27 Juni 2008

Masri Singarimbun (1930-1997)

Si Matahari Studi Kependudukan

Prof Dr Masri Singarimbun, akrab dipanggil Pak Masri dan punya nama kecil Matahari, seorang pakar antropologi sosial dan ahli studi kependudukan. Dia pendiri sekaligus direktur pertama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (1973-1983). Pria ‘Si Matahari Peneliti Kependudukan’ kelahiran Karo, Sumatera Utara, 18 Juni 1931, ini sudah gemar meneliti sejak lulus dari SMA, 1954. Dia meninggal 25 September 1997.

Pak Masri, bersama David H Penny ekonom dari Australia, adalah ilmuwan pertama yang mengangkat kemiskinan sebagai masalah sosial khususnya di pedesaan Jawa dalam buku Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo (1977). Dia memiliki empati (bela rasa) sangat kuat terhadap kolega yang sedang tertimpa kesulitan maupun masyarakat miskin yang dikajinya.

Pusaat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada memberi penghormatan kepada dengan menyelenggarakan program Masri Singarimbun Reearch Award. Program “Masri Singarimbun Research Award” memberikan dana penelitian secara kompetitif kepada para peneliti muda Indonesia yang berminat secara lintas disiplin dalam bidang keehatan reproduksi menggunakan perspektif gender.

Pusat Data dan Analisa Tempo menulis Masri mengaku gemar meneliti sejak lulus dari SMA Negeri I Medan, 1954. Ketika itu, Matahari -- nama kecilnya -- menjelajahi banyak desa Karo, mengumpulkan berbagai peribahasa. Hasil penelitian ini menjadi buku berjudul 1.000 Perumpamaan Karo, terbit di Medan, 1962.

Masuk Fakultas Paedagogi UGM tahun 1959, ia kemudian mendapat beasiswa untuk belajar pada Australian National University (ANU), Canberra. Gelar doktor antropologi diraihnya dari universitas ini dengan disertasi, Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak, 1966.

Sebelas tahun ia menetap di Australia, sempat menjadi pembantu khusus Atase Militer KBRI di Canberra, dan research fellow di ANU. Tetapi, akhirnya ia pulang kandang juga, ''Kami ingin membesarkan dan mendidik anak-anak di Indonesia,'' ujar Masri, yang menikah dengan Irawati, 1959, gadis Semarang teman kuliahnya di Paedagogi UGM.

Masri kemudian dikenal karena berbagai penelitiannya dalam masalah KB. Untuk meneliti hasrat penggunaan kondom, ia mulai dari lingkungan dekatnya. Ditaruhnya sepiring kondom di meja kerjanya, di Fakultas Ekonomi UGM waktu itu, lalu ditulisnya: ''Silakan Ambil'', dan ditinggalkannya pergi. Menjelang tutup kantor, ia kembali, dan kondom itu ternyata tidak digubris orang. Tidak putus asa. Keesokannya ia sengaja tidak masuk kantor. Hari berikutnya, ketika ia masuk kantor, ''kondom itu habis'', ujarnya. Dari perilaku itu, ayah tiga anak ini berkesimpulan bahwa masyarakat sebenarnya punya hasrat besar dalam KB.

Ia pun memberanikan diri memberikan pelayanan permintaan kondom melalui pos. Pasang iklan di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, delapan kali antara September dan Oktober 1973. ''Dengan mengirim prangko Rp 30,00 ke Dwijaya, Kotak Pos 85 Yogya, akan dikirim 6w9 buah kondom''. Berhasil, 346 surat datang ke Dwijaya. Tetapi, ada yang kena getah. Tiga orang pelajar putri mencak-mencak karena mendapat kiriman kondom dari Dwijaya. ''Itu ulah tangan usil,'' kata Masri. Dan kegiatan pelayanan kondom lewat pos dihentikan ''karena BKKBN sudah giat,'' katanya.

Penelitiannya mengenai KB membawanya ke bidang demografi. Kala itu, di samping mengajar antropologi terapan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Masri juga Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan (PPSK) UGM. Ia juga dikenal sebagai kolumnis di berbagai media; Kompas, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat. Di majalah Tempo, lebih dari 50 buah tulisannya pernah dimuat.

Karya tulisnya tidak terhitung, apalagi makalahnya. Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Srihardjo di Pedesaan Jawa, adalah salah satu bukunya yang terkenal, diterbitkan Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1976. Buku ini terjemahan dari bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Universitas Cornell, Ithaca, 1973. Disertasinya diterbitkan oleh University of California Press, Berkeley, AS, 1975.

