalu.
Kairo juga berjanji untuk membuka perbatasan Mesir dengan Gaza di Rafah untuk memberikan kesempatan warga Palestina yang menjadi korban keganasan Israel itu berobat ke Mesir.
"Sekarang saatnya semua bergandengan tangan dengan rakyat Palestina dan menghentikan aksi militer membabi buta ini," seru Gheit.
Dari situ tampak Mesir mencoba menutupi kesalahannya menutup perbatasan dengan Gaza, sehingga menyebabkan 1,5 juta rakyat Palestina di wilayah yang dikuasai Hamas itu bagai sansak hidup dan rentan terhadap serangan Israel. Itulah sebabnya, setelah serangan terjadi, dunia Arab mengecam peran Mesir bersama Israel yang memblokade Jalur Gaza menyusul naiknya Hamas sebagai penguasa wilayah itu pada Juni 2007.
Di Lebanon, sekitar 4.000 pengunjukrasa turun ke jalan menuju kamp pengungsian di kawasan selatan negara itu untuk menyampaikan kecaman atas serangan itu secara umum dan khusus terhadap peran Mesir yang ikut memblokade Gaza.
"Hosni Mubarak, Anda adalah agen Amerika, Anda pengkhianat!" teriak pengunjukrasa. Mereka juga mendesak kelompok Hizbullah untuk segera menyerang Israel.
Sementara PM Lebanon Fuad Saniora menggambarkan serangan Israel itu sebagai tindakan kriminal. Begitu juga dengan kelompok Hizbullah yang menyebut serangan itu sebagai kejahatan perang dan pembantaian dan mereka juga mengritik Arab yang tak mampu berbuat apa-apa atas kebiadaban Zionis itu.
Nah, tampak sekali kegamangan di antara bangsa Arab sendiri dalam merespons tindakan Israel. Tak ada target yang jelas yang akan dibahas dalam pertemuan para menlu Arab itu, kecuali hanyalah pernyataan sikap tanpa disertai tindakan nyata. Padahal, negara-negara di kawasan Teluk itu memiliki kekuatan maha besar untuk menekan Israel dan kroninya, Amerika Serikat, yaitu minyak.
Dengan kondisi ekonomi Barat yang mulai kelimpungan, seharusnya dapat dimanfaatkan bagi Arab untuk ’memainkan’ harga sebagai negosiasi atas penyelesaian konflik Israel-Palestina. Bukan malah mengikuti irama permainan Amerika dan Israel, dengan terus menekan Palestina demi mewujudkan ambisi menguasai emas hitam di kawasan panas itu.
Jika Arab sepakat untuk menghentikan atau memangkas dengan drastis pasokan minyak ke pasar dunia, tak dapat dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi negara-negara maju di Barat, meski imbasnya juga akan memukul ekonomi global. Tapi setidaknya kerugian terbesar akan dialami AS dan konco-konconya.
Arab juga harus segera menyatukan sikap dan melakukan pendekatan dengan tim Presiden terpilih AS Barack Obama, karena sekitar dua pekan lagi pemerintahan George W Bush akan berakhir. Dan yang paling penting adalah sikap Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang tidak hanya mengikuti permainan AS dan Israel demi memberikan keuntungan kepada kelompoknya, Fatah, tanpa melibatkan Hamas dalam menentukan nasib bangsa dan negara Palestina.
Tanpa sikap yang merangkul seluruh rakyat Palestina dan tanpa persatuan yang hakiki di kalangan negara-negara Arab dalam menghadapi Israel, jangan harap negara Yahudi itu jeri untuk menyerang Hamas atau kelompok-kelompok lainnya di negeri tetangganya itu (inilah.com)
Yang jelas tak cukup hanya dengan kecaman atau kutukan, tapi dunia Arab harus benar-benar bersatu untuk memberikan tekanan politik dan ekonomi, bila tak mampu melalui jalur militer.
Coba lihat reaksi dari dunia Arab ketika pasukan udara Israel membombardir sejumlah fasilitas pertahanan Hamas di Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 200 orang, Sabtu (27/12). Mereka hanya bereaksi dengan melontarkan protes dan seruan aksi balasan atas kebengisan Israel. Tapi apakah sikap itu mewakili seluruh dunia Arab? Sepertinya tidak seperti itu, mereka yang bereaksi keras hanyalah negara-negara yang selama ini berseberangan sikap dengan Barat.
