Aparat keamanan pun telah menangkap sejumlah orang yang tepergok mengedarkan daging yang berasal dari sapi yang dicekoki berliter-liter air itu. Berdasarkan pengakuan para tersangka daging itu sudah beredar di Blitar, Kediri, Trenggalek dan Tulungagung.
Ternyata daging ini tidak hanya merugikan konsumen secara materi, karena juga bisa memicu keracunan, bahkan kematian. Ini terjadi karena daging gelonggong ini bisa mengandung bakteri buruk yang mengancam kesehatan konsumen.
Peringatan ini disampaikan drh Yeti Rizal, Kepala Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Siterener, Dinas Peternakan, Perikanan, Kelautan, Pertanian dan Kehutanan (DPPKPK) Kota Surabaya, Kamis (11/9). Menurut Yeti, daging ini sama sekali tidak menguntungkan konsumen, karena nilai gizinya kurang dan mengandung bakteri buruk.
Kerugian lain, kata Yeti, adalah besar kemungkinan daging gelonggongan berasal dari bangkai. Menurut Yeti, penggelonggongan dengan memasukkan berliter-liter air ke tubuh sapi merupakan penyiksaan dan hewan yang tidak kuat akan mati sebelum disembelih. “Tentunya hewan tersebut sudah berstatus bangkai,” kata Yeti.
Pemilik sapi, kata Yeti, tidak mungkin mau rugi. Setelah menjadi bangkai pun, hewan tersebut tetap dipotong. Karena dianggap masih bisa dijual dan menghasilkan keuntungan. “Sudah pasti daging gelonggong ini lebih berat dibandingkan dengan daging normal,” ungkap Yeti.
Yeti menyebut penggelonggongan itu merupakan penipuan, karena timbangan daging gelonggong pasti lebih berat dibandingkan daging normal, tetapi menyusut bila dimasak.
Menurut Yeti, ada beberapa ciri daging gelonggong yang kasat mata. Daging ini berwarna merah pucat dan mengandung banyak air. Dengan begitu di tingkat pengecer, daging ini tidak akan digantung, karena airnya pasti terlihat mengucur. Bila diletakkan di meja, kata Yeti, air akan keluar dari daging itu ketika dipencet.
Pemkot Surabaya pun mulai merazia sejumlah pasar tradisional terkait kekhawatiran masuknya daging gelonggong ke Surabaya menjelang Lebaran ini. Sejumlah titik masuknya daging sapi juga mulai dijaga ketat. Tak terkecuali rumah potong hewan (RPH). Ini mengingat kebutuhan daging di Surabaya disuplai dari beberapa kota, antara lain Sidoarjo, Gersik, Jakarta.
“Tadi pagi kami rapat koordinasi dengan semua dinas terkait persiapan Lebaran. Termasuk razia pasar tradisional, soal keberadaan daging gelonggong serta harga-harga kebutuhan bahan pokok dan makanana minuman kedaluwarsa,” kata Wali Kota Surabaya Bambang DH.
Kepala Dinas Kesehatan Esty Martiana Rachmie menambahkan, daging glonggongan boleh dikonsumsi tergantung cara penyimpanannya. “Kalau masih segar boleh dikonsumsi. Terutama kalau penyimpanannya bagus daging tidak akan cepat busuk,” katanya.
Sementara itu, dari Kediri dilaporkan, Polsekta Kota Kediri meringkus 4 tersangka bisnis daging sapi gelonggong, yang biasa mengedarkan daging itu di wilayah eks Karesidenan Kediri, Kamis (11/9). Penangkapan ini berawal dari informasi ada penjualan daging sapi gelonggong di beberapa pasar sebelum fajar. Lalu, sejak awal Ramadan, polisi memantau sejumlah pasar. “Mendapat informasi demikian Pak Kapolresta memerintahkan jajaran polsekta mengawasi peredaran daging sapi di pasar,” ujar Kapolsekta Kota Kediri, AKP Supriyanto.
Sampai akhirnya polisi mendapatkan informasi pengiriman daging sapi gelonggong dari Tulungagung ke Pasar Setono Betek Kota Kediri. Ketika memeriksa satu per satu pickup pengakut daging masuk menuju pasar, petugas menemukan pikap L 300 AG 7568 ND memuat 7,5 kwintal daging sapi. Ketika diperiksa, diketahui ciri-ciri fisiknya mirip daging gelonggong, apalagi ketika diteliti ternyata di bak pikap ditemukan banyak ceceran air. “Ketika kami periksa, ketiga pelaku mengaku membawa daging gelonggong,” katanya.
Tiga orang yang ditangkap adalah sopir pikap Arifin, 32 warga Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kota Kediri, kuli angkut Siswojo, 26 warga Jl Myjen Sungkono Kelurahan Kutoanyar Tulungagung dan penyembelih sapi sekaligus penggelonggong Khomarudin, 28, warga Desa Gedangsewu Kecamatan Boyolangu Tulungagung. Polisi juga menahan Kepala RPH Tulungagung, Tarmuji yang diduga terlibat dengan meloloskan daging gelonggong itu..
Diungkapkan Supriyanto, awalnya petugas sempat terkecoh, ketika melihat daging 3 ekor sapi yang digantung di atas bak pikap. Daging itu berstempel Rumah Potong Hewan (RPH) Tulungagung, artinya baik dan aman dikonsumsi. “Tapi saat dipegang dan dirasakan tekstur daging sapi itu lembek, serta banyak air mengucur,” ungkapnya.
Dalam interogasi di Mapolsekta Kota Kediri, Khomarudin mengaku sejak setahun terakhir menjual daging sapi gelonggong ke Blitar, Trenggalek, Kediri dan Tulungagung sendiri. Dari seekor sapi yang digelonggong, ia untung Rp 400.000 dan ia mampu menjual daging 3-5 ekor sapi perhari. “Supaya tidak ketahuan, daging sapi saya campur dengan daging berstempel RPH,” katanya kepada wartawan.
Modus penggelonggongan itu sebagai berikut. Sapi dipaksa minum air sebanyak mungkin dan menurut Khomarudin bisa mencapai 20 liter. Kalau setelah digelonggong tidak sempoyongan, sapi itu akan dibawa ke RPU untuk dijagal. Sedangkan apabila hewan malang itu sempoyongan, tidak dibawanya ke RPH, tetapi disembelih sendiri. “Sekarang tidak bisa, cukup 20 persennya saja atau sekitar 4 liter, biar tidak sempoyongan dan bisa distempel RPH,” kata Khomarudin.
Keempat orang itu bisa dijerat pasal 8 Jo pasal 62 UU RI No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun. Secara terpisah Kepala Dinas Pertanian Kota Kediri, Semeru Singgih mengatakan akan terus berkoordinasi dengan polisi untuk mencegah semakin meluasnya peredaran daging sapi gelonggong di Kediri.
Sumber: www.surya.co.id
0 komentar :
Posting Komentar