Wajar bila ada pegawai kantor yang mengambil cuti karena melahirkan, sakit, atau sekadar ingin berlibur. Namun, bagaimana dengan pegawai yang baru putus cinta? Yang bersangkutan ternyata juga berhak mengambil cuti khusus.
Fasilitas itulah yang diterapkan suatu perusahaan marketing di Jepang, Hime & Company. Perusahaan yang berbasis di Tokyo tersebut tak segan memberi libur bagi karyawan yang diketahui sedang “patah hati” gara-gara cintanya tak lagi diterima oleh kekasihnya.
Dengan cuti tersebut, pegawai yang bersangkutan bisa punya waktu cukup untuk melampiaskan kesedihan dan bisa kembali kerja dengan hati yang lapang dan suasana yang segar. Jadi, tidak ada alasan untuk kerja “setengah-setengah” karena masih patah hati. “Karyawan yang patah hati perlu waktu untuk memulihkan diri, seperti juga orang yang sedang sakit,” kata Miki Hiradate, bos Hime & Company, perusahaan yang memasarkan produk-produk kosmetik khusus perempuan.
Cuti khusus patah hati ternyata ada aturannya dan yang berhak mengambil tentu saja yang berstatus tidak menikah. Pegawai yang berusia 24 tahun ke bawah hanya berhak mengambil cuti satu hari dalam setahun. Sedangkan yang berusia antara 25 dan 29 tahun berhak cuti dua hari dalam setahun. Bahkan yang berusia di atas 29 tahun bisa cuti selama tiga hari dalam setahun untuk memulihkan diri dari sakit cinta.
Hiradate punya alasan kuat mengapa cuti tersebut diberlakukan beragam, tergantung usia pegawai. “Perempuan yang masih berusia 20-an tahun lebih gampang menemukan pasangan baru. Namun tidak demikian halnya dengan mereka yang sudah berusia 30-an tahun. Kalau putus cinta akibatnya cenderung lebih serius,” kata Hiradate.
Cuti Belanja
Selain cuti “patah hati”, perusahaan tersebut juga memberlakukan dispensasi selama dua hari dalam setahun di masa “diskon belanja”. Artinya, selama masa tersebut, pegawai boleh datang ke kantor kesiangan untuk berbelanja barang-barang murah di pagi hari. Kendati boleh belanja, tapi nggak boleh bawa belanjaan ke kantor. “Harus disimpan dulu di loker di stasiun kereta, misalnya,” kata Hiradate. “Namun di waktu normal, tidak perlu sungkan membawa belanjaan ke kantor karena kita bisa melakukan bagian yang paling disukai setelah berbelanja, yaitu membicarakan harga barang,” lanjut Hiradate.
Sumber: sinarharapan.com
Fasilitas itulah yang diterapkan suatu perusahaan marketing di Jepang, Hime & Company. Perusahaan yang berbasis di Tokyo tersebut tak segan memberi libur bagi karyawan yang diketahui sedang “patah hati” gara-gara cintanya tak lagi diterima oleh kekasihnya.
Dengan cuti tersebut, pegawai yang bersangkutan bisa punya waktu cukup untuk melampiaskan kesedihan dan bisa kembali kerja dengan hati yang lapang dan suasana yang segar. Jadi, tidak ada alasan untuk kerja “setengah-setengah” karena masih patah hati. “Karyawan yang patah hati perlu waktu untuk memulihkan diri, seperti juga orang yang sedang sakit,” kata Miki Hiradate, bos Hime & Company, perusahaan yang memasarkan produk-produk kosmetik khusus perempuan.
Cuti khusus patah hati ternyata ada aturannya dan yang berhak mengambil tentu saja yang berstatus tidak menikah. Pegawai yang berusia 24 tahun ke bawah hanya berhak mengambil cuti satu hari dalam setahun. Sedangkan yang berusia antara 25 dan 29 tahun berhak cuti dua hari dalam setahun. Bahkan yang berusia di atas 29 tahun bisa cuti selama tiga hari dalam setahun untuk memulihkan diri dari sakit cinta.
Hiradate punya alasan kuat mengapa cuti tersebut diberlakukan beragam, tergantung usia pegawai. “Perempuan yang masih berusia 20-an tahun lebih gampang menemukan pasangan baru. Namun tidak demikian halnya dengan mereka yang sudah berusia 30-an tahun. Kalau putus cinta akibatnya cenderung lebih serius,” kata Hiradate.
Cuti Belanja
Selain cuti “patah hati”, perusahaan tersebut juga memberlakukan dispensasi selama dua hari dalam setahun di masa “diskon belanja”. Artinya, selama masa tersebut, pegawai boleh datang ke kantor kesiangan untuk berbelanja barang-barang murah di pagi hari. Kendati boleh belanja, tapi nggak boleh bawa belanjaan ke kantor. “Harus disimpan dulu di loker di stasiun kereta, misalnya,” kata Hiradate. “Namun di waktu normal, tidak perlu sungkan membawa belanjaan ke kantor karena kita bisa melakukan bagian yang paling disukai setelah berbelanja, yaitu membicarakan harga barang,” lanjut Hiradate.
Sumber: sinarharapan.com
0 komentar :
Posting Komentar