Meskipun Liga Arab menyerukan pertemuan para menlu negara-negara Arab pada Rabu mendatang (31/12) untuk fokus menanggapi serangan udara Israel, kata ketua Liga Arab Amr Moussa. Namun, banyak orang menerka hasil pertemuan itu hanyalah akan menghasilkan keputusan atau kebijakan basa-basi tanpa tindakan yang nyata untuk memukul negeri Yahudi itu.
Begitu juga dengan sikap Mesir, yang ditunjukkan oleh Menlu Ahmed Aboul Gheit. Ia hanya menyampaikan dua cita atas jatuhnya korban warga Palestina dalam serangan Israel itu. Ungkapan belasungkawa Mesir itu dinilai sejumlah kalangan hanya sebagai menutupi rasa malu dan bersalah, karena merekalah yang menjembatani hingga tercapainya gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang habis masa berlakunya Jumat pekan lalu.
Kairo juga berjanji untuk membuka perbatasan Mesir dengan Gaza di Rafah untuk memberikan kesempatan warga Palestina yang menjadi korban keganasan Israel itu berobat ke Mesir.
"Sekarang saatnya semua bergandengan tangan dengan rakyat Palestina dan menghentikan aksi militer membabi buta ini," seru Gheit.
Dari situ tampak Mesir mencoba menutupi kesalahannya menutup perbatasan dengan Gaza, sehingga menyebabkan 1,5 juta rakyat Palestina di wilayah yang dikuasai Hamas itu bagai sansak hidup dan rentan terhadap serangan Israel. Itulah sebabnya, setelah serangan terjadi, dunia Arab mengecam peran Mesir bersama Israel yang memblokade Jalur Gaza menyusul naiknya Hamas sebagai penguasa wilayah itu pada Juni 2007.
Di Lebanon, sekitar 4.000 pengunjukrasa turun ke jalan menuju kamp pengungsian di kawasan selatan negara itu untuk menyampaikan kecaman atas serangan itu secara umum dan khusus terhadap peran Mesir yang ikut memblokade Gaza.
"Hosni Mubarak, Anda adalah agen Amerika, Anda pengkhianat!" teriak pengunjukrasa. Mereka juga mendesak kelompok Hizbullah untuk segera menyerang Israel.
Sementara PM Lebanon Fuad Saniora menggambarkan serangan Israel itu sebagai tindakan kriminal. Begitu juga dengan kelompok Hizbullah yang menyebut serangan itu sebagai kejahatan perang dan pembantaian dan mereka juga mengritik Arab yang tak mampu berbuat apa-apa atas kebiadaban Zionis itu.
Nah, tampak sekali kegamangan di antara bangsa Arab sendiri dalam merespons tindakan Israel. Tak ada target yang jelas yang akan dibahas dalam pertemuan para menlu Arab itu, kecuali hanyalah pernyataan sikap tanpa disertai tindakan nyata. Padahal, negara-negara di kawasan Teluk itu memiliki kekuatan maha besar untuk menekan Israel dan kroninya, Amerika Serikat, yaitu minyak.
Dengan kondisi ekonomi Barat yang mulai kelimpungan, seharusnya dapat dimanfaatkan bagi Arab untuk ’memainkan’ harga sebagai negosiasi atas penyelesaian konflik Israel-Palestina. Bukan malah mengikuti irama permainan Amerika dan Israel, dengan terus menekan Palestina demi mewujudkan ambisi menguasai emas hitam di kawasan panas itu.
Jika Arab sepakat untuk menghentikan atau memangkas dengan drastis pasokan minyak ke pasar dunia, tak dapat dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi negara-negara maju di Barat, meski imbasnya juga akan memukul ekonomi global. Tapi setidaknya kerugian terbesar akan dialami AS dan konco-konconya.
Arab juga harus segera menyatukan sikap dan melakukan pendekatan dengan tim Presiden terpilih AS Barack Obama, karena sekitar dua pekan lagi pemerintahan George W Bush akan berakhir. Dan yang paling penting adalah sikap Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang tidak hanya mengikuti permainan AS dan Israel demi memberikan keuntungan kepada kelompoknya, Fatah, tanpa melibatkan Hamas dalam menentukan nasib bangsa dan negara Palestina.
Tanpa sikap yang merangkul seluruh rakyat Palestina dan tanpa persatuan yang hakiki di kalangan negara-negara Arab dalam menghadapi Israel, jangan harap negara Yahudi itu jeri untuk menyerang Hamas atau kelompok-kelompok lainnya di negeri tetangganya itu (inilah.com)
0 komentar :
Posting Komentar