Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) menjadi fraksi yang paling lantang menolak pengesahan RUU Pornografi yang rencananya akan disahkan pada 23 September 2008. Apa alasannya?
“Alasannya banyak. Baik dari sisi prosedur maupun substansi kami nggak setuju,” kata anggota Komisi VIII DPR dari FDIP, Agung Sasongko, saat dihubungi detikcom, Rabu (17/9).
Dari sisi prosedur, menurut Agung, pembahasan RUU ini lebih sering menggunakan voting sehingga musyawarah mufakat jarang bisa tercapai. Selain itu, pada waktu raker dengan pihak pemerintah, hasil raker yang masih mentah secara glondongan diserahkan begitu saja ke panja tanpa dipilah-pilah.
“Ada hal-hal yang belum tuntas tapi dipaksakan oleh (fraksi) yang lain sehingga kami walk out waktu itu,” papar Agung.
Secara substansi, lanjut Agung, RUU ini juga berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya pasal 21 yang memberi kewenangan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam penanggulangan pornografi.
“Menurut kami itu bisa menimbulkan fungsi-fungsi swasta dan melemahkan institusi Polri,” jelas Agung.
Persoalan lain adalah beberapa pasal dalam RUU tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM). Misalnya, adanya larangan bagi setiap orang untuk memiliki dan menyimpan barang-barang yang berhubungan dengan pornografi artinya melanggar hak atas kepemilikian pribadi.
Contoh lain adalah adanya larangan memproduksi, memperdagangkan, mengekspor, dan mengimpor barang-barang yang ada hubungannya dengan pornografi.
“Yang FPDIP keberatan, saudara-saudara kita di Asmat, Papua kan kalau membuat patung banyak yang berupa benda-benda yang memperbentukkan ketelanjangan. Padahal itu untuk mata pencaharian, dijual di toko-toko souvenir,” ungkapnya.
Lebih jauh Agung mengatakan, dirinya yakin pengesahan RUU tersebut tidak akan bisa disahkan pada 23 September 2008.
“Tanggal 23 September itu nggak mungkin. Tanggal 18 September itu baru sikap masing-masing fraksi. Kemudian seminggu berikutnya kalau lancar kan baru masuk badan musyawarah (Bamus). Di Bamus baru diagendakan kapan akan diparipurnakan,” pungkasnya.
RUU Pornografi Beri Amunisi untuk Anarki
RUU Pornografi rencananya akan disahkan 23 September 2008. Pro dan kontra menyertainya. Salah satu pasal yang mengundang perdebatan adalah pasal 21 yang menyebutkan ‘Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”
“Itu akan memberi amunisi kepada para anarkis-anarkis itu,” kata anggota panja RUU Pornografi dari FPDIP, Eva Kusuma Sundari, kepada detikcom, Rabu (17/9).
Bersama FPDS, FPDIP yang menilai RUU Pornografi tidak beres karena multiinterpretatif. Menurut Eva, diperkenankannya peran serta masyarakat sebagaimana disebut dalam pasal 21 RUU tersebut berpeluang untuk semakin memberi tempat kepada para pelaku anarki dan justru memperlemah peran polisi sebagai aparat penegak hukum.
“Memang sepertinya itulah tujuan mereka (para pendukung),” ujarnya.
Eva mengakui, dalam pembahasan UU tersebut DPR tidak memiliki instrumen untuk mengantisipasi agar anarkisme yang dikhawatirkan tidak terjadi.
“Tidak ada (antisipasi). Saya nggak tahu apa maunya ini,” katanya.
Sumber: Hariansib
“Alasannya banyak. Baik dari sisi prosedur maupun substansi kami nggak setuju,” kata anggota Komisi VIII DPR dari FDIP, Agung Sasongko, saat dihubungi detikcom, Rabu (17/9).
Dari sisi prosedur, menurut Agung, pembahasan RUU ini lebih sering menggunakan voting sehingga musyawarah mufakat jarang bisa tercapai. Selain itu, pada waktu raker dengan pihak pemerintah, hasil raker yang masih mentah secara glondongan diserahkan begitu saja ke panja tanpa dipilah-pilah.
“Ada hal-hal yang belum tuntas tapi dipaksakan oleh (fraksi) yang lain sehingga kami walk out waktu itu,” papar Agung.
Secara substansi, lanjut Agung, RUU ini juga berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya pasal 21 yang memberi kewenangan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam penanggulangan pornografi.
“Menurut kami itu bisa menimbulkan fungsi-fungsi swasta dan melemahkan institusi Polri,” jelas Agung.
Persoalan lain adalah beberapa pasal dalam RUU tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM). Misalnya, adanya larangan bagi setiap orang untuk memiliki dan menyimpan barang-barang yang berhubungan dengan pornografi artinya melanggar hak atas kepemilikian pribadi.
Contoh lain adalah adanya larangan memproduksi, memperdagangkan, mengekspor, dan mengimpor barang-barang yang ada hubungannya dengan pornografi.
“Yang FPDIP keberatan, saudara-saudara kita di Asmat, Papua kan kalau membuat patung banyak yang berupa benda-benda yang memperbentukkan ketelanjangan. Padahal itu untuk mata pencaharian, dijual di toko-toko souvenir,” ungkapnya.
Lebih jauh Agung mengatakan, dirinya yakin pengesahan RUU tersebut tidak akan bisa disahkan pada 23 September 2008.
“Tanggal 23 September itu nggak mungkin. Tanggal 18 September itu baru sikap masing-masing fraksi. Kemudian seminggu berikutnya kalau lancar kan baru masuk badan musyawarah (Bamus). Di Bamus baru diagendakan kapan akan diparipurnakan,” pungkasnya.
RUU Pornografi Beri Amunisi untuk Anarki
RUU Pornografi rencananya akan disahkan 23 September 2008. Pro dan kontra menyertainya. Salah satu pasal yang mengundang perdebatan adalah pasal 21 yang menyebutkan ‘Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”
“Itu akan memberi amunisi kepada para anarkis-anarkis itu,” kata anggota panja RUU Pornografi dari FPDIP, Eva Kusuma Sundari, kepada detikcom, Rabu (17/9).
Bersama FPDS, FPDIP yang menilai RUU Pornografi tidak beres karena multiinterpretatif. Menurut Eva, diperkenankannya peran serta masyarakat sebagaimana disebut dalam pasal 21 RUU tersebut berpeluang untuk semakin memberi tempat kepada para pelaku anarki dan justru memperlemah peran polisi sebagai aparat penegak hukum.
“Memang sepertinya itulah tujuan mereka (para pendukung),” ujarnya.
Eva mengakui, dalam pembahasan UU tersebut DPR tidak memiliki instrumen untuk mengantisipasi agar anarkisme yang dikhawatirkan tidak terjadi.
“Tidak ada (antisipasi). Saya nggak tahu apa maunya ini,” katanya.
Sumber: Hariansib
0 komentar :
Posting Komentar