Tiga kali sudah bencana alam Indonesia menciptakan fenomena dahsyat di planet Bumi. Gempa besar 26 Desember 2004 di lepas pantai barat Aceh, yang disusul dengan ombak maut yang menerjang 12 negara pantai Samudera Hindia adalah yang ketiga. Dua sebelumnya adalah letusan Tambora, Sumbawa di tahun 1815, dan letusan Krakatau di selat Sunda 1883.
Maut, kehancuran harta benda, kemusnahan panen dan kelaparan adalah impact seketika dari dua letusan gunung api itu, namun rangkaian yang mengikutinya bukan saja keganjilan cuaca atau redupnya sinar surya, tapi juga perubahan kekuatan geo-politik lokal dan global.
Di Sumbawa kengerian tiada terkira, 48.000 orang menemui ajalnya sementara 36.275 lainnya mengungsi ke luar pulau. Erupsi Tambora menyusutkan populasi Sumbawa sampai 85.000 jiwa. Keadaan politik setempat berubah oleh lenyapnya dua kerajaan, Pekat dan Tambora. Menurut sebuah naskah asli, ” kapal boleh berlabuh di mana bekas negeri Tambora adanya”.
Namun gambaran ini cuma bersumber dari buku harian, naskah asli dan jurnal cuaca. Belum ada penelitian meteorologi dan teknologi komunikasi canggih seperti jaman sekarang. Belakangan baru orang bisa mempertautkan letusan Tambora di Indonesia pertengahan April – sampai pertengahan Juli 1815 itu dan dampak yang diciptakannya di tempat tempat lain di dunia.
Gara gara Tambora, dunia mengenang tahun 1816 sebagai ” tahun tanpa musim panas”. Di Eropa Barat, Amerika dan Kanada berembus udara beku (frosts) yang mematikan. . Debu pasir vulkanis yang disemburnya menyelimuti permukaan laut, dan abu pekat yang gentayangan sepanjang setahun berikutnya menutup sinar matahari.
Pola cuaca yang jungkir balik terjadi di hampir seantero belahan utara Bumi. Salju turun di New England, AS, pada bulan Juni, dan frost July – Agustus, membuat paceklik (yang bukan oleh kemarau).
Udara beku juga mematikan tanaman pangan di Eropa dan Kanada, menyebabkan kekurangan makanan. Kerusuhan yang disebabkan oleh rebutan jatah makanan meledak di Perancis dan Swiss. Di Irlandia, curah hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas itu, dan di sana 65.000 orang mati oleh kelaparan dan tipus. Wabah kholera dan tipus yang menyebar ke wilayah wilayah Eropa, membunuh 200.000 orang.
Tambora meledakkan katupnya 12 April, yang paling mengerikan dari hari hari puncak letusan 10 – 15 April. Para ahli menyebutkan letusan ini sebagai yang terbesar sepanjang 10.000 tahun.
Kekalahan Napoleon
Tambora menguak takdir Napoleon Bonaparte.
Fenomena teramat asing yang diciptakan ledakan gunung api di Indonesia itu membuat perhitungan strategi dan taktik perang di Eropa meleset. Di Waterloo, Napoleon memutuskan untuk mengundurkan jam serangan, mengharapkan cuaca akan lebih menguntungkan selepas tengah hari. Namun cuaca tetap murung, dan di ambang petang 18 Juni 1815 itu ia terjepit oleh pasukan Sekutu (Inggris-Prussia) dan kalah.
Cuaca buruk menjadi penyebab utama kekalahannya. Napoleon tidak berhasil menghimpun semua kekuatan pada waktunya. Jumlah pasukannya kalah besar ketimbang pasukan lawan yang sudah lebih dulu siap. Tanah yang belum kering (oleh salju), menjadi becek oleh guyuran hujan di luar musim. Roda roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Komunikasi tak bisa dijalin cepat, konsolidasi pasukan lambat. Infantri dan kavalerinya bergerak terseok-seok. ” Perang 100 hari” yang disiapkannya begitu lolos dari Elbe berakhir di desa di tanah rendah Belgia itu. Era Napoleon pun tamat. Inggris yang menduduki Indonesia mengembalikan kekuasaannya ke Belanda, sekutunya dalam perang Eropa.
Bencana Krakatau
Krakatau meletus 26 Agustus 1883 yang seperti juga Tambora, diantar oleh serentetan ledakan yang terjadi dalam beberapa bulan sebelumnya. Tiga kali puncak ledakan yang terjadi di pagi hari 26 Agustus itu terdengar gaungnya sampai sejauh Alice Springs, Australia (3500 Km), Filipina, Madagaskar dan pulau pulau sejauh 4800 Km di Pasifik. Daya ledaknya ditaksir sampai 21.547,6 kali bom atom. Suara ledakan Krakatau terkeras sepanjang sejarah tertulis (kendati dipercaya suara ledakan Tambora 1815 pasti lebih keras).
Gelombang tsunami yang ditimbulkannya seketika menyapu kota kota pantai di Jawa dan Sumatra, yang menimbulkan 36.417 orang tewas. Keseluruhan korban jiwa akibat terjangan gelombang raksasa mencapai lebih 100 ribu. Ada dokumen yang menyebutkan penemuan seonggok mayat di ” rakit” batu apung yang terdampar ke pantai Afrika setahun kemudian. Letusan Krakatau pun ” bertanggungjawab” atas iklim global. Dunia sempat gelap dua setengah hari dan karena lapisan atas atmosfir masih dilekati lapisan abu vulkanis, matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Debu yang mengawan nampak di langit Norwegia.
Tsunami
Bencana alam ketiga yang menjadikan Indonesia fenomenal dunia adalah yang terjadi Minggu pagi 26 Desember 2004. Masyarakat internasional digemparkan oleh malapetaka yang menimpa belasan negeri tepian lautan Hindia akibat oleh tsunami yang bersumber dari gempa di pantai barat Aceh. Yang terakhir ini membangkitkan solidaritas internasional yang luar biasa. Sudah US$ 1,5 miliar bantuan diikarkan. Kamis (6/1) besok, 25 pemimpin negara dan lembaga internasional berkumpul seharian di Jakarta untuk membahas penanggulangan pascabencana tersebut.
Dalam pada itu, Indonesia juga sering mengusik keinginan tahu bangsa-bangsa lain karena pertikaian dan baku bunuh sesama bangsanya sendiri. Kerusuhan sosial Jakarta 1998 belum hilang dari ingatan. Di sejumlah daerah, konflik silih berganti. Yang menjadi omongan orang adalah:”Apakah hanya oleh bencana alam dan bencana akibat ulah manusianya, dunia ‘memandang’ kita?”
Sumber: www.sinarharapan.co.id
Maut, kehancuran harta benda, kemusnahan panen dan kelaparan adalah impact seketika dari dua letusan gunung api itu, namun rangkaian yang mengikutinya bukan saja keganjilan cuaca atau redupnya sinar surya, tapi juga perubahan kekuatan geo-politik lokal dan global.
Di Sumbawa kengerian tiada terkira, 48.000 orang menemui ajalnya sementara 36.275 lainnya mengungsi ke luar pulau. Erupsi Tambora menyusutkan populasi Sumbawa sampai 85.000 jiwa. Keadaan politik setempat berubah oleh lenyapnya dua kerajaan, Pekat dan Tambora. Menurut sebuah naskah asli, ” kapal boleh berlabuh di mana bekas negeri Tambora adanya”.
Namun gambaran ini cuma bersumber dari buku harian, naskah asli dan jurnal cuaca. Belum ada penelitian meteorologi dan teknologi komunikasi canggih seperti jaman sekarang. Belakangan baru orang bisa mempertautkan letusan Tambora di Indonesia pertengahan April – sampai pertengahan Juli 1815 itu dan dampak yang diciptakannya di tempat tempat lain di dunia.
Gara gara Tambora, dunia mengenang tahun 1816 sebagai ” tahun tanpa musim panas”. Di Eropa Barat, Amerika dan Kanada berembus udara beku (frosts) yang mematikan. . Debu pasir vulkanis yang disemburnya menyelimuti permukaan laut, dan abu pekat yang gentayangan sepanjang setahun berikutnya menutup sinar matahari.
Pola cuaca yang jungkir balik terjadi di hampir seantero belahan utara Bumi. Salju turun di New England, AS, pada bulan Juni, dan frost July – Agustus, membuat paceklik (yang bukan oleh kemarau).
Udara beku juga mematikan tanaman pangan di Eropa dan Kanada, menyebabkan kekurangan makanan. Kerusuhan yang disebabkan oleh rebutan jatah makanan meledak di Perancis dan Swiss. Di Irlandia, curah hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas itu, dan di sana 65.000 orang mati oleh kelaparan dan tipus. Wabah kholera dan tipus yang menyebar ke wilayah wilayah Eropa, membunuh 200.000 orang.
Tambora meledakkan katupnya 12 April, yang paling mengerikan dari hari hari puncak letusan 10 – 15 April. Para ahli menyebutkan letusan ini sebagai yang terbesar sepanjang 10.000 tahun.
Kekalahan Napoleon
Tambora menguak takdir Napoleon Bonaparte.
Fenomena teramat asing yang diciptakan ledakan gunung api di Indonesia itu membuat perhitungan strategi dan taktik perang di Eropa meleset. Di Waterloo, Napoleon memutuskan untuk mengundurkan jam serangan, mengharapkan cuaca akan lebih menguntungkan selepas tengah hari. Namun cuaca tetap murung, dan di ambang petang 18 Juni 1815 itu ia terjepit oleh pasukan Sekutu (Inggris-Prussia) dan kalah.
Cuaca buruk menjadi penyebab utama kekalahannya. Napoleon tidak berhasil menghimpun semua kekuatan pada waktunya. Jumlah pasukannya kalah besar ketimbang pasukan lawan yang sudah lebih dulu siap. Tanah yang belum kering (oleh salju), menjadi becek oleh guyuran hujan di luar musim. Roda roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Komunikasi tak bisa dijalin cepat, konsolidasi pasukan lambat. Infantri dan kavalerinya bergerak terseok-seok. ” Perang 100 hari” yang disiapkannya begitu lolos dari Elbe berakhir di desa di tanah rendah Belgia itu. Era Napoleon pun tamat. Inggris yang menduduki Indonesia mengembalikan kekuasaannya ke Belanda, sekutunya dalam perang Eropa.
Bencana Krakatau
Krakatau meletus 26 Agustus 1883 yang seperti juga Tambora, diantar oleh serentetan ledakan yang terjadi dalam beberapa bulan sebelumnya. Tiga kali puncak ledakan yang terjadi di pagi hari 26 Agustus itu terdengar gaungnya sampai sejauh Alice Springs, Australia (3500 Km), Filipina, Madagaskar dan pulau pulau sejauh 4800 Km di Pasifik. Daya ledaknya ditaksir sampai 21.547,6 kali bom atom. Suara ledakan Krakatau terkeras sepanjang sejarah tertulis (kendati dipercaya suara ledakan Tambora 1815 pasti lebih keras).
Gelombang tsunami yang ditimbulkannya seketika menyapu kota kota pantai di Jawa dan Sumatra, yang menimbulkan 36.417 orang tewas. Keseluruhan korban jiwa akibat terjangan gelombang raksasa mencapai lebih 100 ribu. Ada dokumen yang menyebutkan penemuan seonggok mayat di ” rakit” batu apung yang terdampar ke pantai Afrika setahun kemudian. Letusan Krakatau pun ” bertanggungjawab” atas iklim global. Dunia sempat gelap dua setengah hari dan karena lapisan atas atmosfir masih dilekati lapisan abu vulkanis, matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Debu yang mengawan nampak di langit Norwegia.
Tsunami
Bencana alam ketiga yang menjadikan Indonesia fenomenal dunia adalah yang terjadi Minggu pagi 26 Desember 2004. Masyarakat internasional digemparkan oleh malapetaka yang menimpa belasan negeri tepian lautan Hindia akibat oleh tsunami yang bersumber dari gempa di pantai barat Aceh. Yang terakhir ini membangkitkan solidaritas internasional yang luar biasa. Sudah US$ 1,5 miliar bantuan diikarkan. Kamis (6/1) besok, 25 pemimpin negara dan lembaga internasional berkumpul seharian di Jakarta untuk membahas penanggulangan pascabencana tersebut.
Dalam pada itu, Indonesia juga sering mengusik keinginan tahu bangsa-bangsa lain karena pertikaian dan baku bunuh sesama bangsanya sendiri. Kerusuhan sosial Jakarta 1998 belum hilang dari ingatan. Di sejumlah daerah, konflik silih berganti. Yang menjadi omongan orang adalah:”Apakah hanya oleh bencana alam dan bencana akibat ulah manusianya, dunia ‘memandang’ kita?”
Sumber: www.sinarharapan.co.id
0 komentar :
Posting Komentar