Kontroversi pernikahan siri Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji, 43, dengan bocah 12 tahun, Lutfiana Ulfa mendorong warga di sekitar Ponpes Miftahul Jannah Bedono menggunjingkan perilaku pria nyentrik itu. Satu di antaranya adalah penggundulan puluhan karyawan dan karyawatinya yang dianggap bersalah.
Gunjingan warga itu sesuai data kepolisian yang pernah menjebloskan Puji di tahanan gara-gara kasus penggundulan puluhan karyawan dan karyawati PT Sinar Lendoh Terang (Silenter), 23 September 1998. Saat itu, Puji yang menjabat kades Bedono sekaligus pemilik PT Silenter mengunduli rambut para karyawan dan karyawati yang melakukan kesalahan.
”Catatan kepolisian, Pak Puji pernah terkena kasus penggundulan beberapa karyawan dan karyawati lantaran terjadi masalah di perusahaannya, PT Silenter,” ujar Wibowo Hutomo, Kasat Reskrim Polres Salatiga, kepada wartawan, Jumat (31/10).
Kala itu Puji ditangkap polisi. Ia sempat ditahan, namun kemudian ditangguhkan. Hal ini terjadi setelah dilakukan penyelesaian kekeluargaan dengan 45 karyawan dan 17 karyawati yang digunduli.
Kemarin, Puji kembali bertemu dengan Seto Mulyadi (Kak Seto), Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak. Usai pertemuan yang membahas pembatalan pernikahan kontroversial itu, Sedyo Prayogo, penasihat hukum Puji, mengklaim bahwa Ulfa saat ini sehat dan bahagia di ponpes. “Kondisinya sangat sehat, happy, gembira. Tidak ada yang dicemaskan,” kata Prayogo.
Saat klaim itu dikonfirmasikan kepada Kak Seto, pria berkacamata itu menolak berkomentar.
“Dalam hal ini, saya tidak ingin berbicara dari sudut anak terlebih dahulu. Ini permintaan si anak sendiri yang tidak mau dilibatkan dalam penyelesaian masalah. Tolong dihargai,” elaknya.
Penyelesaian yang dimaksud Kak Seto adalah dikembalikannya Ulfa ke orangtuanya, Suroso. Itu berarti pembatalan pernikahan Ulfa dengan Puji sebelumnya menghebohkan dengan membagikan zakat Rp 1,3 miliar.
Sebagaimana diberitakan, Puji mengawini Ulfa, bocah kelas 8 SMP dari Kecamatan Klepu, Kabupaten Semarang, sebagai istri kedua, pada 8 Agustus 2008 lalu. Kabar pernikahan itu memicu kecaman berbagai pihak, yang antara lain menilai Puji melanggar undang-undang perkawinan dan memperlakukan seorang anak gadis bau kencur tak semestinya. Bahkan sejumlah aktivis LSM pembela perempuan dan anak melaporkan pria berewokan tersebut ke Polda Jateng. Kak Seto pun langsung minta pernikahan tersebut dibatalkan saat bertemu Puji, Selasa (28/10) lalu.
Usai pertemuan Jumat petang itu, Prayogo mengatakan kliennya menuruti permintaan Komnas Perlindungan Anak untuk mengembalikan Ulfa. “Teknisnya sedang dibicarakan. Kami harapkan dalam waktu tidak terlalu lama sudah bisa dilaksanakan, dalam minggu-minggu ini,” tegasnya.
Pedofilia?
Pernikahan Puji-Ulfa itu mendapat respons dari warga Surabaya. Tak kurang dari 200 pelajar dari tingkat TK, SD dan SMP Bina Karya, Jl Tambak Asri menggelar aksi penolakan terhadap pernikahan ganjil itu, Jumat (31/10) pagi.
Sambil membawa puluhan poster berisi kalimat kecaman dengan tulisan tangan para pelajar itu berbaris dan berjalan di sepanjang Jl Tambak Asri. Ada juga yang berjalan sambil membentangkan spanduk panjang bertuliskan 'Anak-anak adalah Penerus Masa Depan Bangsa'.
“Saya gak mau dinikahi orang, lebih baik sekolah dulu,” ujar Lastri, 11, pelajar kelas 6 SD Bina Karya yang turut melakukan aksi. Lastri yang tahu kisah Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa itu dari siaran TV dan pembicaraan orang-orang di sekitarnya mengaku takut jika dinikahkan saat masih bocah.
