18 Januari 2009

Poligami Merambah Politisi Senayan

Praktik poligami di kalangan politisi Senayan kini jadi sorotan publik. Kali ini, gara-gara Ketua Komisi V DPR, Ahmad Muqowam, ketahuan telah menikah siri dengan Paulina Hutauruk tahun lalu. Maka pro-kontra pun mulai meruyak di antara para wakil rakyat.

Praktik nikah siri oleh Muqowam ini terangkat ke permukaan saat foto-foto pernikahannya muncul di salah satu portal berita. Bola pemberitaan pun bergulir kencang. Muqowam diadukan ke Badan Kehormatan DPR karena tidak lagi menafkahi Paulina lahir batin. Moqowam sendiri melaporkan adanya tindak pidana pemerasan yang diduga melibatkan Paulina. Dan Paulina pun lantas balik melaporkan Muqowam ke polisi.

Dari segi peraturan perundangan, tidak ada sebenarnya yang melarang pria melakukan poligami. UU Perkimpoian juga membolehkan praktik itu dengan sejumlah syarat. Syaratnya semisal persetujuan istri pertama ataupun apabila sang istri tidak dapat memenuhi kewajibannya selayaknya istri.

Poligami di kalangan politisi juga sebenarnya bukan hal baru. Mantan Wakil Presiden Hamzah Haz juga melakukan aksi itu. Ia memiliki lebih dari 1 istri. Meski kemudian, ia hanya membawa istri pertamanya saja dalam setiap kegiatan kenegaraan.

Kasus poligami yang cukup kontroversial adalah yang menimpa mantan Wakil Ketua DPR Zainal Maarif. Eks politisi Partai Bintang Reformasi itu sampai harus kehilangan kursinya di parlemen sebagai buntut dari pengumumannya menikah lagi. Ia di-recall sebagai anggota DPR dari Fraksi PBR.

Dalam kacamata etika politik, tindakan yang dilakukan pejabat publik seperti itu merupakan suatu bentuk pelanggaran. Sebab, poligami merupakan salah satu tindakan yang merugikan perempuan. "Memang itu wilayah privasi, tapi kalau dari sisi perempuan itu tidak layak dan melanggar etika," ujar pengamat politik dari UI, Sri Budi Eko Wardhani kepada INILAH.COM.

Dalam praktek poligami, perempuan kerap diperlakukan tidak adil dalam pemberian nafkah lahir dan batin. Ketidakadilan inilah, menurut dosen yang akrab dipanggil Dani ini, adalah bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan.

"Selama ini dalam kampanye publik, kita mengharapkan politisi yang bersih dan baik, bukan busuk. Perbuatan menyimpang itu salah satunya ya berpoligami," jelasnya.

Apalagi, sejauh ini pejabat politik yang berpoligami kerap mengambil tindakan tidak sesuai dengan hukum. Jika istri pertama tidak memberikan izin untuk menikah lagi, pejabat tersebut lantas mengambil tindakan secara sembunyi-sembunyi atau tidak dicatatkan secara sipil.

"Yang terjadi nantinya diceraikan, istri tidak punya hak waris dan anak tidak punya jaminan status hakim. Jadi dari aspek itu yang dilihat kebanyakan yang menikah tidak ada perlindungan hukum," terangnya.

Budayawan I Gusti Agung Ayu menambahkan masalah lain yang kerap muncul, pejabat yang melakukan poligami tersebut terkenal bukan karena hasil pekerjaannya melainkan atas tindakan mengawini lebih dari satu perempuan tersebut. Seharusnya, kata Ayu, para pejabat tersebut memprioritaskan penanganan masalah kemiskinan dan masalah bangsa lainnya.

"Buang waktu banget kalau hanya mengurusi perkimpoian, lebih bagus urus kemiskinan, tenaga kerja, dan benarkan ekonomi pedesaan," paparnya.

Dia juga menambahkan, fenomena pejabat pemerintahan yang menikah memiliki istri lebih dari satu dan dibiayai oleh negara, merupakan sebuah bentuk pemborosan. "Kalau mereka pejabat publik, kan dibiayai negara. Kalau tindakan poligami menyedot uang negara, harusnya negara tidak membiayai," tegas Ayu.

Masalah boleh tidaknya melakukan poligami memang masih kontroversi. Tetapi untuk pejabat publik, sudah sepatutnya ada aturan yang mengatur masalah tersebut bila kemudian membawa konsekuensi pemborosan terhadap keuangan negara.

Bagi politisi yang melakukan poligami tentu juga tidak akan membawa beban sosial apapun melakukan poligami. Tetapi, tentunya alangkah lebih baik para politisi memberi contoh perilaku yang baik kepada rakyat dengan setia terhadap istrinya.

Langkah ini sedikit banyak bisa menampik tuduhan yang ada di benak para penentang poligami. Kalau dengan istri saja sudah tidak bisa setia dan memegang janji pernikahan, apalagi janji dengan pemilih saat kampanye? (inilah.com)

0 komentar :

Tulisan Terkait: