03 Oktober 2008

Antara "Ayat-Ayat Cinta", Ahmadiyah dan Pancasila

Sukses fenomenal baik film maupun buku Ayat-Ayat Cinta (AAC) merupakan cerminan kondisi dan kecenderungan masyarakat kita. Yang menarik ialah AAC telah mampu mencairkan "perbedaan" pengkondisian dan kecenderungan tersebut pada keluasan sesuatu yang tak dikenali. Film dan buku ini sama-sama diapresiasi oleh presiden, tokoh agama kita, dan juga masyarakat awam.


Pertanyaannya ialah, apakah kita membutuhkan sebuah buku atau film seperti AAC untuk bersatu? Kalau memang begitu, berarti kita mempunyai masalah serius di sini.

"Ayat", berdasarkan pemahaman saya, ialah bahasa Arab yang berarti "tanda" atau "bukti". Tanda atau bukti keberadaan Tuhan Allah yang bertebaran di mana-mana. Semua kitab suci kita mengakui hal ini. “Mereka yang memiliki mata bisa melihatnya dengan jelas.”

Apakah AAC menyajikan bukti akan "keberadaan" Tuhan Allah kita?

Atau apakah ia sekadar menjadi saksi keberadaan sosok “Tuhan” seperti dibayangkan oleh satu kelompok agama tertentu? Buku tersebut jelas-jelas mempromosikan akidah agama tertentu, seperti “dipahami” oleh si penulis berdasarkan latar belakang sosial dan pendidikannya.

Seorang gadis Kristen memuja nilai-nilai Islami dan jatuh cinta kepada seorang pahlawan muda Islam tak cuma bisa diterima tapi juga diinginkan. Untuk sebuah perubahan, bagaimana kalau perempuan Muslim memuja nilai-nilai Kristiani dan jatuh cinta kepada seorang pahlawan muda Kristen?

Saya bertanya-tanya apa reaksi tokoh agama terkemuka kita yang menyanjung tinggi film ini, dan bahkan tampil di layar televisi untuk mempromosikannya.

Saya bertanya-tanya apakah produser film AAC mau memproduksi sebuah film yang "berkebalikan" dengan versi di atas. Seperti yang disampaikan oleh sahabat terkasih saya, penulis Ayu Utami, ini ialah sebuah "film dakwah". Ia mempromosikan akidah agama "tertentu". Saya setuju dengannya. Begitu pula pengarangnya. Jadi, cukup wajar bila nilai-nilai tertentu ditinggikan lebih daripada yang lain.

Produser film ini mungkin tidak tertarik mempromosikan hal lain selain yang berkaitan dengan bisnis mereka. Di atas segalanya, mereka ialah penghibur. Mereka akan menghindari polemik. Bila mereka di Barat, mereka akan membuat film yang berkebalikan dengan AAC — seorang pahlawan Muslim, bisa laki-laki bisa perempuan, mengapresisi nilai-nilai Kristiani dan jatuh cinta dengan seorang Kristen. Ayu Utami tepat mengatakan bahwa film itu memiliki alur cerita yang sama dengan sebuah film Holywood di tahun 1950-an.

Hal ini membuktikan apa? ayat-ayat itu menunjukkan apa? Pertama, kita masih begitu terkondisi dengan pemahaman agama yang sempit: Saya mau mentolerir kamu, terserah apa yang dikatakan dan lakukan, tapi agamaku tetaplah yang terbaik.

Kedua, urusanku ialah bisnis. Jangan membingungkan aku dengan hal lainnya. Saya hanya seorang penghibur. Saya mempercayai bagian kedua dari Machiavelli soal "makanan dan sirkus" untuk membuat orang sibuk, sehingga mereka tidak mampu berpikir kritis dan mengambil sikap yang menguncang kemapanan.

Film ini pluralistik dengan alasan ia memiliki tokoh Kristen. Saya berharap kita tidak percaya seperti itulah definisi majemuk. Pernah seorang penulis Habbiburrahman dihujat oleh kelompok garis keras. Mereka mengatakan, "Kenapa seorang Muslim harus membela hak seorang Amerika di Mesir Islam?" Pembelaan sang penulis sejatinya berdasarkan hak sipil dan asasi manusia. Dan inilah poin ketiga saya: banyak dari kita yang tidak menghargai hak orang lain.

Betapa kita tidak sensitif dengan situasi tragis yang menimpa warga Ahmadiyah. Mereka begitu merana, tapi pemerintah, tokoh agama kita dan sebagian besar masyarakat sama sekali tak peduli dengan hal ini. Madi dari Selena dibantai secara sadis; warga Ahmadiyah juga bisa dibunuh. Setidaknya seorang dari kelompok garis keras kita tertangkap basah oleh kamera sedang berteriak dan menjerit, “Bunuh, bunuh, bunuh orang Ahmadiyah.’ Kita diam.

Presiden terkasih yang kita sayangi bisa meneteskan air mata menonton AAC, tapi matanya mengering menyaksikan pembantaian Madi, pencekalan warga Ahmadiyah dan lainnya. Atau, mungkin kita kekurangan paparazi. Barangkali, beliau juga menangis di kamar pribadi. Bisa jadi media hanya belum bisa menangkap dengan kamera beliau melakukan hal tersebut.

Saya tak menentang AAC dan pengarangnya. Mari kita melihat AAC dengan cahaya penerang dari nilai budaya asli seperti yang termaktub dalam lima sila Pancasila. Nilai spiritual dan universal apa dalam film ini yang tak ada dalam Pancasila? Sejatinya, Pancasila setidaknya satu langkah lebih maju dibanding AAC. Seorang Kristen tak perlu pindah agama dan masuk Islam untuk mengapresiasi nilai-nilai universal dalam Islam dan dalam kenabian Muhammad (damai beserta-Nya).

Masyarakat kita terpesona dengan Timur Tengah, serta latar belakang Mesir dalam film ini. Kita menghargai tradisi mereka di atas budaya kita sendiri, dan kita dibuat sentimental dan emosional dengan mereka. Tapi bagaimanapun budaya Mesir tak bisa membangkitkan sentimen kita. Produser film ini musti mengambil gambar beberapa adegan di India, karena murni alasan “material”

AAC menganggap "lelaki sebagai pahlawan". Perempuan itu lebih rendah. Mereka berada di sekitar sang pahlawan, dan bukan sebaliknya. Ini bukan budaya Indonesia. Ini sangat Timur Tengah. Kelaki-lakian dan maskulinitas dalam AAC begitu implisit tapi sangat jelas dipromosikan, bahwa seseorang mulai bertanya-tanya apakah cinta itu maskulin.

AAC sungguh merupakan cerminan masyarakat kita sekarang. Ia telah memainkan perannya dengan baik untuk menunjukkan pada kita konflik yang tengah berlangsung dalam diri kita. Sikap AAC terhadap poligami ialah cerminan konflik tersebut. Inilah poin kelima dan terakhir saya. Dalam diri yang terdalam kita terobang-ambing antara nilai-nilai asing dan khasanah lokal. Perhatikan reaksi kita terhadap Ustadz A.A. Gym, Wong Solo, dan poligami mereka. Kita tak bisa menerimanya.

The Jakarta Post Selasa, 6 Mei 2008, 9.40 WIB, Opini
Anand Krishna , Jakarta

Sumber: http://www.aumkar.org/ind/?p=30

0 komentar :

Tulisan Terkait: