Demikian dikatakan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, akhir pekan lalu.
”Pemerintah dan rakyat AS sama-sama boros. Keuangan Pemerintah AS dibiarkan defisit tinggi karena harus membiayai perang dan program jaring pengaman sosialnya, sementara perilaku rakyatnya besar pasak daripada tiang,” ujarnya.
Dijelaskan, meskipun neraca keuangan Pemerintah AS dan rakyatnya terus defisit, tetapi banyak negara di dunia yang mendanai defisit itu. Ini dibuktikan dengan tingginya penjualan obligasi dari pemerintah dan perusahaan AS, terutama yang diserap oleh negara seperti China, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, dan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.
Negara-negara itu telah mendanai banyak perusahaan di AS. Maka, ketika banyak perusahaan di AS nyaris bangkrut, negara-negara yang mendanainya juga terancam ambruk.
Contohnya, kasus dua perusahaan penyedia kredit pemilikan rumah (KPR) terbesar di AS, Fannie Mae dan Freddy Mac, yang terus merugi akibat krisis penyaluran kredit bermasalah sektor properti (subprime mortgage) mulai pertengahan 2007.
”Saya langsung berkomunikasi dengan Menteri Keuangan AS untuk mengetahui maksud Pemerintah AS menalangi kedua perusahaan itu. Intinya, Pemerintah AS ingin memulihkan sektor perumahan mereka dengan menyuntikkan dana hingga 100 miliar dollar AS ke masing-masing perusahaan,” katanya.
Hal tersebut, lanjut Menkeu, harus dilakukan karena banyak negara yang akan terkena dampaknya jika Fannie Mae dan Freddy Mac runtuh.
China, misalnya, memegang obligasi senilai 260 miliar dollar AS yang diterbitkan Fannie Mae dan Freddy Mac. Itu belum termasuk obligasi yang dibeli oleh perusahaan di Taiwan, Jepang, dan negara lain di Asia.
Sri Mulyani meyakini, dengan perilaku AS yang terus memelihara defisitnya, secara teoretis mata uang dollar AS akan terus melemah terhadap mata uang dunia lainnya. AS harus menutupi utangnya yang makin besar.
Dalam catatan Ensiklopedia Britannica: 2007 Book of The Year, tampak defisit anggaran AS terus meningkat, tahun 2002 defisit 473,94 miliar dollar AS, 2003 menjadi 530,66 miliar dollar AS, kemudian berturut-turut defisit 668,07 miliar dollar AS (2004), dan 791,51 dollar AS (2005).
Pertumbuhan ekonomi AS juga diperkirakan akan terus melambat sebab masih banyak industri di AS yang bangkrut setelah subprime mortgage.
”Pada akhirnya orang-orang sadar perekonomian AS tak akan bertahan terus. Jika ada masalah dan goncangan dalam perekonomian dunia saat ini, semua orang akan tahu episentrumnya di AS,” kata Menkeu.
Jangan lengah
Situasi menguatnya dollar AS terhadap mata uang dunia lainnya dalam seminggu terakhir ini sempat membuat pelaku pasar modal bingung. Seiring dengan itu, beberapa mata uang sempat menguat meski kemudian melemah dalam waktu yang sama cepatnya.
Hal itu terjadi karena diprediksi perekonomian Uni Eropa mengalami masalah sehingga investor bingung dan memutuskan kembali ke dollar AS. Ini juga terjadi di pasar uang Indonesia. Pada penutupan Jumat (12/9), nilai tukar rupiah di level Rp 9.435 per dollar AS, merosot dibandingkan dengan 9 September 2008, yakni rupiah di level Rp 9.350 per dollar AS.
Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bambang Soesatyo mengingatkan pemerintah agar tidak lengah dengan pelemahan rupiah, terutama terhadap sikap spekulan pasar uang yang telah berasumsi akan terjadi tekanan terhadap euro akibat resesi di Eropa. Dengan demikian, mereka akan memborong dollar AS.
Kondisi itu bisa menekan rupiah. Rupiah bisa terguncang jika menembus level Rp 9.500 per dollar AS. Diingatkan, target nilai tukar rupiah dalam APBN Perubahan 2008 adalah Rp 9.100-Rp 9.400 per dollar AS.
Sumber: kompas
0 komentar :
Posting Komentar