Dalam Resensi Buku Pustakaloka Kompas Sabtu, 20 September 2003 yang ditulis J Sumardianta, Guru Sosiologi SMU Kolese de Britto, Yogyakarta, bertajuk: Gerilya Melawan Pendangkalan Makna Hidup (Judul Buku: Reflections from Yogya: Portraits of Indonesian Social Life; Penulis: Masri Singarimbun; Editor: Irawati Singarimbun; Penerbit: Galang Press-Yogyakarta, 2003; Tebal: xxvii + 448 halaman), disebutkan bahwa Prof Dr Masri Singarimbun, akrab dipanggil Pak Masri, semasa hidupnya (1930-1997) dikenal sebagai pakar antropologi sosial dan ahli studi kependudukan. Pak Masri, bersama David H Penny ekonom dari Australia, adalah ilmuwan pertama yang mengangkat kemiskinan sebagai masalah sosial khususnya di pedesaan Jawa dalam buku Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo (1977).

PAK Masri pernah dicap sebagai ilmuwan pesimis gara-gara penelitiannya yang tergolong sensitif saat itu. Ia dituduh menutup mata terhadap hasil-hasil pembangunan. Begitu ada pemberitaan bencana kelaparan di Indramayu, masyarakat di lumbung padi pantura sampai merebus eceng gondok, pelan-pelan orang mulai percaya dengan temuannya. Pendiri sekaligus direktur pertama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (1973-1983) ini memiliki empati (bela rasa) sangat kuat terhadap kolega yang sedang tertimpa kesulitan maupun masyarakat miskin yang dikajinya.

Publikasi yang ditulis dan dieditnya sepanjang tahun 1959 hingga 1997 berjumlah 101. Pak Masri juga menulis sekitar 120-an artikel di berbagai media massa, termasuk di majalah Prisma. Tahun 1992 Balai Pustaka menerbitkan Renungan dari Yogyakarta. Buku ini merupakan antologi tulisan Pak Masri yang pernah dimuat di Tempo, Editor, Kompas, dan Jawa Pos sepanjang 1977 hingga 1992. Reflections from Yogya: Portraits of Indonesian Social Life adalah edisi Inggris Renungan dari Yogyakarta yang dipublikasikan Galang Press. Sejarawan Onghokham berhasil menampilkan kearifan maupun kebejatan masa lalu bangsa Indonesia di media massa. Pak Masri sukses mengurai benang kusut masalah-masalah sosial di surat kabar untuk konsumsi pembaca awam.

Pak Masri mengajak khalayak pembaca merenungkan masalah-masalah seperti birokrasi yang tidak kunjung efisien dan mau melayani, ledakan populasi penduduk, kemiskinan, HIV/AIDS, terorisme seksual, agresi tak terkendali, korupsi, buruknya perpustakaan perguruan tinggi, rendahnya motivasi berprestasi, dan runtuhnya pilar-pilar moralitas. Patologi sosial yang hingga sekarang masih menelikung kehidupan masyarakat Indonesia.

KOLOM merupakan tulisan yang sangat menonjolkan strong personal views. Ciri utama kolom Pak Masri, sebagaimana dituturkan Prof Terence H Huul dari Australian National University, bahasanya populer, langsung menukik ke pokok soal, berlumuran humor di sekujur karangan, reflektif, dan tak lekang zaman. Almarhum Satyagraha Hurip, sastrawan, pernah menganjurkan Pak Masri menulis cerpen mengingat gagrak (genre) story telling tulisannya.

Pak Masri, seperti halnya Pater MAW Brouwer, memang seorang penutur cerita kelas wahid. "Kami, anak-anak, waktu itu melihat tikus sebagai kawan dan makhluk yang menggairahkan. Tikus besar mendatangkan selera makan, lebih enak dari yang berukuran sedang. Tikus ladang lebih lezat dibandingkan tikus yang berkeliaran di rumah. Seperti halnya kodok, tikus juga dibakar. Tikus panggang yang gurih ini boleh dimakan dengan sambal, dan boleh juga digulai. Tidak mustahil salah satu pemecahan hama tikus justru dengan jalan damai. Mencintai dagingnya lalu memopulerkan lauk tikus: tikus bakar, sate tikus, soto tikus, dan sop tikus. Soalnya, daging tikus lebih enak dari daging ayam atau kelinci. Kadar proteinnya pun lebih tinggi." Ini contoh gaya bertutur menggelitik penuh guyonan yang ditulis Pak Masri dalam kolom berjudul Mice and Men. Sebagai bahan perbandingan keripik dan sate bekicot (kodenya 02) sudah menjadi menu makanan favorit masyarakat Kediri dan Blitar, Jawa Timur, yang dihidangkan di warung maupun restoran.

Pertanyaan reflektif senantiasa menyertai tulisan Pak Masri. Jika anjing dan serigala mau mengekang diri, berhenti mencabik-cabik musuhnya yang sudah menyerah tak berdaya, mengapa manusia tega membunuh orang yang sudah tidak berkutik? "Where is the Limit to Aggression?" adalah tulisan pertama Pak Masri di Tempo tahun 1977 yang tetap relevan buat merefleksikan perilaku sebagian masyarakat kita yang ringan senjata di Aceh, Maluku, Poso, dan Sampit.

Zaman edan, tulis Pak Masri mengutip Ranggawarsita, nek ora edan ora komanan (kalau tidak larut dalam kegilaan tidak kebagian), dalam tulisan berjudul Living Together (Kumpul Kebo). Generasi muda jika terpaksa harus berkawan dengan "setan" lebih baik memilih "setan mini" (alat kontrasepsi) ketimbang "setan maksi" (hamil di luar nikah, aborsi, dan anak haram jadah)? Ini solusi yang ditawarkan Pak Masri dua dekade lalu untuk mengurai benang kusut kehidupan generasi muda yang makin lama perilakunya serba bebas dan serba boleh (permisif). Istilah Pak Masri tiada hari tanpa rangsangan seksual alias tak putus dirundung renjana berahi. Gayung bersambut. Kini anjuran Pak Masri seperti menemukan kebenarannya. Global TV, stasiun TV swasta relay MTV Asia, dengan segmen khalayak pemirsa kaum muda gencar menayangkan iklan kondom dengan aroma buah-buahan Fiesta.

Kebijakan konyol normalisasi kehidupan kampus di zaman Orde Baru diparodikan Pak Masri menjadi tulisan Normalizing the Campus Library (Normalisasi Perpustakaan Kampus) saat mengkritik buruknya pelayanan dan minimnya koleksi perpustakaan yang merajalela di perguruan tinggi Indonesia dan Normalizing the Neck (Normalisasi Leher) untuk mengingatkan bahwa wabah kekurangan yodium juga melanda keluarga para dosen yang tinggal di lingkungan kampus.

"Beginilah riwayat manusia. Dalam situasi terbelakang masyarakat dibebani ketergantungan anak berjumlah besar. Dalam keadaan maju digayuti orang-orang lanjut usia. Namun, masalah keterbelakangan niscaya lebih runyam ketimbang masalah akibat kemajuan. Dengan kata lain, masalah ekonomi akibat struktur umur tua tidak seberapa dibandingkan masalah kemiskinan pada masyarakat terbelakang dengan tingkat kelahiran tinggi," ini renungan filosofis Pak Masri perihal kisah sukses bangsa Jepang menekan laju pertumbuhan penduduk dalam Via the Old Route (Lewat Jalan Kuno).

Ingin tahu sebabnya? Jepang yang begitu jauh di depan memimpin modernisasi, kemajuan teknologi, dan kemakmuran, primitif dalam pemilihan kontrasepsi. Tingkat kelahiran yang rendah dicapai melalui cara kampungan: kondom, sanggama terputus, dan pantang berkala. Wanita Jepang gemetar melihat pil anti-hamil dan IUD. Bandingkan dengan perempuan di pelosok-pelosok desa Jawa yang buta huruf, fatalistik, berorientasi jangka pendek, pemakan gaplek, kurang need for achievement ternyata konsumen pil KB dan pemakai spiral. Rupanya, semakin tinggi pendidikan kaum urban semakin udik metode KB mereka.

DALAM pandangan Prof Dr Benjamin Nicholas Forbes White, pakar studi pedesaan dari Universitas Amsterdam, Belanda, walaupun buku ini berjudul Reflections from Yogya, it is not a book about Yogyakarta. Hanya sedikit, dari keseluruhan 81 artikel, yang menyinggung hal-hal yang terjadi di sekitar Yogya, bahkan banyak yang tidak menyinggung Indonesia secara langsung, tetapi menceritakan pengalaman Pak Masri di Bangkok, Canberra, Manila, New York, Mesir, Roma, dan India.

Buku klasik ini tetap relevan karena berhasil membuktikan manusia Indonesia, terutama elite politiknya, merupakan manusia hipokrit miskin refleksi. Mentalitas munafik enggan berefleksi inilah penyebab bangsa Indonesia cenderung dan gemar menakik peradaban usang yang menjerumuskan pada pendangkalan makna di pelbagai lini strategis kehidupan. Reflections from Yogya, ditujukan untuk pembaca asing pemula yang hendak mengenal dari dekat kehidupan masyarakat Indonesia dalam bahasa populer dan ringan, enak dicerna mengingat gaya bertuturnya yang khas, menggerakkan pikiran, memiliki daya sentuh, dan gaya gugah. Pendeknya buku yang memiliki gizi rohani tinggi. Nah, yang paling esensial, buku optimis ini mengajak khalayak pembacanya masuk ke relung hatinya yang terdalam supaya tabah menghadapi pergulatan, tegar mengatasi kesulitan dan tantangan, serta berani memeluk risiko.

