Masalah laptop kembali bikin geger. Sebelumnya anggota DPR meminta laptop seharga Rp 21,5 juta per unit, kini giliran para kepala dinas di Pemprov DKI Jakarta tidak mau ketinggalan. Harganya pun jauh lebih mahal dibanding laptop keinginan anggota DPR, yakni mencapai Rp 35 juta per unitnya.
Rencana pengadaan laptop tersebut mencuat dalam rapat pengesahan APBD 2009 yang ditetapkan pada Kamis, 26 November 2008. Alasan pengadaan komputer jinjing itu untuk memudahkan kinerja beberapa kepala dinas.
Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov DKI Jakarta Purba Hutapea menjelaskan, usulan laptop tersebut sesuai kebutuhan beberapa biro tertentu, seperti biro urusan luar negeri yang memerlukan laptop canggih yang mampu memuat data dengan kecepatan tinggi. Sehingga bisa memudahkan saat presentasi, terutama di hadapan para investor.
Untuk peningkatan kinerja, selain membeli laptop, pemprov juga akan membeli komputer seharpa Rp 20 juta per unit, pengadaan alat musik untuk Dinas Pemadam Kebakaran Rp 1 miliar, serta biaya perawatan komputer selama satu tahun Rp 4 juta per unit.
Tapi menurut penilaian Analis Politik Anggaran Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) Roy Salam, kebutuhan-kebutuhan yang dianggarkan bukan hal yang terlalu mendesak. Apalagi harganya begitu fantastis. Beberapa kebutuhan yang dianggap kurang penting tapi diajukan antara lain, anggaran laundry untuk Gubernur Fauzi Bowo dan Wagub Prijanto yang besarnya Rp 70 juta, pengiriman guru SMU/SMK untuk training di Selandia Baru Rp 4,5 milyar. Bahkan ada anggaran untuk outbond pegawai yang nilainya mencapai Rp 475 juta.
Anggaran-anggaran yang kurang penting tersebut dianggap sebagai biang keladi menyusutnya alokasi dana untuk rakyat miskin di Jakarta. Pasalnya, dari nilai APBD 2009 yang mencapai Rp 22,2 triliun, dana yang dialokasikan untuk rakyat miskin di Jakarta justru hanya 1,7 %. "RAPBD 2009 jelas-jelas tidak pro rakyat.
Karena alokasi dananya lebih banyak diperuntukan kepentingan pejabatnya," protes Roy Salam saat berbincang-bincang dengan detikcom.
Selain memanjakan birokrat di Pemprov, APBD juga dialokasikan untuk memanjakan lembaga penegak hukum dengan sebutan anggaran "harmonisasi". Anggaran ini dikucurkan kepada Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, serta Kepolisian daerah (Polda).
Dari catatan Fitra terungkap, selama 3 tahun terakhir anggaran harmonisasi ini berkisar Rp 7 miliar sampai Rp 8 miliar per tahun. Dalam APBD 2007 misalnya, Pemprov mengucurkan Rp 8,5 miliar. Sedangkan di APBD 2008 dana yang dikucurkan sebesar Rp 7,55 miliar. Sementara di RAPBD 2009 dana yang dialokasikan Rp 7 miliar.
Masuknya mata anggaran untuk lembaga penegak hukum tersebut diduga sebagai uang 'cincai' untuk mengamankan para pejabat Pemprov DKI Jakarta maupun DPRD dari jerat hukum. "Anggaran ini patut dicurigai sebagai cara legislatif dan eksekutif selama ini untuk mempengaruhi lembaga penegak hukum agar tidak melakukan tindakan atas penyalahgunaan anggaran yang terjadi selama ini di lingkungan DPRD dan pemrov DKI," tuding Roy.
Soal masuknya uang jatah penegak hukum lewat APBD selama ini dianggap sudah mejadi kewajaran. Setiap kepala daerah sengaja mengalokasikannya supaya dapat perlindungan khusus. Jika dana seret, maka penegak hukum akan mencari celah untuk memaksa sang kepala daerah memberikan upeti. Modus semacam itu sempat terungkap awal Oktober 2008, di Gorontalo.
Kajari Tilamuta Ratmadi Saptondo sempat terekam percakapannya saat itu berupaya meminta upeti kepada Bupati Boalemo Iwan Bokings melalui staf bupati, Subandrio. Dalam teleponnya kepada Subandrio, sang jaksa marah-marah karena hanya diberi uang Rp 20 juta. Sementara untuk Polisi, kata Ratmadi di rekaman itu, mendapat uang lebih banyak.
Aksi pemerasan tersebut merupakan implikasi dari kebiasaan pemerintah daerah memasukan anggaran untuk para penegak hukum. itu sebabnya pegalokasian anggaran semacam itu dimasukan di pasal 155 UU 32/2004 tentang pelarangan APBD. Itu sebabnya Roy Salam mengaggap, anggaran Rp 7 miliar yang dianggarkan Pemprov DKI Jakarta telah melanggar UU.
Seharusya institusi vertikal, seperti Polda, Kejati dan pengadilan sudah mendapat anggaran dari pusat, yakni Polri, Kejagung, dan Mahkamah Agung (MA). "Anggaran untuk institusi tersebut sudah ada dari pusat. Jadi bukan lagi tanggungan daerah," kata Roy.
Tapi Pemprov DKI Jakarta punya alasan tersendiri terkait APBD untuk aparat hukum tersebut. Salah satunya, anggaran tersebut digunakan untuk membiayai ketertiban dan keamanan di Jakarta. Misalnya untuk uang makan polisi yang terlibat operasi yustisi dan pengamanan aksi demonstrasi. Sebab setiap operasi penertiban di DKI Jakarta yang melibatkan Satpol PP, polisi juga selalu dilibatkan.
"Anggaran itu untuk makan-minum polisi di lapangan. Sebab kalau ada demo harus dikerahkan pasukan. Bagaimana bisa menghalau demo kalau polisinya kelaparan. Jadi coba dilihak aspek humanisnya. Karena kita tahu gaji polisi itu kecil," sanggah Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov DKI Jakarta Purba Hutapea kepada detikcom.
Di sisi lain, untuk pengadaan laptop, laundry dan beberapa mata anggaran lain, janji Purba, akan dilakukan evaluasi demi efisiensi. Untuk pengadaan laptop misalnya, pada saat lelang nanti tidak harus disesuaikan dengan plafon yang harganya mencapai Rp 35 juta. Pengadaan laptop akan mengikuti spesifikasi dan harga yang akan ditetapkan panitia pengadaan barang dan jasa.
Sayangnya, rencana pengurangan mata anggaran tersebut dilakukan setelah jadi perbincangan publik. "Harusnya sebelum disahkan, panitia anggaran melakukan koreksi terhadap usulan dari masing-masing dinas. Apakah kebutuhannya benar-benar mendesak atau tidak. Begitu juga dengan nilainya. Apakah realistis atau hanya akal-akalan," jelas Roy Salam.
Munculnya sejumlah kebutuhan yang dimasukan dalam rencana anggaran merupakan usulan Satuan Kerja Pemerintahan Darah (SKPD). Usulan itu kemudian masuk ke Bapeda dan selajutnya dibahas bersama dengan tim anggaran Pemprov DKI Jakarta bisa lolos dan masuk dalam RAPBD.
Sejatinya rapat tim anggaran dan Bapeda membahas usulan-usulan itu dan melakukan koreksi. Apakah usulan tersebut sesuai dengan skala prioritas, serta apakah anggaran yang diajukan masuk akal.Tapi kenyataanya, rapat tim anggaran dan Bapeda justru hanya sebatas mengakumulasi permintaan dari SKPD.
Lancarnya usulan anggaran ini diduga lantaran ada uang pelicin yang mengalir ke sejumlah atasan SKPD. "Lolosnya usul anggaran ke dalam RAPBD membuka peluang adanya angpao yang dikirim," kata Roy.
Kecurigaan itu juga dikatakan auditor senior Badan Pemeriksa Keuangan Surachim. Menurutnya, RAPBD 2009 di DKI Jakarta bukan sekadar pemborosan. Tapi ada upaya untuk melakukan tindak korupsi. bahkan menurutnya, kalau dalam Undang-Undang ada delik percobaan korupsi, RAPBD yang tersebut sudah memenuhi delik tersebut.
Sementara pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago melihat, kasus laptop merupakan salah satu dari sekian banyak mata anggaran di APBD DKI Jakarta yang tidak logis. Anggaran-anggaran yang tidak logis tersebut kemudian dijadikan ladang korupsi. (detiknews.com)
Rencana pengadaan laptop tersebut mencuat dalam rapat pengesahan APBD 2009 yang ditetapkan pada Kamis, 26 November 2008. Alasan pengadaan komputer jinjing itu untuk memudahkan kinerja beberapa kepala dinas.
Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov DKI Jakarta Purba Hutapea menjelaskan, usulan laptop tersebut sesuai kebutuhan beberapa biro tertentu, seperti biro urusan luar negeri yang memerlukan laptop canggih yang mampu memuat data dengan kecepatan tinggi. Sehingga bisa memudahkan saat presentasi, terutama di hadapan para investor.
Untuk peningkatan kinerja, selain membeli laptop, pemprov juga akan membeli komputer seharpa Rp 20 juta per unit, pengadaan alat musik untuk Dinas Pemadam Kebakaran Rp 1 miliar, serta biaya perawatan komputer selama satu tahun Rp 4 juta per unit.
Tapi menurut penilaian Analis Politik Anggaran Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) Roy Salam, kebutuhan-kebutuhan yang dianggarkan bukan hal yang terlalu mendesak. Apalagi harganya begitu fantastis. Beberapa kebutuhan yang dianggap kurang penting tapi diajukan antara lain, anggaran laundry untuk Gubernur Fauzi Bowo dan Wagub Prijanto yang besarnya Rp 70 juta, pengiriman guru SMU/SMK untuk training di Selandia Baru Rp 4,5 milyar. Bahkan ada anggaran untuk outbond pegawai yang nilainya mencapai Rp 475 juta.
Anggaran-anggaran yang kurang penting tersebut dianggap sebagai biang keladi menyusutnya alokasi dana untuk rakyat miskin di Jakarta. Pasalnya, dari nilai APBD 2009 yang mencapai Rp 22,2 triliun, dana yang dialokasikan untuk rakyat miskin di Jakarta justru hanya 1,7 %. "RAPBD 2009 jelas-jelas tidak pro rakyat.
Karena alokasi dananya lebih banyak diperuntukan kepentingan pejabatnya," protes Roy Salam saat berbincang-bincang dengan detikcom.
Selain memanjakan birokrat di Pemprov, APBD juga dialokasikan untuk memanjakan lembaga penegak hukum dengan sebutan anggaran "harmonisasi". Anggaran ini dikucurkan kepada Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, serta Kepolisian daerah (Polda).
Dari catatan Fitra terungkap, selama 3 tahun terakhir anggaran harmonisasi ini berkisar Rp 7 miliar sampai Rp 8 miliar per tahun. Dalam APBD 2007 misalnya, Pemprov mengucurkan Rp 8,5 miliar. Sedangkan di APBD 2008 dana yang dikucurkan sebesar Rp 7,55 miliar. Sementara di RAPBD 2009 dana yang dialokasikan Rp 7 miliar.
Masuknya mata anggaran untuk lembaga penegak hukum tersebut diduga sebagai uang 'cincai' untuk mengamankan para pejabat Pemprov DKI Jakarta maupun DPRD dari jerat hukum. "Anggaran ini patut dicurigai sebagai cara legislatif dan eksekutif selama ini untuk mempengaruhi lembaga penegak hukum agar tidak melakukan tindakan atas penyalahgunaan anggaran yang terjadi selama ini di lingkungan DPRD dan pemrov DKI," tuding Roy.
Soal masuknya uang jatah penegak hukum lewat APBD selama ini dianggap sudah mejadi kewajaran. Setiap kepala daerah sengaja mengalokasikannya supaya dapat perlindungan khusus. Jika dana seret, maka penegak hukum akan mencari celah untuk memaksa sang kepala daerah memberikan upeti. Modus semacam itu sempat terungkap awal Oktober 2008, di Gorontalo.
Kajari Tilamuta Ratmadi Saptondo sempat terekam percakapannya saat itu berupaya meminta upeti kepada Bupati Boalemo Iwan Bokings melalui staf bupati, Subandrio. Dalam teleponnya kepada Subandrio, sang jaksa marah-marah karena hanya diberi uang Rp 20 juta. Sementara untuk Polisi, kata Ratmadi di rekaman itu, mendapat uang lebih banyak.
Aksi pemerasan tersebut merupakan implikasi dari kebiasaan pemerintah daerah memasukan anggaran untuk para penegak hukum. itu sebabnya pegalokasian anggaran semacam itu dimasukan di pasal 155 UU 32/2004 tentang pelarangan APBD. Itu sebabnya Roy Salam mengaggap, anggaran Rp 7 miliar yang dianggarkan Pemprov DKI Jakarta telah melanggar UU.
Seharusya institusi vertikal, seperti Polda, Kejati dan pengadilan sudah mendapat anggaran dari pusat, yakni Polri, Kejagung, dan Mahkamah Agung (MA). "Anggaran untuk institusi tersebut sudah ada dari pusat. Jadi bukan lagi tanggungan daerah," kata Roy.
Tapi Pemprov DKI Jakarta punya alasan tersendiri terkait APBD untuk aparat hukum tersebut. Salah satunya, anggaran tersebut digunakan untuk membiayai ketertiban dan keamanan di Jakarta. Misalnya untuk uang makan polisi yang terlibat operasi yustisi dan pengamanan aksi demonstrasi. Sebab setiap operasi penertiban di DKI Jakarta yang melibatkan Satpol PP, polisi juga selalu dilibatkan.
"Anggaran itu untuk makan-minum polisi di lapangan. Sebab kalau ada demo harus dikerahkan pasukan. Bagaimana bisa menghalau demo kalau polisinya kelaparan. Jadi coba dilihak aspek humanisnya. Karena kita tahu gaji polisi itu kecil," sanggah Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov DKI Jakarta Purba Hutapea kepada detikcom.
Di sisi lain, untuk pengadaan laptop, laundry dan beberapa mata anggaran lain, janji Purba, akan dilakukan evaluasi demi efisiensi. Untuk pengadaan laptop misalnya, pada saat lelang nanti tidak harus disesuaikan dengan plafon yang harganya mencapai Rp 35 juta. Pengadaan laptop akan mengikuti spesifikasi dan harga yang akan ditetapkan panitia pengadaan barang dan jasa.
Sayangnya, rencana pengurangan mata anggaran tersebut dilakukan setelah jadi perbincangan publik. "Harusnya sebelum disahkan, panitia anggaran melakukan koreksi terhadap usulan dari masing-masing dinas. Apakah kebutuhannya benar-benar mendesak atau tidak. Begitu juga dengan nilainya. Apakah realistis atau hanya akal-akalan," jelas Roy Salam.
Munculnya sejumlah kebutuhan yang dimasukan dalam rencana anggaran merupakan usulan Satuan Kerja Pemerintahan Darah (SKPD). Usulan itu kemudian masuk ke Bapeda dan selajutnya dibahas bersama dengan tim anggaran Pemprov DKI Jakarta bisa lolos dan masuk dalam RAPBD.
Sejatinya rapat tim anggaran dan Bapeda membahas usulan-usulan itu dan melakukan koreksi. Apakah usulan tersebut sesuai dengan skala prioritas, serta apakah anggaran yang diajukan masuk akal.Tapi kenyataanya, rapat tim anggaran dan Bapeda justru hanya sebatas mengakumulasi permintaan dari SKPD.
Lancarnya usulan anggaran ini diduga lantaran ada uang pelicin yang mengalir ke sejumlah atasan SKPD. "Lolosnya usul anggaran ke dalam RAPBD membuka peluang adanya angpao yang dikirim," kata Roy.
Kecurigaan itu juga dikatakan auditor senior Badan Pemeriksa Keuangan Surachim. Menurutnya, RAPBD 2009 di DKI Jakarta bukan sekadar pemborosan. Tapi ada upaya untuk melakukan tindak korupsi. bahkan menurutnya, kalau dalam Undang-Undang ada delik percobaan korupsi, RAPBD yang tersebut sudah memenuhi delik tersebut.
Sementara pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago melihat, kasus laptop merupakan salah satu dari sekian banyak mata anggaran di APBD DKI Jakarta yang tidak logis. Anggaran-anggaran yang tidak logis tersebut kemudian dijadikan ladang korupsi. (detiknews.com)
0 komentar :
Posting Komentar