19 Agustus 2010

Koruptor Itu Kafir

Koruptor Itu Kafir - Koruptor Itu Kafir itulah judul buku yang secara resmi diluncurkan oleh Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Buku Koruptor Itu Kafir resmi diluncurkan di restoran Bumbu Desa, Jl Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/8/2010).

Buku Koruptor Itu Kafir diterbitkan Mizan serta didanai oleh Kemitraan Partnership serta yang menjadi editornya adalah Bambang Widjojanto yang sekaligus adalah kandidat ketua Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).

Dari segi teknis penyajian buku Koruptor Itu Kafir terdiri dari empat bab. Bab pertama berisi berisi korupsi dalam persepsi Muhammadiyah disambung strategi organisasi yang telah berumur seabad itu dalam pemberantasan korupsi. Sementara bab 3 dan 4 menjadi jatahnya NU dengan sub topik yang sama.

Dari kalangan NU sendiri, menyodorkan pandangan bahwa korupsi itu sama dengan pencurian. Sebuah hadits mengatakan, "Pencuri tidak mungkin dilakukan dalam keadaan beriman". Singkat kata, salah satu bentuk tindakan mencuri adalah korupsi itu sendiri. Jika demikian, maka koruptor tidak mungkin melakukan korupsi dalam keadaan beriman pula.

Secara etimologis, kata ka-fa-ra (korupsi), itu bisa berarti mencuri. Ketika hadits itu memaksudkan bahwa tidak mungkin orang yang beriman melakukan pencurian, dalam hal ini korupsi, bisa diartikan bahwa ketika orang melakukan korupsi, hatinya tertutup, sehingga Allah pun dilupakan.

Lantas bagaimana korupsi itu bisa diberantas? Buku ini menjelaskan, Islam telah mengajarkan cara pembuktian terbalik sebagai salah satu alternatif untuk menumpas perbuatan korupsi. Padahal, tema itu sekarang ini menjadi perdebatan alot di ranah hukum positif. Pembuktian terbalik pernah ada ketika Umar Bin Khathab meminta Abu Hurairah menjelaskan asal-usul harta yang diperolehnya saat menjabat Gubernur Bahrain.

Meski sepakat dengan kampanye anti korupsi, namun MUI sendiri menilai judul buku Koruptor itu Kafir tidak tepat. Ketua Majelis Ulama Indonesia H Amidhan menilai kafir bukannya seseorang yang menentukan Allah SWT, bukan orang atau lembaga.

"Kalau dalam rangka kampanye anti-korupsi, itu sah-sah saja. Tapi kalau untuk menentukan orang itu kafir atau tidak, itu haknya Allah," ujar mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tersebut.

0 komentar :

Tulisan Terkait: