30 Desember 2008

"Cempaka Putih", Kitab Kamasutra Melayu di Riau

Sekitar 350 naskah kusam tertata rapi di lemari Kantor Yayasan Kebudayaan Indrasakti di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. "Itu naskah yang dapat kami pertahankan, selebihnya berada di Malaysia, dan Singapura," kata Raja Malik Hafrizal, 36 tahun, ahli waris Melayu Lingga Riau, di kantornya, Senin, bertepatan dengan 1 Muharram 1430 H.

Beraksara Arab-Melayu, naskah-naskah peninggalan zaman Belanda itu nyaris tidak diperhatikan pengunjung lokal, meski menyimpan ribuan kisah kejayaan Kerajaan Melayu Lingga Riau, termasuk tentang teknik hubungan intim yang islami. "Kamasutra" Pulau Penyengat, dalam koleksi perpustakaan naskah kuno Indrasakti, belum pernah dipublikasikan.

Sekitar sepuluh naskah kuno tentang kehidupan seks warga dan keluarga raja masih tersimpan di Indrasakti. Pengarangnya antara lain, Raja Abdullah yang pada zamannya akrab dipanggil Abu Muhammad Adnan.

Abu Muhammad Adnan mulai menulis tentang hubungan biologis masyarakat Melayu di Pulau Penyengat pada pertengahan hingga akhir abad ke-19. Dia adalah putra dari Raja Ali Haji, penulis syair Gurindam 12 yang tersohor di dunia, Bapak Bahasa Indonesia yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Salah satu judul naskah kuno karangan Abu Muhammad Adnan adalah "Cempaka Putih." Kitab itu mengenai hubungan seks yang dihalalkan Islam, dilengkapi dengan foto lelaki dan perempuan yang sedang melakukan hubungan intim.

Karya Abu Muhammad tertata rapi dalam 150 halaman, baru-baru ini diselamatkan Raja Malik dari serangan rayap. Kendati sudah kusam, kitab dengan aksara Arab-Melayu itu masih utuh.

Bagi peneliti kebudayaan dan kolektor naskah tua, "Cempaka Putih" adalah permata yang memiliki nilai kebudayaan yang tinggi. "Ceritanya erotis, tapi mendidik," kata Raja Malik yang juga Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Kepri-Pulau Penyengat.

Selain menampilkan beberapa teknik/gaya hubungan seks, "Cempaka Putih" juga menuliskan sebuah doa sebelum berhubungan intim. "Seperti Kamasutra India. Raja Abdullah menceritakan kisah kehidupan seksual masyarakat Melayu pada zamannya. `Kamasutra Melayu`, berdasar ajaran Islam," ujarnya.

"Cempaka Putih" memberi gambaran betapa pentingnya hubungan seks dalam sebuah keluarga yang harmonis. "Hubungan seks yang tidak meninggalkan ajaran Islam. Enak tapi tidak berdosa," ujar Raja Malik, tersenyum.

"Nyaris hancur. Tapi tulisannya masih utuh sehingga dapat dibaca," katanya. Setelah "Cempaka Putih", muncul beberapa naskah "kamasutra" lain dengan penulis yang berbeda di zaman itu. "Naskah kuno Melayu dengan gaya Kamasutra India yang berhasil kami simpan sekitar sepuluh," ujarnya.

Perempuan

Istri Abu Muhammad Adnan, Khatijah Terung, juga seorang penulis. Khatijah tidak ingin melewati kesempatan untuk menulis naskah tandingan yang lebih menonjolkan perempuan dalam kehidupan seksual.

Naskah Khatijah Terung berjudul "Kumpulan Gunawan", terdiri atas 197 halaman, dilengkapi dengan tulisan, lukisan dan foto yang menggambarkan hubungan seksual antara suami dan istri.

Karyanya itu juga dikenal dengan sebutan Gerak Tujuh yang identik dengan gaya perempuan dalam melakukan hubungan seksual dengan suaminya. "Naskah `Kumpulan Gunawan`masih utuh, tidak rusak," kata Raja Malik.

Raja Malik mengatakan, naskah-naskah "Kamasutra" Melayu akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. "Naskah itu ditulis dalam bentuk Arab-Melayu. Kami akan alihaksarakan ke dalam bentuk bahasa Indonesia tanpa mengurangi kekhasan Melayu," katanya.

Buru naskah

"Para kolektor dari Malaysia memburu naskah kuno Melayu yang berada di Pulau Penyengat, Tanjungpinang dan Kabupaten Lingga," ujar Raja Malik. Sekitar 50 naskah kuno yang bermuatan sejarah, sastra dan agama telah dijual warga Kepri kepada kolektor dari Malaysia. Sebagian kecil naskah kuno Melayu Kepri kini berada di Lembaga Kebudayaan Melayu Singapura.

"Kebanyakan kolektor Malaysia yang berhasil membeli naskah kuno dari warga masyarakat Kepri yang mendapatkannya sebagai warisan," ujarnya. Raja Malik mengatakan, kolektor-kolektor dari Malaysia dan Singapura berupaya merayu pemegang naskah kuno. Kolektor memiliki penawaran tersendiri terhadap naskah-naskah kuno yang dijual warga.

"Saya juga sering dibujuk kolektor dari Malaysia, Singapura, maupun dari beberapa negara lain," katanya. Harga naskah sejarah kuno lebih tinggi dibanding sastra dan agama.

"Naskah-naskah kuno yang berhasil kami selamatkan sekitar 317," kata Raja Malik yang pernah mendapat Penghargaan Penyelamatan Aset Budaya mMlayu Kepri dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Menurutnya, hingga sekarang aset-aset budaya Kepri belum diinventarisasi sehingga tidak diketahui berapa banyak yang masih tersisa. Seharusnya, pemerintah menyediakan museum untuk menyelamatkan yang masih tersisa atau disimpan oleh warga.

"Pemerintah pernah membeli naskah kuno yang disimpan oleh pewarisnya. Namun, tidak sebanding dengan yang masih berada di tangan warga," katanya. Perhatian pemerintah, dinilainya hanya pada terfokus pada pemeliharaan kuburan raja-raja, benteng dan pemeliharan mesjid Pulau Penyengat.

"Seharusnya apapun jenis aset yang menunjukkan identitas kekayaan budaya Melayu diselamatkan," katanya. Pulau Penyengat, 240 hektare, hingga dewasa ini dikenal sebagai pulau sakral, bersih dari kegiatan-kegiatan yang melanggar ajaran agama.

Masyarakat pulau itu mempertahankan kegotongroyongan dan budaya Melayu yang bercorak Islam hingga sekarang. Tidak ada pedagang yang menjual minuman keras. Tidak ada lokalisasi pelacuran dan perjudian.

"Jangan coba-coba melakukan kegiatan tidak baik di Pulau Penyengat," kata Iwan Kurniawan, pengacara yang pada hampir setiap perayaan keagamaan Islam mengunjungi Penyengat, pulau di seberang Ibukota Tanjungpinang. (antara.co.id)

0 komentar :

Tulisan Terkait: