Suami-suami takut istri tampaknya bukan cuma kisah dalam sinetron atau film. Dalam kehidupan nyata juga dijumpai suami yang mengkeret menghadapi istrinya secara jantan, sehingga suami harus mengadukan siksaan batin yang diterimanya dari sang istri ke pihak berwenang.
Demikian pengaduan yang saat ini sedang ditangani oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Kabupaten Malang.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh Surya, Sabtu (18/10) kemarin, siksaan psikis yang dilaporkan tiga suami tersebut umumnya dipicu oleh permasalahan ekonomi. Persisnya, karena para istri itu memiliki penghasilan yang lebih besar, mereka menjadi berkurang rasa hormatnya pada suami.
Keadaan pun menjadi berbalik. Jika secara tradisional istri umumnya berada di bawah naungan suami, dalam kasus ketiga suami yang melapor ke KPPPA tersebut, si istri justru bertindak seperti kepala keluarga. Akibatnya cek cok kerap terjadi, dan kemudian mengganggu hubungan biologis di antara mereka.
“Memang benar, ada laporan masuk dari tiga suami terhadap para istri mereka ke tempat kami. Dan siksaan psikis yang dialami ketiga pria itu masuk dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hanya saja, biasanya KDRT itu dialami perempuan, sekarang yang mengalami laki-laki (suami),” kataDra Kamti Astuti, Kepala KPPPA Kabupaten Malang kepada Surya, (18/10).
Berdasarkan pengakuan ketiga pria tersebut, jelas Kamti, istri mereka berubah perilakunya secara drastis setelah kehidupan ekonomi keluarga meningkat seiring dengan kesuksesan istri.
"Kami sudah mempertemukan dua pasangan yang bermasalah, dan tinggal satu pasangan yang belum. Memang benar-benar terjadi dan terbukti adanya persoalan seperti yang dilaporkan para pria itu. Insya Allah, upaya mediasi kami mendatangkan hasil dan mereka bisa didamaikan,” terang Kamti.
Kamti mengaku sempat sedikit heran ada lelaki yang melaporkan KDRT istrinya ke lembaganya. Sebab, sejak KPPPA diresmikan Januari 2007, semula belum ada satupun laporan KDRT yang berasal dari pihak suami.
Lagi pula, kata Kamti, dari namanya saja, jelas bahwa sebetulnya orientasi lembaga yang dipimpinnya adalah `memberdayakan perempuan`, bukan `memberdayakan laki-laki`.
“Bisa jadi ini karena keberhasilan kami dalam mensosialisasikan keberadaan dan program kami sampai ke tingkat desa. Kami punya konsultan dan psikolog perkawinan serta staf legal, yang banyak memberikan penyuluhan dan advokasi tentang masalah perkawinan, keluarga dan anak. Mungkin karena sudah tahu keberadaan dan fungsi KPPPA, bapak-bapak pun jadi tak malu melaporkan kasusnya pada kami,” terang Kamti.
Karena terikat kode etik, KPPPA harus merahasiakan identitas dan alamat ketiga kliennya tersebut. Kamti hanya memberi gambaran, seorang suami yang mengadu itu berprofesi sebagai wiraswastawan. Istrinya juga seorang pengusaha namun bisnisnya lebih sukses sehingga penghasilannya lebih besar.
Seorang lagi suami pelapor adalah supervisor pada sebuah perusahaan swasta, dan istrinya juga seorang pengusaha –yang berpenghasilan lebih tinggi. Sedangkan pelapor ketiga bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan Pemkab Malang.
“Usia pasangan suami-istri yang bermasalah itu rata-rata mendekati 40 tahun,” ucap Kamti.
KPPPA adalah lembaga teknis eselon III di lingkup Pemkab Malang, dan langsung bertanggungjawab kepada bupati.
Selama 2008 hingga akhir September lalu, kasus yang ditangani Ruang Pengaduan dan Konsultasi (RPK) KPPPA Malang mencapai 101, termasuk tiga kasus KDRT yang dialami ketiga suami tersebut.
Dari 101 pengaduan yang diterima dari berbagai pihak itu, 80 persen di antaranya tengah ditangani dan sebagian besar sudah tuntas --baik penyelesaian melalui jalan musyawarah maupun melalui proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN).
Kamti mengatakan, penanganan kasus di KPPPA melibatkan berbagai pihak termasuk psikolog, advokat, dokter dan kepolisian. "KPPPA membuka pintu lebar-lebar bagi pasangan suami-istri yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikis untuk melapor. Kami siap membantu," katanya menambahkan.
Aktivis lembaga pemberdayaan perempuan Savy Amira, yakni Endah Triwijati, mengakui suami melaporkan istrinya dalam kasus KDRT merupakan hal langka meski bukan sesuatu yang baru sama sekali. “Tapi, jumlah lelaki korban KDRT sangat sedikit,” tandas Endah.
Ia melihat, kemandirian dan kemapanan istri merupakan penyebab munculnya KDRT terhadap suami. Jika secara ekonomi si perempuan lebih mapan dan mampu melakukan segala hal sendiri, maka dia memang punya nilai tawar di hadapan suami. Orang kerap mengistilahkan keadaan itu sebagai ‘suami dikendalikan istri’.
“Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya suami belum tentu mengalami KDRT, dalam arti kekerasan fisik. Cuma, lelaki tentu merasa diinjak-injak harga dirinya kalau istrinya lebih mandiri. Kan lelaki adalah kepala rumah tangga, bukan istri,” kata Endah.
“Jadi, kasus di Malang itu sebetulnya KDRT secara psikis.”
Psikolog pernikahan Fenny Listiana SPsi Msi menerangkan, KDRT psikis tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Sedangkan KDRT fisik bisa terlihat, misalnya adanya bekas pemukulan oleh suami atau istri.
Fenny menilai, munculnya laporan KDRT oleh suami sebagai suatu perkembangan yang bagus. Ini mencerminkan mulai adanya kesimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam mencari keadilan terkait KDRT.
“Paling tidak membuat kaum istri mawas diri. Jangan mentang-mentang telah dilindungi UU mengenai Penghapusan KDRT, pihak perempuan kemudian mau menangnya sendiri. Ini tentu bukan hal yang baik dalam rumah tangga,” kata Fenny
Sumber: Surya.co.id
Demikian pengaduan yang saat ini sedang ditangani oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Kabupaten Malang.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh Surya, Sabtu (18/10) kemarin, siksaan psikis yang dilaporkan tiga suami tersebut umumnya dipicu oleh permasalahan ekonomi. Persisnya, karena para istri itu memiliki penghasilan yang lebih besar, mereka menjadi berkurang rasa hormatnya pada suami.
Keadaan pun menjadi berbalik. Jika secara tradisional istri umumnya berada di bawah naungan suami, dalam kasus ketiga suami yang melapor ke KPPPA tersebut, si istri justru bertindak seperti kepala keluarga. Akibatnya cek cok kerap terjadi, dan kemudian mengganggu hubungan biologis di antara mereka.
“Memang benar, ada laporan masuk dari tiga suami terhadap para istri mereka ke tempat kami. Dan siksaan psikis yang dialami ketiga pria itu masuk dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hanya saja, biasanya KDRT itu dialami perempuan, sekarang yang mengalami laki-laki (suami),” kataDra Kamti Astuti, Kepala KPPPA Kabupaten Malang kepada Surya, (18/10).
Berdasarkan pengakuan ketiga pria tersebut, jelas Kamti, istri mereka berubah perilakunya secara drastis setelah kehidupan ekonomi keluarga meningkat seiring dengan kesuksesan istri.
"Kami sudah mempertemukan dua pasangan yang bermasalah, dan tinggal satu pasangan yang belum. Memang benar-benar terjadi dan terbukti adanya persoalan seperti yang dilaporkan para pria itu. Insya Allah, upaya mediasi kami mendatangkan hasil dan mereka bisa didamaikan,” terang Kamti.
Kamti mengaku sempat sedikit heran ada lelaki yang melaporkan KDRT istrinya ke lembaganya. Sebab, sejak KPPPA diresmikan Januari 2007, semula belum ada satupun laporan KDRT yang berasal dari pihak suami.
Lagi pula, kata Kamti, dari namanya saja, jelas bahwa sebetulnya orientasi lembaga yang dipimpinnya adalah `memberdayakan perempuan`, bukan `memberdayakan laki-laki`.
“Bisa jadi ini karena keberhasilan kami dalam mensosialisasikan keberadaan dan program kami sampai ke tingkat desa. Kami punya konsultan dan psikolog perkawinan serta staf legal, yang banyak memberikan penyuluhan dan advokasi tentang masalah perkawinan, keluarga dan anak. Mungkin karena sudah tahu keberadaan dan fungsi KPPPA, bapak-bapak pun jadi tak malu melaporkan kasusnya pada kami,” terang Kamti.
Karena terikat kode etik, KPPPA harus merahasiakan identitas dan alamat ketiga kliennya tersebut. Kamti hanya memberi gambaran, seorang suami yang mengadu itu berprofesi sebagai wiraswastawan. Istrinya juga seorang pengusaha namun bisnisnya lebih sukses sehingga penghasilannya lebih besar.
Seorang lagi suami pelapor adalah supervisor pada sebuah perusahaan swasta, dan istrinya juga seorang pengusaha –yang berpenghasilan lebih tinggi. Sedangkan pelapor ketiga bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan Pemkab Malang.
“Usia pasangan suami-istri yang bermasalah itu rata-rata mendekati 40 tahun,” ucap Kamti.
KPPPA adalah lembaga teknis eselon III di lingkup Pemkab Malang, dan langsung bertanggungjawab kepada bupati.
Selama 2008 hingga akhir September lalu, kasus yang ditangani Ruang Pengaduan dan Konsultasi (RPK) KPPPA Malang mencapai 101, termasuk tiga kasus KDRT yang dialami ketiga suami tersebut.
Dari 101 pengaduan yang diterima dari berbagai pihak itu, 80 persen di antaranya tengah ditangani dan sebagian besar sudah tuntas --baik penyelesaian melalui jalan musyawarah maupun melalui proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN).
Kamti mengatakan, penanganan kasus di KPPPA melibatkan berbagai pihak termasuk psikolog, advokat, dokter dan kepolisian. "KPPPA membuka pintu lebar-lebar bagi pasangan suami-istri yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikis untuk melapor. Kami siap membantu," katanya menambahkan.
Aktivis lembaga pemberdayaan perempuan Savy Amira, yakni Endah Triwijati, mengakui suami melaporkan istrinya dalam kasus KDRT merupakan hal langka meski bukan sesuatu yang baru sama sekali. “Tapi, jumlah lelaki korban KDRT sangat sedikit,” tandas Endah.
Ia melihat, kemandirian dan kemapanan istri merupakan penyebab munculnya KDRT terhadap suami. Jika secara ekonomi si perempuan lebih mapan dan mampu melakukan segala hal sendiri, maka dia memang punya nilai tawar di hadapan suami. Orang kerap mengistilahkan keadaan itu sebagai ‘suami dikendalikan istri’.
“Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya suami belum tentu mengalami KDRT, dalam arti kekerasan fisik. Cuma, lelaki tentu merasa diinjak-injak harga dirinya kalau istrinya lebih mandiri. Kan lelaki adalah kepala rumah tangga, bukan istri,” kata Endah.
“Jadi, kasus di Malang itu sebetulnya KDRT secara psikis.”
Psikolog pernikahan Fenny Listiana SPsi Msi menerangkan, KDRT psikis tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Sedangkan KDRT fisik bisa terlihat, misalnya adanya bekas pemukulan oleh suami atau istri.
Fenny menilai, munculnya laporan KDRT oleh suami sebagai suatu perkembangan yang bagus. Ini mencerminkan mulai adanya kesimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam mencari keadilan terkait KDRT.
“Paling tidak membuat kaum istri mawas diri. Jangan mentang-mentang telah dilindungi UU mengenai Penghapusan KDRT, pihak perempuan kemudian mau menangnya sendiri. Ini tentu bukan hal yang baik dalam rumah tangga,” kata Fenny
Sumber: Surya.co.id
0 komentar :
Posting Komentar