11 September 2008

Nasib Israel di Tangan Wanita

Tiga dekade sudah berlalu. Golda Meir tinggal kenangan bagi masyarakat Israel. Tapi, kenangan itu membuncah lagi tatkala Tzipi Livni, politisi wanita yang sedang naik daun, hampir pasti menduduki kursi Perdana Menteri.

http://img186.imageshack.us/img186/3307/livneezipike9.jpg

Foto: Tzipi Livni (internet)

Munculnya Livni cukup mengejutkan. Sejatinya, Israel masih ‘trauma’ dengan pemimpin perempuan. Meir yang menjadi PM sejak 1969, mundur dengan wajah malu pada 1973, setelah Mesir dan Suriah melancarkan serangan mengejutkan ke wilayah Israel. Itulah episode paling menyakitkan dalam sejarah militer Israel.

Sejak saat itu, wanita terpinggirkan dalam politik Israel. Apalagi, Israel adalah negara yang didominasi tentara pria. Negara ini pun dipenuhi penganut agama yang membatasi gerak langkah kaum perempuan. Sampai kemudian muncul Livni.

Tidak seperti Hillary Clinton atau Sarah Palin, Tzipi Livni tidak berbicara mengenai peperangan. Dia memimpin Partai Kadima dan pada 17 September mendatang, siap maju untuk menjadi PM Israel menggantikan Ehud Olmert.

Kehadiran wanita yang saat ini menjabat sebagai Menter Luar Negeri (Menlu) untuk membidik posisi PM Israel otomatis menuai pro dan kontra. Beberapa politisi papan atas Israel, khususnya politisi pria, memberi label Livni sebagai sosok yang ‘lemah’ dan ‘hanya wanita’. Bahkan ada pembicaraan dari kalangan parlemen kelompok ultra-Orthodoks Yahudi yang merasa risih dengan wacana calon pemimpin Israel dari kaum hawa.

Sampai saat ini Livni belum berkomentar mengenai masalah gender. Penasehatnya, Gil Messing, mengatakan Menlu Israel tidak setuju untuk diwawancara mengenai hal tersebut.

Mantan anggota parlemen Naomi Chazan mengatakan bahwa serangan yang dilancarakan kepada Livni dibuat pada pondasi chauvinistik yang dalam. “Livni sebagai bayangan. Dia seperti memberikan sinyal kelemahan (ataukah karena feminimitas?) dan tidak berharga untuk mengambil alih kekuasaan,” tulisnya di surat kabar Jerusalem Post.

Livni yang kini berusia 50 tahun adalah mantan kapten prajurit dan pernah bekerja di agen rahasia Mossad. Ia kemudian mengubah haluan kariernya dengan menjadi pengacara korporat dan ibu dari dua orang putra.

Sembilan tahun lalu ia masuk ke panggung politik sebagai anak didik politisi yang kemudian naik sebagai PM Israel Ariel Sharon. Ia kemudian meraih reputasi sebagai pembicara pragmatis di panggung politik.

Ayahnya, Eitan Livni, adalah seorang putra dari Sion yang ikut dalam peregerakan bawah tanah melawan tentara Inggris yang membela bangsa Palestina. Eitan Livni berpikir bahwa Israel harus memperluas wilayahnya sampai tanah Arab.

Livni kemudian mulai kembali ke panggung politik mengingat impian ayahnya yang harus diteruskan. Akan tetapi, Livni saat ini menghadapi tantangan dengan kenyataan bahwa populasi Palestina yang semakin membesar saat ini.

Selama aktivitas singkatnya di panggung politik, ia pernah menduduki enam pos di kabinet Israel, termasuk Menlu dan Menteri Kehakiman dan Keimigrasian. Sebagai Menlu dan wakil PM ia pernah memimpin negosiasi dengan petinggi Palestina untuk mengakhiri konflik yang tak pernah terselesaikan selama berabad-abad.

Sumber: www.inilah.com

0 komentar :

Tulisan Terkait: