Pengaturan yang mengikat media tentang penayangan iklan kampanye pemilu dipandang membahayakan posisi media sebagai pilar keempat demokrasi. Sebab, pada Pasal 99 huruf f UU No 10/2008 tentang Pemilu dinyatakan, jika terjadi pelanggaran, sanksi yang dijatuhkan berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.
"Kalau pers diancam seperti itu, pilar demokrasi ini bisa lumpuh, alangkah bahaya kalau kita biarkan," demikian dikatakan advokat sekaligus pegiat HAM, Johnson Panjaitan, pada sidang uji materi yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (5/2).
Pencabutan izin media hanya karena iklan kampanye menurut Johnson sangat memprihatinkan. Permohonan pengujian atas sejumlah pasal berkaitan dengan iklan kampanye dalam UU Pemilu ini diajukan oleh sejumlah pelaku media, di antaranya H Tarman Azzam, Kristanto Hartadi, dan H Ilham Bintang.
Terdapat 20 norma/pasal yang diajukan untuk diuji materi, di antaranya Pasal 94 Ayat (1) yang berbunyi "Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking segment atau blocking time untuk kampanye pemilu".
Namun, saksi ahli guru besar FH Unpad, Prof Dr Ahmad Ramli, SH, MH, tak sepenuhnya sepakat dengan kekhawatiran yang ada. Menurutnya, pembatasan diperlukan untuk menjaga kompetisi yang sehat antarparpol peserta pemilu.
"Bayangkan kalau tidak ada pembatasan, blocking segment? Akan terjadi kompetisi yang tidak sehat. Kebebasan pers mutlak, tapi profesionalisme pers tetap harus dijaga sehingga masyarakat punya kepercayaan terhadap pers sebagai pilar demokrasi," ujar Ramli.
Pernyataan Ramli langsung dikonter oleh Johnson. Pemberian sanksi dan pembatasan itu menurut Johnson merupakan sebuah bentuk tindakan represi, terutama pembatasan atas informasi yang perlu didapatkan masyarakat pada masa kampanye.
Media Tak Perlu Takut Dicabut Izinnya
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Dr Ahmad Ramli, SH, MH, menilai, media tak perlu khawatir dengan ancaman pencabutan izin media yang tercantum dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu. Sanksi tersebut diberikan jika ditemukan pelanggaran dalam hal ketentuan iklan kampanye, sesuai Pasal 99 Ayat (1).
Ramli mengatakan, media seharusnya tak perlu resah karena saat ini media tak memiliki izin. Hal tersebut diutarakannya saat diajukan sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (5/2).
"Kalau tidak ada izin, apa yang mau dicabut? Pers tidak perlu takut dengan ketentuan itu. Pasal tersebut tidak akan berjalan sendiri tanpa melihat UU Pers dan UU Penyiaran. Pasal-pasal dengan perintah pencabutan izin itu tidak menjadi persoalan bagi media," kata Ramli.
Peraturan tentang pembatasan iklan kampanye yang mengikat perilaku penyelenggaran pemilu menurut Ramli perlu dipertahankan sebagai penyeimbang agar tercipta kompetisi yang sehat antarpenyelenggara pemilu. Ramli mengatakan, diungkapkannya sanksi secara eksplisit merupakan upaya untuk membuat pers lebih profesional.
Akan tetapi, menurut anggota Dewan Pers Wikrama Abidin, Pasal 99 Ayat (1) huruf f melanggar prinsip kebebasan untuk mencari, memperoleh, dan menyalurkan informasi kepada publik. (kompas.com)
Pencabutan izin media hanya karena iklan kampanye menurut Johnson sangat memprihatinkan. Permohonan pengujian atas sejumlah pasal berkaitan dengan iklan kampanye dalam UU Pemilu ini diajukan oleh sejumlah pelaku media, di antaranya H Tarman Azzam, Kristanto Hartadi, dan H Ilham Bintang.
Terdapat 20 norma/pasal yang diajukan untuk diuji materi, di antaranya Pasal 94 Ayat (1) yang berbunyi "Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking segment atau blocking time untuk kampanye pemilu".
Namun, saksi ahli guru besar FH Unpad, Prof Dr Ahmad Ramli, SH, MH, tak sepenuhnya sepakat dengan kekhawatiran yang ada. Menurutnya, pembatasan diperlukan untuk menjaga kompetisi yang sehat antarparpol peserta pemilu.
"Bayangkan kalau tidak ada pembatasan, blocking segment? Akan terjadi kompetisi yang tidak sehat. Kebebasan pers mutlak, tapi profesionalisme pers tetap harus dijaga sehingga masyarakat punya kepercayaan terhadap pers sebagai pilar demokrasi," ujar Ramli.
Pernyataan Ramli langsung dikonter oleh Johnson. Pemberian sanksi dan pembatasan itu menurut Johnson merupakan sebuah bentuk tindakan represi, terutama pembatasan atas informasi yang perlu didapatkan masyarakat pada masa kampanye.
Media Tak Perlu Takut Dicabut Izinnya
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Dr Ahmad Ramli, SH, MH, menilai, media tak perlu khawatir dengan ancaman pencabutan izin media yang tercantum dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu. Sanksi tersebut diberikan jika ditemukan pelanggaran dalam hal ketentuan iklan kampanye, sesuai Pasal 99 Ayat (1).
Ramli mengatakan, media seharusnya tak perlu resah karena saat ini media tak memiliki izin. Hal tersebut diutarakannya saat diajukan sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (5/2).
"Kalau tidak ada izin, apa yang mau dicabut? Pers tidak perlu takut dengan ketentuan itu. Pasal tersebut tidak akan berjalan sendiri tanpa melihat UU Pers dan UU Penyiaran. Pasal-pasal dengan perintah pencabutan izin itu tidak menjadi persoalan bagi media," kata Ramli.
Peraturan tentang pembatasan iklan kampanye yang mengikat perilaku penyelenggaran pemilu menurut Ramli perlu dipertahankan sebagai penyeimbang agar tercipta kompetisi yang sehat antarpenyelenggara pemilu. Ramli mengatakan, diungkapkannya sanksi secara eksplisit merupakan upaya untuk membuat pers lebih profesional.
Akan tetapi, menurut anggota Dewan Pers Wikrama Abidin, Pasal 99 Ayat (1) huruf f melanggar prinsip kebebasan untuk mencari, memperoleh, dan menyalurkan informasi kepada publik. (kompas.com)
0 komentar :
Posting Komentar