Menurut seksolog, dr Boyke Dian Nugraha SpOG MARS, kasus ini sudah termasuk perilaku fedofilia. Ini terlihat dari sikap Syekh Puji yang berencana menikahi Ulfa dan dua anak perempuan lainnya yang masih berusia tujuh dan sebelas tahun.
“Anak-anak itu masih pra pubertas lho. Alat reproduksinya belum berkembang dengan sempurna. Ada penyimpangan perilaku seks di sini,” tegas dr Boyke, Kamis (30/10), ketika dihubungi melalui telepon.
Pendapat berbeda diungkapkan pakar andrologi Surabaya dr Johannes Soedjono MKes SpAnd yang menilai Syekh Puji bukan fedofil. “Fedofilia tidak sekadar suka dengan anak-anak begitu saja,” tegas dr Johannes, Rabu (29/10).
Fedofilia termasuk kelompok parafilia (penyimpangan perilaku seksual). Seseorang baru dapat dikatakan sebagai penderita fedofilia jika memenuhi salah satu kriteria berikut.
Pertama, seseorang baru bisa mendapat rangsangan, seksual fantasi, atau kenikmatan seksual jika berinteraksi atau berhubungan badan dengan anak-anak. Itu pun harus berlangsung selama enam bulan berturut-turut. Jika terjadi sekali saja lalu tidak sama sekali, itu bukan termasuk fedofilia.
Kedua, pelaku sudah memasuki usia remaja atau dewasa. Sedangkan korban setidaknya memiliki selisih usia minimal lima tahun lebih muda. Ketiga, korban masih dalam masa pra puber, usia di bawah 13 tahun.
Pengamat sosial dra Pinky Saptandari MA, menilai pernikahan pada usia sangat dini ini dilatarbelakangi minimnya pengetahuan tentang UU Perkawinan No 1/1974 serta UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Di dalamnya tertera usia minimal bagi pasangan yang hendak menikah. Sekaligus terdapat larangan menikahi anak di bawah umur 15 tahun. “Secara hukum kasus seperti yang dialami kebanyakan masyarakat Madura maupun figur Syekh Puji sebetulnya menyalahi aturan hukum,” katanya.
Bukan hanya itu, dari sisi medis maupun psikologis juga tidak bisa dibenarkan. Kesiapan reproduksi seorang anak di bawah umur belumlah matang. Meskipun sudah memasuki masa menstruasi namun kesiapan panggul menerima janin belumlah matang. Selain itu dari aspek psikologi, anak usia sekolah memiliki beban lebih berat jika dipaksa berumahtangga. (surya)
Gunjingan warga itu sesuai data kepolisian yang pernah menjebloskan Puji di tahanan gara-gara kasus penggundulan puluhan karyawan dan karyawati PT Sinar Lendoh Terang (Silenter), 23 September 1998. Saat itu, Puji yang menjabat kades Bedono sekaligus pemilik PT Silenter mengunduli rambut para karyawan dan karyawati yang melakukan kesalahan.
”Catatan kepolisian, Pak Puji pernah terkena kasus penggundulan beberapa karyawan dan karyawati lantaran terjadi masalah di perusahaannya, PT Silenter,” ujar Wibowo Hutomo, Kasat Reskrim Polres Salatiga, kepada wartawan, Jumat (31/10).
Kala itu Puji ditangkap polisi. Ia sempat ditahan, namun kemudian ditangguhkan. Hal ini terjadi setelah dilakukan penyelesaian kekeluargaan dengan 45 karyawan dan 17 karyawati yang digunduli.
Kemarin, Puji kembali bertemu dengan Seto Mulyadi (Kak Seto), Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak. Usai pertemuan yang membahas pembatalan pernikahan kontroversial itu, Sedyo Prayogo, penasihat hukum Puji, mengklaim bahwa Ulfa saat ini sehat dan bahagia di ponpes. “Kondisinya sangat sehat, happy, gembira. Tidak ada yang dicemaskan,” kata Prayogo.
Saat klaim itu dikonfirmasikan kepada Kak Seto, pria berkacamata itu menolak berkomentar.
“Dalam hal ini, saya tidak ingin berbicara dari sudut anak terlebih dahulu. Ini permintaan si anak sendiri yang tidak mau dilibatkan dalam penyelesaian masalah. Tolong dihargai,” elaknya.
Penyelesaian yang dimaksud Kak Seto adalah dikembalikannya Ulfa ke orangtuanya, Suroso. Itu berarti pembatalan pernikahan Ulfa dengan Puji sebelumnya menghebohkan dengan membagikan zakat Rp 1,3 miliar.
