Beginilah kalau tinggal di kampung tertinggal di Dusun Kenthung, Desa Trisulo, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri. Akrab dengan gelap gulita karena tak ada jaringan listrik, upah kerja pun tidak manusiawi. Dalam sehari bekerja sebagai buruh tani, mereka hanya diberi upah Rp 1.000. Hampir semua warga Dusun Kenthong bekerja sebagai buruh tani, menggarap lahan tebu milik Pabrik Gula (PG) Pesantren, di bawah PTPN X. Mereka baru bisa menikmati upah setelah satu minggu bekerja di lahan tersebut. “Kami mendapat gaji Rp 7.000 setiap minggunya,” ujar Sulihati, 39, warga Dusun Kenthong saat antre air bersih bersama lima warga lainnya, Senin (3/10).
Kepada Surya, Sulihati mengaku tak bisa berbuat apa-apa dengan upah sangat minim itu. Apalagi saat ini, upah yang sangat dinantikan warga itu belum juga dibayarkan oleh PG Pesantren. Sudah dua bulan, mereka mengaku upah buruh tani belum dibayar.
“Kami sudah telanjur menumpuk utang di warung Bu Sri. Setiap kali masak, kami nempur beras dulu dengan harapan bisa dibayar saat gajian. Ada pula yang menggunakan bank thithil (bank harian),” tambah Siti Aminah, warga lainnya.
Ada yang menyebut, sistem upah menggarap lahan tebut tersebut berdasarkan besaran luas lahan. Setip 16 meter, buruh tani berhak atas upah Rp 300. Kemudian, pihak PG membuat hitungan simpel dengan memberi upah Rp 7.000 per minggu.
Biasanya satu keluarga, suami istri, kompak menggarap lahan tebu yang bukan miliknya itu mulai pukul 06.00 WIB sampai 10.00 WIB. Saat musim tebang seperti sekarang, yang laki-laki tebang, yang perempuan besik (membersihkan) sisa tebu. Hari-hari biasa, mereka bekerja mencangkul hingga menyiangi tanaman.
Kampung Kenthong dihuni 49 kepala keluarga (KK), namun jumlah rumah di kampung ini hanya 34 rumah. Rata-rata rumah mereka berdinding bambu dan berlantai tanah. Warga hanya bisa mengeluh karena kampung mereka tak tersentuh pembangunan.
Selain Dusun Kenthong, tiga dusun lain juga belum tersentuh pembangunan. Yakni Dusun Simbarlor, Simbarkidul (keduanya wilayah Desa Plosokidul), dan Timbangan (Desa Kalasan). Rata-rata, warga di kampung tertinggal ini menetap sejak sekitar 1955.
Menurut Siti Aminah, 42, bersama nenek moyangnya sejak dulu keluarganya hanya menggarap tebu milik PG Pesantren. Warga sering menyebutnya milik pabrik Jengkol (karena berada di Desa Jengkol). “Sudah tak ada listrik, upah kami belum juga diberikan,” kata Siti Aminah yang terpaksa membiasakan anaknya tanpa uang saku kalau pergi ke sekolah.
Senin kemarin rencananya warga Kenthong dijanjikan akan menerima upah tersebut dari PG. Namun, mereka kecewa karena upah itu kembali tak terbayar. Oleh Kepala Kampung Kenthong, Budiono, yang juga pegawai PG Pesantren, dijanjikan dibayarkan Selasa (4/11) ini.
Saat ditemui Surya, Budiono mengaku terjadi keterlambatan pencairan upah buruh tani di wilayahnya. Upah terlambat karena Lebaran. Dikatakan Budiono, kantor PG Pesantren satu minggu setelah Lebaran masih tutup. “Mohon dimaklumi karena pegawai di PG Pesantren belum sempat karena banyak tugas. Tapi Selasa besok (hari ini) akan dicairkan dengan sistem rapel,” terang Budiono yang masih mengenakan seragam putih biru (surya)
Kepada Surya, Sulihati mengaku tak bisa berbuat apa-apa dengan upah sangat minim itu. Apalagi saat ini, upah yang sangat dinantikan warga itu belum juga dibayarkan oleh PG Pesantren. Sudah dua bulan, mereka mengaku upah buruh tani belum dibayar.
“Kami sudah telanjur menumpuk utang di warung Bu Sri. Setiap kali masak, kami nempur beras dulu dengan harapan bisa dibayar saat gajian. Ada pula yang menggunakan bank thithil (bank harian),” tambah Siti Aminah, warga lainnya.
Ada yang menyebut, sistem upah menggarap lahan tebut tersebut berdasarkan besaran luas lahan. Setip 16 meter, buruh tani berhak atas upah Rp 300. Kemudian, pihak PG membuat hitungan simpel dengan memberi upah Rp 7.000 per minggu.
Biasanya satu keluarga, suami istri, kompak menggarap lahan tebu yang bukan miliknya itu mulai pukul 06.00 WIB sampai 10.00 WIB. Saat musim tebang seperti sekarang, yang laki-laki tebang, yang perempuan besik (membersihkan) sisa tebu. Hari-hari biasa, mereka bekerja mencangkul hingga menyiangi tanaman.
Kampung Kenthong dihuni 49 kepala keluarga (KK), namun jumlah rumah di kampung ini hanya 34 rumah. Rata-rata rumah mereka berdinding bambu dan berlantai tanah. Warga hanya bisa mengeluh karena kampung mereka tak tersentuh pembangunan.
Selain Dusun Kenthong, tiga dusun lain juga belum tersentuh pembangunan. Yakni Dusun Simbarlor, Simbarkidul (keduanya wilayah Desa Plosokidul), dan Timbangan (Desa Kalasan). Rata-rata, warga di kampung tertinggal ini menetap sejak sekitar 1955.
Menurut Siti Aminah, 42, bersama nenek moyangnya sejak dulu keluarganya hanya menggarap tebu milik PG Pesantren. Warga sering menyebutnya milik pabrik Jengkol (karena berada di Desa Jengkol). “Sudah tak ada listrik, upah kami belum juga diberikan,” kata Siti Aminah yang terpaksa membiasakan anaknya tanpa uang saku kalau pergi ke sekolah.
Senin kemarin rencananya warga Kenthong dijanjikan akan menerima upah tersebut dari PG. Namun, mereka kecewa karena upah itu kembali tak terbayar. Oleh Kepala Kampung Kenthong, Budiono, yang juga pegawai PG Pesantren, dijanjikan dibayarkan Selasa (4/11) ini.
Saat ditemui Surya, Budiono mengaku terjadi keterlambatan pencairan upah buruh tani di wilayahnya. Upah terlambat karena Lebaran. Dikatakan Budiono, kantor PG Pesantren satu minggu setelah Lebaran masih tutup. “Mohon dimaklumi karena pegawai di PG Pesantren belum sempat karena banyak tugas. Tapi Selasa besok (hari ini) akan dicairkan dengan sistem rapel,” terang Budiono yang masih mengenakan seragam putih biru (surya)
0 komentar :
Posting Komentar