27 Maret 2009

Wanita Arab Boikot Toko Lingerie

Dominasi pria membuat kaum perempuan di Arab Saudi sering kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari. Salah satunya saat membeli pakaian dalam. Bahkan ada di antara mereka yang bertekad memboikot toko lingerie.

Mestinya, ini aktivitas normal. Tapi, tak demikian halnya dengan Huda Batterjee, seorang perempuan Arab yang baru saja menikah. Dia teringat saat akan menikah tahun lalu. Dia terpaksa membeli pakaian dalam di luar negeri. Sebab, bagaimana mungkin dia mendiskusikan hal tersebut dengan pramuniaga yang hampir semuanya pria.


Pilihan Huda memang tak bisa disalahkan. Hampir tak ada pramuniaga perempuan di negaranya. Tak hanya itu, perempuan Arab lainnya pun sudah mulai mengeluhkan masalah ini. Mereka merasa risih harus membahas jenis bra kepada pramuniaga pria, apalagi jika mereka ingin tahu berbagai jenis thongs.

Sekelompok perempuan ini berencana memboikot toko-toko lingerie mulai pekan ini hingga mereka mempekerjakan pramuniaga perempuan. Kenyataan ini sangat ironis di negara yang begitu ketat memisahkan antara perempuan dan laki-laki karena hukum agama.

Hanya pria yang dipekerjakan sebagai pramuniaga, demi mencegah pekerja perempuan berhadapan dengan pelanggan pria atau dekat dengan sesama pekerja pria. Hal ini tadinya tak pernah menjadi masalah. Namun kebijakan itu membuat pemandangan aneh terjadi di toko pakaian dalam wanita.

Pramuniaga pria, mau tak mau, harus melihat tubuh pembeli mereka baik-baik untuk menentukan ukuran pakaian dalam. Mereka juga harus menahan malu demi mencari informasi apa yang disukai calon pembeli. Pria-pria itu bahkan harus meraba-raba pakaian dalam yang dijual untuk mempromosikan bahannya.

Bukannya menjual dengan sukses, yang terjadi malah momen canggung dan kaku antara pembeli, penjual, dan mereka yang menemani pembeli. “Ketika saya membeli pakaian dalam dan pelayan pria mengatakan itu bukan ukuran yang tepat, saya cenderung merasa dia hendak mengambil untung. Maksud saya, mengapa dia memandang saya sedemikian rupa?” kata Huda.

Perempuan berusia 26 tahun itu akhirnya memilih Dubai, Uni Emirat Arab, hanya untuk membeli pakaian dalam. Kini, ia tinggal di Virginia, AS dengan suaminya. Protes Huda itu juga diamini oleh Heba Al Akki, seorang wanita pengusaha Arab.

“Setiap membeli pakaian dalam, saya serasa melakukan sesuatu yang ilegal. Saya datang ke toko, langsung memilih, bayar, dan pergi secepat mungkin,” tuturnya.

Hal ini ternyata juga tak mudah bagi para pramuniaga pria di berbagai toko pakaian di Riyadh. Saat ditanya mengenai pekerjaan mereka, pramuniaga itu tersipu malu dan menyatakan dukungannnya untuk mempekerjakan pegawai perempuan untuk urusan yang satu itu.

“Bahkan di negara yang cukup terbuka seperti AS dan Eropa, pria tidak meladeni penjualan pakaian dalam wanita. Saya bahkan tak mengizinkan anggota keluarga saya yang perempuan untuk membeli pakaian dalam dari pria. Ini sangat memalukan,” ujar sang manajer toko, Husam Al Mutayim asal Mesir.

Hukum Arab Saudi yang merupakan interpretasi hukum Islam mewajibkan perempuan menutup bagian tubuh yang dianggap sebagai aurat. Di depan umum, mereka harus menutup ujung kepala hingga ujung kaki dengan jubah. Namun di rumah, khususnya di kamar tidur, pakaian apapun tak masalah. Pada momen ini, kebanyakan mereka memilih mengenakan pakaian dalam.

Masalah hanya terletak pada waktu mereka membelinya. Sebab, kamar pas dilarang di negara kerajaan itu. Membuat perempuan melepas pakaiannya di publik, kendati di ruangan tertutup, tak pernah terpikirkan. Jadi, perempuan tak tahu apakah ukuran pakaian dalam yang mereka beli sudah cocok, hingga tiba di rumah dan mencobanya.

“Saya memiliki bra mulai dari ukuran 32 sampai 38 karena tak bisa mencobanya,” kata Modie, saudari Huda yang juga salah satu panitia boikot.

Boikot itu telah dimulai sejak Selasa (24/3). Sekitar 50 wanita berkumpul di Pelabuhan Laut Merah, Jeddah. Di tempat itu Modie menjalankan Pusat ASI dan Kewaspadaan Terhadap Kanker pada Perempuan, Al Bidaya.

Tujuan boikot yang ia gelar itu untuk memaksakan implementasi undang-undang yang telah ada sejak 2006, bahwa hanya boleh pegawai perempuan yang dipekerjakan di toko yang menjual perlengkapan perempuan. UU itu tak pernah diberlakukan, sebab terlalu banyak pejabat yang menentangnya. Terutama di tempat di mana perempuan dan laki-laki membaur, seperti pusat perbelanjaan.

Sayangnya, boikot yang sebenarnya bertujuan untuk mendukung hak-hak perempuan ini dipersulit dengan status pekerja pria. Mengingat 10% pria di negara tersebut adalah pengangguran. Namun kaum perempuan tetap positif, sebab mereka telah mendapatkan 1.700 suara pendukung petisi dan diperkirakan terus bertambah. (inilah.com)

0 komentar :

Tulisan Terkait: