Saya ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian dan simpati Anda semua, baik yang berada di tanah air maupun yang di luar negeri. Dalam waktu singkat, lewat Facebook, milis-milis di internet, maupun media massa konvensional di tanah air, begitu banyak yang memberi komentar, salam persahabatan, dukungan, pertanyaan, keraguan, hingga kritik yang tajam terhadap saya.
Teknologi membuka berbagai kemungkinan baru, termasuk dalam menyatukan perhatian beragam komunitas dari berbagai belahan dunia untuk menyampaikan pendapat secara cepat dan personal. Hal ini tentu perlu disambut dengan tangan terbuka.
Teknologi membuka berbagai kemungkinan baru, termasuk dalam menyatukan perhatian beragam komunitas dari berbagai belahan dunia untuk menyampaikan pendapat secara cepat dan personal. Hal ini tentu perlu disambut dengan tangan terbuka.
Saya minta maaf sebab tidak mungkin membalas satu persatu sapaan yang datang kepada saya.
Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa alasan utama bagi saya untuk tampil sekarang adalah untuk memberi alternatif baru dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional. Sebenarnya, soal ini bukanlah soal saya sebagai pribadi, tetapi persoalan sebuah generasi dan sebuah bangsa yang harus terus bergerak maju.
Sejak 10 tahun terakhir, pilihan-pilihan kepemimpinan nasional tidak banyak berubah. Gus Dur dan Amien Rais tampaknya masih ingin ikut pemilihan presiden tahun depan, mendampingi Presiden SBY dan Wapres Kalla serta Megawati. Begitu juga Jenderal (purn) Wiranto dan Letjen (purn) Probowo. Mungkin Sultan Hemengkubuwono X dan Letjen (purn) Sutiyoso juga akan turut serta.
Saya menghormati tokoh-tokoh senior tersebut. Tapi apakah pilihan kepemimpinan nasional harus berkisar hanya di seputar mereka, sebagaimana yang terjadi setelah Soeharto lengser? Apakah di Indonesia terjadi stagnasi dalam sirkulasi kepemimpinan nasional, sehingga wajah-wajah baru tidak mungkin muncul sama sekali? Jika di Amerika Serikat muncul Obama (47 tahun) dan di Rusia ada Medvedev (44 tahun), mengapa kita tidak? Bukankah Republik Indonesia sebenarnya dipelopori oleh para tokoh yang saat itu berusia muda, seperti dr. Tjipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Sjahrir?
Somebody has to do something. Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang dinamis, berjalan mengikuti perubahan zaman dengan membuka diri terhadap berbagai kemungkinan baru. Kita harus berkata kepada para senior tersebut, we respect you, Sir and Madam. But please give some space to our new generation. Sudah saatnya generasi baru kepemimpinan di Indonesia turut serta dalam penentuan kehidupan bersama pada level politik yang tertinggi.
Pemikiran seperti itulah yang memberanikan saya untuk tampil sekarang. Dengan segala kelemahan yang ada, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk melakukannya. Memang, kalau dipikir-pikir, kata beberapa kawan dekat saya, keputusan itu agak gila sedikit. Lebih banyak beraninya ketimbang pertimbangan yang dingin dan rasional.
Saya bukan menteri atau mantan menteri. Saya bukan ketua umum partai, bukan presiden atau mantan presiden, bukan jenderal berbintang, bukan anak proklamator, bukan pejabat tinggi, bukan bekas panglima TNI, bukan pula orang kaya raya atau anak orang kaya raya. "Rizal," kata kawan- kawan dekat saya itu, "you are a bit crazy. No, damn crazy!"
Bahkan, bukan hanya kawan-kawan saya saja, bekas guru besar saya di Columbus, AS, yang sangat saya sayangi pun, Prof. Bill Liddle, berkomentar lirih, "the time is not yours yet. My dear Celli (nama kecil saya), you don't have any chance whatsoever."
Terhadap semua itu, saya hanya bisa menjawab, "mungkin anda benar." Semboyan kampanye saya pun bunyinya rada mirip, If there is a will, there is a way. Pada tahap awal ini, yang ada hanyalah kehendak, kemauan, keberanian, and almost nothing else. Terhadap Bill Liddle saya sempat membalas emailnya dengan kalimat ini: Pak Bill, the "will" is here, and I am working out the "way".
Mungkin saya akan berhasil, mungkin pula tidak. But let me say this: soalnya bukanlah kalah dan menang, sukses atau tidak. Bahkan sebenarnya, seperti saya telah saya singgung tadi, soalnya bukanlah tentang Rizal Mallarangeng atau siapa pun. Soalnya adalah soal sebuah generasi dan sebuah negri yang kita cintai yang harus bergerak maju, membuka peluang dan kemungkinan- kemungkinan baru.
If what I do will not fly anywhere, saya secara pribadi sudah cukup puas karena saya sudah mencoba menunjukkan bahwa Indonesia tidak membeku, stagnan dengan pilihan-pilihan yang itu-itu saja selama bertahun-tahun.
Namun, kalau toh ada sedikit harapan yang bisa dikatakan saat ini, saya sebenarnya menangkap sebuah isyarat, bahwa dalam masyarakat kita ada sebuah kerinduan terhadap sesuatu yang baru dan segar. But it is much too early to bet on this.
Untuk sementara, saya sudah merasa senang bahwa sekarang sudah mulai ada wacana yang memperbincangkan generasi baru sebagai pilihan kepemimpinan. Kita telah memecahkan glass-ceiling yang membatasi kita selama ini dalam membicarakan kemungkinan baru tersebut di forum
publik.
Dengan wacana akan pilihan baru tersebut, siapa pun orangnya, kita bisa mengatakan kepada dunia, bahkan kepada diri kita sendiri, we are a country on the move. Zaman berubah, Indonesia berubah. Zaman bergerak, Indonesia bergerak.
Buat saya secara pribadi, tentu semua itu mengandung dua sisi, sebagaimana setiap hal yang kita lakukan dalam kehidupan ini. This is a serious business, but I am taking it easy. Memang, ada beberapa hal yang menuntut pengorbanan dalam berbagai hal, termasuk kritik pedas
terhadap diri saya pribadi. Tapi, saya sengaja memulai semua ini dari Banda Neira, salah satunya dari bekas rumah pengasingan dr. Tjipto Mangunkusumo, sebagaimana yang terlihat dalam iklan dari Sabang sampai Merauke.
Entah kenapa, saya tidak pernah berhenti kagum terhadap tokoh pergerakan kebangsaan yang satu ini, sejak masih mahasiswa sampai sekarang. Dia lahir tahun 1886 dan menjadi dokter generasi pertama hasil didikan Belanda. Sebagai dokter muda di tahun 1920an, dia sebenarnya bisa menduduki posisi sangat terhormat sebagai pegawai pemerintah jajahan, apalagi dia pernah mendapat penghargaan tinggi dari Belanda, Order van Oranye, karena keberhasilannya membasmi wabah pes di Malang.
Tapi ternyata dia memilih jalan berbeda dan, bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, meletakkan batu pertama perjuangan politik menuju Indonesia merdeka. Dan karena itu, dia diasingkan ke Banda Neira. Di pulau terpencil inilah, di rumah yang disediakan Belanda, ia melewati hari-harinya selama 12 tahun, 1927-1939. Ia meninggal sebelum sempat menyaksikan negri yang dicintainya berhasil merebut kemerdekaan.
Bagi saya, dr. Tjipto Mangunkusumo adalah sebuah inspirasi, sebuah cerita kehidupan tentang kerelaan menanggung konsekuensi dari sebuah cita-cita. Dan setiap orang, setiap kali mengambil tindakan penting, pasti mengalami hal yang sama, dalam konteks yang berbeda-beda.
Dalam konteks saya, pengorbanan yang ada terlalu kecil untuk menjadi bahan cerita. Yang ada adalah rasa terima kasih kepada banyak sahabat yang telah mendorong dan memungkinkan langkah yang saya tempuh. This is a road less-traveled by, dan karenanya saya pun belum bisa menerka titik akhir dari perjalanan ini. Semuanya bergantung pada dukungan anda dan masyarakat umumnya.
Sejauh ini, satu hal yang menyenangkan saya adalah begitu banyaknya perhatian dan tanggapan dari warga Indonesia yang sedang belajar maupun bekerja di luar negri-- Amerika Serikat, Jepang, Inggris hingga Bahrain. Dari Sabang Sampai Merauke yang saya tampilkan di Youtube dapat disaksikan dari seluruh belahan dunia, secara serempak, kapan saja, dan dalam situasi apa saja.
Saya pernah sekolah, mengajar dan hidup 8 tahun di Columbus, AS. Saat itu belum ada Youtube, dan saya teringat betapa menyenangkannya mendapat kabar yang hangat dari tanah air. Tapi waktu itu hanya ada bacaan koran dan email. Dengan teknologi baru, apa yang dilihat dan didengar di Metro TV, SCTV, RCTI dan TVOne oleh warga kita di Wamena, Jayapura juga bisa disaksikan oleh mahasiswa kita di Tokyo, Washington DC., dan kota-kota lainnya di dunia.
Hal tersebut patut disyukuri. Kerinduan begitu banyak warga kita di luar negri akan kehangatan berita di tanah air, serta keterlibatan dalam peristiwa atau isu yang sama, dapat terpuaskan. Hal ini membawa dampak positif, berupa ikatan kebangsaan yang makin menebal, yang melewati tapal batas negara. Perasaan memiliki tanah air yang sama dan semangat yang sama akan semakin kental, walaupun, atau justru ketika, derap globalisasi semakin intensif.
Kalau saya boleh mengungkapkan kegembiraan, itulah yang bisa saya katakan sekarang. Saya sudah menyiapkan dua lagi iklan susulan, yang masing-masing akan dimuat selama 2 minggu di berbagai tv nasional dan lokal, hingga setelah 17 Agustus nanti. Ketiga seri iklan inilah yang
saya sebut sebagai Trilogi Harapan Baru dan menjadi dasar filosofis dari awal kampanye saya. Mudah-mudahan sambutan terhadapnya juga akan sebaik yang ada saat ini.
Kepada kawan-kawan yang masih belum puas pada jawaban sementara ini, saya mohon maaf. Selain buku saya yang sudah terbit beberapa tahun lalu (Mendobrak Sentralisme Ekonomi, Penerbit: Pustaka Gramedia, 2002), dan banyak tulisan-tulisan saya di berbagai media massa (dapat dilihat di www.freedom- institute. org), saya memang masih butuh waktu untuk merumuskan hal-hal yang lebih kongkret.
Pada saatnya nanti, saya akan menjelaskan semua pemikiran saya, yang saya harapkan dapat sedikit menjawab begitu banyak pertanyaan yang ada.
Salam hangat.
1 komentar :
artikel anda :
http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/surat_untuk_semua_dari_rizal_mallarangeng
promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!
Posting Komentar