Sebagaimana diberitakan, Puji mengawini Ulfa, bocah kelas 8 SMP dari Kecamatan Klepu, Kabupaten Semarang, sebagai istri kedua, pada 8 Agustus 2008 lalu. Kabar pernikahan itu memicu kecaman berbagai pihak, yang antara lain menilai Puji melanggar undang-undang perkawinan dan memperlakukan seorang anak gadis bau kencur tak semestinya. Bahkan sejumlah aktivis LSM pembela perempuan dan anak melaporkan pria berewokan tersebut ke Polda Jateng. Kak Seto pun langsung minta pernikahan tersebut dibatalkan saat bertemu Puji, Selasa (28/10) lalu.
Usai pertemuan Jumat petang itu, Prayogo mengatakan kliennya menuruti permintaan Komnas Perlindungan Anak untuk mengembalikan Ulfa. “Teknisnya sedang dibicarakan. Kami harapkan dalam waktu tidak terlalu lama sudah bisa dilaksanakan, dalam minggu-minggu ini,” tegasnya.
Pedofilia?
Pernikahan Puji-Ulfa itu mendapat respons dari warga Surabaya. Tak kurang dari 200 pelajar dari tingkat TK, SD dan SMP Bina Karya, Jl Tambak Asri menggelar aksi penolakan terhadap pernikahan ganjil itu, Jumat (31/10) pagi.
Sambil membawa puluhan poster berisi kalimat kecaman dengan tulisan tangan para pelajar itu berbaris dan berjalan di sepanjang Jl Tambak Asri. Ada juga yang berjalan sambil membentangkan spanduk panjang bertuliskan 'Anak-anak adalah Penerus Masa Depan Bangsa'.
“Saya gak mau dinikahi orang, lebih baik sekolah dulu,” ujar Lastri, 11, pelajar kelas 6 SD Bina Karya yang turut melakukan aksi. Lastri yang tahu kisah Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa itu dari siaran TV dan pembicaraan orang-orang di sekitarnya mengaku takut jika dinikahkan saat masih bocah.
Menurut seksolog, dr Boyke Dian Nugraha SpOG MARS, kasus ini sudah termasuk perilaku fedofilia. Ini terlihat dari sikap Syekh Puji yang berencana menikahi Ulfa dan dua anak perempuan lainnya yang masih berusia tujuh dan sebelas tahun.
“Anak-anak itu masih pra pubertas lho. Alat reproduksinya belum berkembang dengan sempurna. Ada penyimpangan perilaku seks di sini,” tegas dr Boyke, Kamis (30/10), ketika dihubungi melalui telepon.
Pendapat berbeda diungkapkan pakar andrologi Surabaya dr Johannes Soedjono MKes SpAnd yang menilai Syekh Puji bukan fedofil. “Fedofilia tidak sekadar suka dengan anak-anak begitu saja,” tegas dr Johannes, Rabu (29/10).
Fedofilia termasuk kelompok parafilia (penyimpangan perilaku seksual). Seseorang baru dapat dikatakan sebagai penderita fedofilia jika memenuhi salah satu kriteria berikut.
Pertama, seseorang baru bisa mendapat rangsangan, seksual fantasi, atau kenikmatan seksual jika berinteraksi atau berhubungan badan dengan anak-anak. Itu pun harus berlangsung selama enam bulan berturut-turut. Jika terjadi sekali saja lalu tidak sama sekali, itu bukan termasuk fedofilia.
Kedua, pelaku sudah memasuki usia remaja atau dewasa. Sedangkan korban setidaknya memiliki selisih usia minimal lima tahun lebih muda. Ketiga, korban masih dalam masa pra puber, usia di bawah 13 tahun.
Pengamat sosial dra Pinky Saptandari MA, menilai pernikahan pada usia sangat dini ini dilatarbelakangi minimnya pengetahuan tentang UU Perkawinan No 1/1974 serta UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Di dalamnya tertera usia minimal bagi pasangan yang hendak menikah. Sekaligus terdapat larangan menikahi anak di bawah umur 15 tahun. “Secara hukum kasus seperti yang dialami kebanyakan masyarakat Madura maupun figur Syekh Puji sebetulnya menyalahi aturan hukum,” katanya.
Bukan hanya itu, dari sisi medis maupun psikologis juga tidak bisa dibenarkan. Kesiapan reproduksi seorang anak di bawah umur belumlah matang. Meskipun sudah memasuki masa menstruasi namun kesiapan panggul menerima janin belumlah matang. Selain itu dari aspek psikologi, anak usia sekolah memiliki beban lebih berat jika dipaksa berumahtangga. (surya)
0 komentar :
Posting Komentar