Polemik praktik dukun tiban Muhammad Ponari akhirnya mendapat respons dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. Lembaga itu merekomendasikan agar pemerintah segera menghentikan praktik tersebut. Pasalnya, praktik pengobatan yang sulit diterima nalar tersebut dianggap MUI terlalu banyak mudarat (kerugian). Selain itu, praktik tersebut dianggap menjauhkan masyarakat dari ajaran agama.
Kesepakatan itu muncul dalam rapat MUI Jatim bersama tujuh Korwil MUI se-Jatim di Surabaya Rabu (18/2). "Setelah melalui berbagai kajian, kami sepakat agar pengobatan ini distop. Karena itu, pemda setempat harus segera mencari cara agar praktik ini bisa dihentikan," kata Ketua Umum MUI Jatim Abdusshomad Buchori kemarin.
Dia menjelaskan, ada beberapa pertimbangan mendasar yang membuat MUI Jatim mengeluarkan rekomendasi tersebut. Pertama, praktik sarat kontroversi itu terbukti membawa banyak permasalahan pelik. Salah satunya, praktik tersebut telah memakan korban jiwa. Tidak hanya itu, "pengobatan'' tersebut juga telah menimbulkan aksi kriminal dari para ''pasien''. Contohnya, saat ayah Ponari dianiaya gara-gara berusaha menghentikan praktik itu.
Pertimbangan kedua, MUI menilai praktik pengobatan itu dianggap telah mengeksploitasi anak. "Sebab, dia terpaksa tidak bisa menikmati kebebasan sebagai anak. Apalagi, dia harus kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan," kata Abdusshomad.
Belum lagi, praktik tersebut sedikit banyak telah mengubah pola pikir masyarakat. Sampai-sampai, mereka melakukan hal-hal di luar norma. "Bisa dilihat, ada yang sampai minum air comberan di sekitar rumah Ponari. Itu kan sudah di luar akal sehat," tegasnya.
Karena itu, MUI meminta agar pemda mencari cara supaya praktik tersebut dihentikan. Apalagi, saat ini muncul indikasi adanya pihak yang ingin agar praktik itu terus langgeng.
Meski agak terlambat, keputusan MUI itu tepat. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi panitia dan warga untuk memaksa Ponari berpraktik lagi. Bocah lugu asal Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, tersebut kini harus melayani keinginan tak rasional ribuan warga yang mencari sembuh mulai pagi sampai sore. Akhirnya, lingkungan murid SD kelas III itu menjadi ajang bisnis yang mengenaskan.
Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) melaporkan, saat dibuka kemarin, ada peraturan baru yang diberlakukan panitia yakni membatasi pengunjung hingga 5.000 orang per hari. Tujuannya, pengunjung yang datang lebih terorganisasi. Namun, model antrean baru itu hanya mengenakkan panitia dan membuat berat ''beban'' Ponari.
Eksploitasi Ponari bahkan diduga melibatkan perangkat desa. Pembagian kupon pengobatan Ponari mulai kemarin dijual di Balai Desa Balongsari. Sejak pagi, halaman balai desa dipenuhi warga. Begitu ada panitia yang menjual kupon, hanya dalam waktu singkat, ribuan kupon itu habis terjual. Karena semakin diburu, harga kupon pun melonjak. Dari harga yang tertera Rp 2.000, pada praktiknya, kupon tersebut dijual Rp 5.000 per lembar. Belum lagi, jika tiket berada di tangan para calo yang bisa seenaknya memainkan harga sampai Rp 20 ribu. (kepritoday.com)
Kesepakatan itu muncul dalam rapat MUI Jatim bersama tujuh Korwil MUI se-Jatim di Surabaya Rabu (18/2). "Setelah melalui berbagai kajian, kami sepakat agar pengobatan ini distop. Karena itu, pemda setempat harus segera mencari cara agar praktik ini bisa dihentikan," kata Ketua Umum MUI Jatim Abdusshomad Buchori kemarin.
Dia menjelaskan, ada beberapa pertimbangan mendasar yang membuat MUI Jatim mengeluarkan rekomendasi tersebut. Pertama, praktik sarat kontroversi itu terbukti membawa banyak permasalahan pelik. Salah satunya, praktik tersebut telah memakan korban jiwa. Tidak hanya itu, "pengobatan'' tersebut juga telah menimbulkan aksi kriminal dari para ''pasien''. Contohnya, saat ayah Ponari dianiaya gara-gara berusaha menghentikan praktik itu.
Pertimbangan kedua, MUI menilai praktik pengobatan itu dianggap telah mengeksploitasi anak. "Sebab, dia terpaksa tidak bisa menikmati kebebasan sebagai anak. Apalagi, dia harus kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan," kata Abdusshomad.
Belum lagi, praktik tersebut sedikit banyak telah mengubah pola pikir masyarakat. Sampai-sampai, mereka melakukan hal-hal di luar norma. "Bisa dilihat, ada yang sampai minum air comberan di sekitar rumah Ponari. Itu kan sudah di luar akal sehat," tegasnya.
Karena itu, MUI meminta agar pemda mencari cara supaya praktik tersebut dihentikan. Apalagi, saat ini muncul indikasi adanya pihak yang ingin agar praktik itu terus langgeng.
Meski agak terlambat, keputusan MUI itu tepat. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi panitia dan warga untuk memaksa Ponari berpraktik lagi. Bocah lugu asal Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, tersebut kini harus melayani keinginan tak rasional ribuan warga yang mencari sembuh mulai pagi sampai sore. Akhirnya, lingkungan murid SD kelas III itu menjadi ajang bisnis yang mengenaskan.
Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) melaporkan, saat dibuka kemarin, ada peraturan baru yang diberlakukan panitia yakni membatasi pengunjung hingga 5.000 orang per hari. Tujuannya, pengunjung yang datang lebih terorganisasi. Namun, model antrean baru itu hanya mengenakkan panitia dan membuat berat ''beban'' Ponari.
Eksploitasi Ponari bahkan diduga melibatkan perangkat desa. Pembagian kupon pengobatan Ponari mulai kemarin dijual di Balai Desa Balongsari. Sejak pagi, halaman balai desa dipenuhi warga. Begitu ada panitia yang menjual kupon, hanya dalam waktu singkat, ribuan kupon itu habis terjual. Karena semakin diburu, harga kupon pun melonjak. Dari harga yang tertera Rp 2.000, pada praktiknya, kupon tersebut dijual Rp 5.000 per lembar. Belum lagi, jika tiket berada di tangan para calo yang bisa seenaknya memainkan harga sampai Rp 20 ribu. (kepritoday.com)
0 komentar :
Posting Komentar