Kendati demikian, seumumnya bunga rampai buku ini mengidap penyakit bawaan. Berbagai tulisan yang pernah dimuat di media massa, satu hingga tiga dekade lalu, datanya banyak yang sudah usang. Gagasan Pak Masri, kalau di cermati dengan teliti, ternyata juga mengandung inkonsistensi. Pak Masri, sebagai generasi pertama antropolog Indonesia, adalah ilmuwan yang sangat humanis tatkala membicarakan masalah kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, disparitas jender yang menimpa pemulung, pengamen jalanan, TKW, dan buruh bangunan perempuan. Tetapi sebagai pakar studi demografi ia tampil sebagai "pembunuh berdarah dingin" pro-prostitusi dan pengguguran kandungan. Inilah dilema (ketegangan) seorang tokoh etis yang bertekun di wilayah pragmatis. (Sumber: pdat.co.id dan Kompas Sabtu, 20 September 2003)

In Memoriam Masri Singarimbun (1931-1997)
By Frans Hüsken

Still full of plans for new research and busy preparing new publications, Masri Singarimbun, professor of anthropology at Gadjah Mada University Yogyakarta (Indonesia) passed away on 25 September 1997. For several months he had been undergoing treatment for a variety of leukaemia which many hoped he would survive but which finally proved to be fatal. His untimely death at the age of 66, leaves a void in both the Indonesian and the academic community in general as he was among the few Indonesian scholars with an international reputation.

Ever since he established the Population Studies Center at Gadjah Mada University in 1973, he is best known for his work in social demography, anthropology, and development studies. However, being the energetic and enthusiastic person he was, he was an interested observer and analyst of a wide range of social and academic issues. His early work focused on a classical socio-anthropological study of the Karo-Batak kinship system for which he earned his PhD at the Australian National University in 1966 (after having completed his BA in Education at Gadjah Mada in 1959).

Subsequently he moved to demography at ANU's Research School for the Social Sciences, until he decided (in 1972) that after more than eleven years in Canberra he should return to his Alma Mater in Yogyakarta. There he became deeply involved in research on birth control and family planning in different regions of Indonesia. On that basis he acted as a critical adviser to the Indonesian government which at the time had engaged in a family planning programme in an all-out effort to solve the country's population problem. Masri's recommen-dations were not always received favourably as he insisted upon winning the co-operation and acceptance of the programme from local communities, while government agencies were obsessed by target figures and quick successes, and in doing so easily resorted to political pressure on the population.

His critical stance also brought him to draw attention to the problem of rural poverty and through a long-term research project, initiated together with David Penny in 1969 in the village of Sriharjo (in the southern part of Yogyakarta province), he was able to show that official figures on poverty eradication in Indonesia were generally overly optimistic. His material on Sriharjo, a village to which he returned many times, provides a Fundgrube for the social history of rural Java in the 20th century.

Masri's return to Indonesia in 1972 marked not only the beginning of an impressive academic career but also the start of a highly successful research centre in which several generations of Indonesian social scientists received their intellectual training. The small building from which he started has grown into one of the academic centres at Gadjah Mada University with by far the best-equipped social science library and an open atmosphere where students, staff and (the many) visiting scholars from Indonesia and abroad meet.

This congenial world has produced a large number of dedicated researchers who combine social commitment with scientific rigour and open minds. An equally large number of foreign researchers has benefited tremendously from the support and the infrastructure of the Population Studies Center providing them with the intellectual challenges and sharp discussions as well as relaxation from the pressures of fieldwork.

When in 1996, Masri retired from his chair at the GMU's Department of Anthropology, he remained active in the research projects of the Population Studies Center and in supervising theses. He was offered a new chair in research methodology at Atma Jaya University Yogyakar-ta, and kept on publishing on his research both through academic journals and (very widely) through his columns in the Indonesian press, commenting upon topics as varied as ethnicity, rural poverty, socio-linguistics, sexuality, and AIDS.

Thirty years after he earned his PhD in Canberra, the ANU offered him an honorary doctorate in 1996. Masri felt, of course, honoured by this sign of international recognition of his work, but he was surprised at the same time, not in the least because he, trained as an educationalist and anthropologist, and employed in departments of demography and economics, found himself to be a LlD in the end.

Masri Singarimbun, who is survived by his wife, Irawati, and three daughters, will be missed by his many friends and colleagues around the world.

[A complete bibliography of the writings of Masri Singarimbun can be found in: Agus Dwiyanto et al. (eds), Penduduk dan Pembangunan, Population Studies Center, Yogyakarta 1996, pp. 413-424]

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/masri-singarimbun/index.shtml


0 komentar :

Tulisan Terkait: