Sebagian besar bangsa Amerika dan Eropa merayakan Halloween, Jumat (31/10) ini. Kostum serba aneh bermunculan. Bagi sebagian kalangan, perayaan ini dianggap sebagai pemujaan terhadap setan.
Di Amerika, Halloween biasanya diramaikan anak-anak dengan meminta permen. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah sambil mengucapkan, “Trick or Treat!” Beri kami (permen) atau kami jahili.
Bagi orang dewasa, Halloween berarti saatnya untuk berpesta kostum. Kostum yang dimaksud adalah melambangkan kematian. Ada vampir, mumi, zombie, dan lain-lain. Selain itu, Halloween juga identik dengan setan, hantu goblin, tukang sihir, dan makhluk-makhluk menyeramkan lain dari kebudayaan Barat.
Bahkan, berbelanja untuk merayakan Halloween meningkat dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat. Konsorsium Ritel Nasional mencatat konsumen membelanjakan sekitar US$ 5 miliar tahun 2006 lalu, naik US$ 1 miliar dari 2005.
Di Inggris, pembelanjaan dalam rangka pesta itu juga meningkat menjadi US$ 228 juta tahun 2006. Itu artinya naik dari US$ 22 juta enam tahun lalu.
Di samping kegembiraan, pesta dan permainan dalam perayaan, beberapa kalangan Kristen menganggap Halloween sebagai pemujaan terhadap setan. “Bagi beberapa kalangan, Halloween menjadi pertentangan ideologi. Sikap puritan tersebut ada di Amerika Serikat saat ini. Kaum fundamentalis dan evangelis berada di barisan terdepan. Mereka memiliki platform dan memunculkan anggapan tersebut,” kata Jack Santino, profesor di Universitas Bowling Green, Ohio.
Membaca atau mendengar Halloween pasti yang terbayang buah labu kuning besar berwajah seram dengan lampu atau lilin di dalamnya. Ya, itulah Jack-O-Lantern, simbol Halloween.
Kisahnya, Jack seorang pemabuk dan penipu. Suatu ketika ia membujuk setan naik ke sebuah pohon. Setelah setan naik, ia mengukir tanda salib di pohon itu. Setan tidak bisa turun. Saat Jack wafat, surga tidak bisa menerima Jack karena semasa hidup berbuat kejahatan. Neraka juga menolak karena ingin membalas dendam. Maka arwah Jack bergentayangan membawa lentera mencari tempat peristirahatannya.
Tradisi lampu labu ini dimulai awal abad ke-19 di Amerika Utara. Mengapa buah labu? Karena mudah diperoleh dan mudah diukir. Bandingkan dengan penggunaan lobak putih besar untuk tempat lilin yang digunakan warga Irlandia.
Halloween memang diperkenalkan bangsa Celtic di Irlandia. Mereka percaya pada 31 Oktober malam, roh-roh bergentayangan untuk merasuki tubuh mereka yang masih hidup. Tak mau dirasuki roh, ketika malam sudah mulai mengintip, penduduk desa mematikan api di dalam rumah, sehingga tubuh mereka dingin dan roh tidak mau memasukinya.
Mereka kemudian berpakaian yang menakutkan dan berkeliling desa. Mereka membuat suara gaduh untuk menakut-nakuti roh gentayangan yang ingin merasuki tubuh mereka.
Sekitar abad pertama Masehi, Celtic ditaklukkan Romawi, yang menambahkan kebudayaan mereka ke dalam tradisi Halloween. Mereka menambahkan dua festival bernama Feralia dan Pomona. Feralia diperuntukkan untuk menghormati mereka yang telah meninggal. Sedang Pomona festival untuk merayakan musim panen, diambil dari nama seorang dewi.
Sekitar abad ke-8, Gereja Katolik mulai merayakan tanggal 1 November sebagai hari untuk menghormati para santo dan santa yang tidak memiliki hari perayaan khusus. Malam sebelumnya disebut All Hallows Eve. Inilah cikal-bakal Halloween.
Kebiasaan merayakan Halloween menyebar ke tanah Amerika dibawa pengungsi Irlandia saat mengalami bencana kelaparan di tahun 1840-an. Mereka berharap tanah baru Amerika akan memberi kehidupan yang lebih baik.
Di Indonesia sendiri, banyak kelab malam atau tempat-tempat hiburan yang latah menggelar acara pesta Halloween pada malam tanggal 31 Oktober.
Namun ada juga orang-orang yang tidak terlalu menanggapi pentingnya perayaan Halloween tiap tahunnya.
“Ngapain ikut-ikutan pesta Halloween. Pentingnya apa sih. Apa hanya untuk ngetrend?. Saya sepakat bahwa kita harus junjung budaya kita sendiri, berangus budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya kita. Kalau mengadakan even, paling tidak yang punya makna,” ujar Hesti karyawan perusahaan swasta di Jakarta.
Hal senada juga diungkapkan dosen The Divinity School, Silliman University, Filipina, Robinson Rajagukguk. Halloween bukanlah perayaan yang harus dilakukan umat beragama di Indonesia.
“Halloween adalah sebuah tradisi barat, khususnya bagi umat Kristiani untuk menghormati para arwah santo atau santa yang merupakan orang yang dianggap berjasa bagi gereja. Namun, pesta atau perayaan besar Halloween akhirnya menjadi suatu kegiatan unik dan tidak sepantasnya dilakukan secara mewah,” ujar dosen yang meraih gelar doktor di Lutheran Theological Seminary, Chicago, tahun 1991 silam. (inilah.com)
Di Amerika, Halloween biasanya diramaikan anak-anak dengan meminta permen. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah sambil mengucapkan, “Trick or Treat!” Beri kami (permen) atau kami jahili.
Bagi orang dewasa, Halloween berarti saatnya untuk berpesta kostum. Kostum yang dimaksud adalah melambangkan kematian. Ada vampir, mumi, zombie, dan lain-lain. Selain itu, Halloween juga identik dengan setan, hantu goblin, tukang sihir, dan makhluk-makhluk menyeramkan lain dari kebudayaan Barat.
Bahkan, berbelanja untuk merayakan Halloween meningkat dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat. Konsorsium Ritel Nasional mencatat konsumen membelanjakan sekitar US$ 5 miliar tahun 2006 lalu, naik US$ 1 miliar dari 2005.
Di Inggris, pembelanjaan dalam rangka pesta itu juga meningkat menjadi US$ 228 juta tahun 2006. Itu artinya naik dari US$ 22 juta enam tahun lalu.
Di samping kegembiraan, pesta dan permainan dalam perayaan, beberapa kalangan Kristen menganggap Halloween sebagai pemujaan terhadap setan. “Bagi beberapa kalangan, Halloween menjadi pertentangan ideologi. Sikap puritan tersebut ada di Amerika Serikat saat ini. Kaum fundamentalis dan evangelis berada di barisan terdepan. Mereka memiliki platform dan memunculkan anggapan tersebut,” kata Jack Santino, profesor di Universitas Bowling Green, Ohio.
Membaca atau mendengar Halloween pasti yang terbayang buah labu kuning besar berwajah seram dengan lampu atau lilin di dalamnya. Ya, itulah Jack-O-Lantern, simbol Halloween.
Kisahnya, Jack seorang pemabuk dan penipu. Suatu ketika ia membujuk setan naik ke sebuah pohon. Setelah setan naik, ia mengukir tanda salib di pohon itu. Setan tidak bisa turun. Saat Jack wafat, surga tidak bisa menerima Jack karena semasa hidup berbuat kejahatan. Neraka juga menolak karena ingin membalas dendam. Maka arwah Jack bergentayangan membawa lentera mencari tempat peristirahatannya.
Tradisi lampu labu ini dimulai awal abad ke-19 di Amerika Utara. Mengapa buah labu? Karena mudah diperoleh dan mudah diukir. Bandingkan dengan penggunaan lobak putih besar untuk tempat lilin yang digunakan warga Irlandia.
Halloween memang diperkenalkan bangsa Celtic di Irlandia. Mereka percaya pada 31 Oktober malam, roh-roh bergentayangan untuk merasuki tubuh mereka yang masih hidup. Tak mau dirasuki roh, ketika malam sudah mulai mengintip, penduduk desa mematikan api di dalam rumah, sehingga tubuh mereka dingin dan roh tidak mau memasukinya.
Mereka kemudian berpakaian yang menakutkan dan berkeliling desa. Mereka membuat suara gaduh untuk menakut-nakuti roh gentayangan yang ingin merasuki tubuh mereka.
Sekitar abad pertama Masehi, Celtic ditaklukkan Romawi, yang menambahkan kebudayaan mereka ke dalam tradisi Halloween. Mereka menambahkan dua festival bernama Feralia dan Pomona. Feralia diperuntukkan untuk menghormati mereka yang telah meninggal. Sedang Pomona festival untuk merayakan musim panen, diambil dari nama seorang dewi.
Sekitar abad ke-8, Gereja Katolik mulai merayakan tanggal 1 November sebagai hari untuk menghormati para santo dan santa yang tidak memiliki hari perayaan khusus. Malam sebelumnya disebut All Hallows Eve. Inilah cikal-bakal Halloween.
Kebiasaan merayakan Halloween menyebar ke tanah Amerika dibawa pengungsi Irlandia saat mengalami bencana kelaparan di tahun 1840-an. Mereka berharap tanah baru Amerika akan memberi kehidupan yang lebih baik.
Di Indonesia sendiri, banyak kelab malam atau tempat-tempat hiburan yang latah menggelar acara pesta Halloween pada malam tanggal 31 Oktober.
Namun ada juga orang-orang yang tidak terlalu menanggapi pentingnya perayaan Halloween tiap tahunnya.
“Ngapain ikut-ikutan pesta Halloween. Pentingnya apa sih. Apa hanya untuk ngetrend?. Saya sepakat bahwa kita harus junjung budaya kita sendiri, berangus budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya kita. Kalau mengadakan even, paling tidak yang punya makna,” ujar Hesti karyawan perusahaan swasta di Jakarta.
Hal senada juga diungkapkan dosen The Divinity School, Silliman University, Filipina, Robinson Rajagukguk. Halloween bukanlah perayaan yang harus dilakukan umat beragama di Indonesia.
“Halloween adalah sebuah tradisi barat, khususnya bagi umat Kristiani untuk menghormati para arwah santo atau santa yang merupakan orang yang dianggap berjasa bagi gereja. Namun, pesta atau perayaan besar Halloween akhirnya menjadi suatu kegiatan unik dan tidak sepantasnya dilakukan secara mewah,” ujar dosen yang meraih gelar doktor di Lutheran Theological Seminary, Chicago, tahun 1991 silam. (inilah.com)
0 komentar :
Posting Komentar