JARUM jam di Hotel Marriott, Moskwa, sudah menunjuk angka 24.00. Sudah tengah malam rupanya. Waktu yang tersisa bagi kami untuk menikmati ibu kota Rusia ini tak lebih dari 18 jam lagi. Usaha beberapa teman untuk memperpanjang waktu tinggal di kota ini gagal. Pasalnya, tak ada penerbangan untuk lusa. Kalau mau, kami baru bisa balik ke Jakarta empat hari lagi. Ah, terlalu lamalah.
Meski pagi hampir menjelang, kami memilih keluar hotel menikmati Moskwa di waktu malam. Alex, warga negara Rusia pendamping kami selama di Moskwa, sangat fasih berbahasa Indonesia, bahkan dengan gaya “elu-gue”. Ayahnya adalah orang Medan yang menikah dengan perempuan Rusia.
Ia mengajak kami melihat-lihat kehidupan malam di kota ini. Sebagaimana laiknya kota besar, ada sudut-sudut Kota Moskwa yang tidak pernah tidur sepanjang malam. Di sini kehidupan justru menggeliat saat hari mulai gelap. Dengan dua taksi kami menyusuri jalan-jalan kota yang lengang.
Tak sampai 20 menit taksi yang membawa kami dari hotel berhenti di sebuah gedung yang mirip ruko di Jakarta. Night Flight, tulisan itu terang benderang bersinar lampu di bagian atas gedung ini. Sejumlah lelaki berbadan tegap dengan setelan jas hitam berdiri sangar di depan pintu masuk.
Night Flight bukan lokalisasi. Di Moskwa, kafe yang buka sejak pukul 10.00 malam sampai pukul 05.00 ini terkenal sebagai tempat makan dan bersantai. Hanya saja, ada “layanan plus” tersembunyi di dalamnya.
Dengan konsep manajemen dan hidangan ala Swedia, kafe ini sudah dibuka lebih dari 15 tahun. Hingga hari ini mereka masih berani mengklaim, Night Flight adalah destinasi utama untuk kehidupan malam di kota Moskwa. Berlokasi di jalan utama kota, Tverskaya 17, menjadikan tempat ini benar-benar berada di jantung kota Moskwa, bahkan tak berapa jauh dari benteng Kremlin dan Lapangan Merah, serta kawasan elite Pushkinskaya Square. Jalan Tverskaya adalah “Jalan Mangga Besarnya”-nya Moskwa. Di sepanjang jalan ini terdapat restoran, bar, kasino, dan klub malam.
Di tengah pandangan tajam para bodyguard, kami pun memasuki Night Flight. Di ruangan pertama, kami berhadapan dengan meja resepsionis. Setiap kepala harus membayar 900 rubel untuk tiket masuk, termasuk free first drink. Tak lupa kami diminta melepas mantel dan menitipkannya kepada seorang petugas yang ada di seberang resepsionis. Ya, mirip penitipan tas di toko buku, bedanya mantel-mantel kami digantung pada hanger yang tersusun rapi.
Eit, belum selesai. Di dalam klub ini dilarang memotret. Kami semua digeledah. Saya hampir kedapatan membawa kamera poket. Untung barang itu sudah saya pindahkan ke kantong jas, jadi si bodyguard tak menemukan apa-apa pada tas kamera yang tergantung di pinggang. Tapi, meski berhasil menyusupkan kamera ke dalam, saya tak punya nyali untuk memakainya. Bisa bahaya, pikir saya.
Seperti di Indonesia, prostitusi merupakan bisnis ilegal. Seperti di Indonesia pula, di Rusia tak ada yang peduli dengan praktik tersebut. Polisi pun kabarnya tak ambil pusing dengan kegiatan ini. Sementara kelompok mafia Rusia disebut-sebut menjadi backing dari semua bisnis itu.
Suasana remang dengan kilatan cahaya lampu serta gambar-gambar gadis dengan pose vulgar yang dipajang di sepanjang dinding ruangan seolah menyambut kedatangan para tamu. Di sebelah kiri ada bar dengan bentuk memanjang ke dalam. Ratusan botol minuman di dalam rak berdinding cermin tersusun rapi. Di sekitar bar belasan gadis rusia tampak hilir mudik. Sebagian dari mereka terlihat asyik berbincang dengan pria-pria bule yang kebanyakan mengenakan setelan jas lengkap. Sementara sebagian lainnya hanya berdiri dan mengobrol, sambil sesekali mencuri pandang ke arah sekelompok lelaki yang baru masuk ke klub.
Ruangan dalam klub ini sempit sekali. Pengunjung saling berdesakan di dalam. Gadis-gadis cantik dan seksi berseliweran. Di Indonesia tampang mereka pasti jadi incaran para produser sinetron. Di bagian atas ruangan ada semacam mezanin, lantai tambahan yang juga diisi dengan kursi dan meja. Dari tempat itu bisa terlihat suasana di seputar klub.
Tepat di seberang mezanin, di atas pintu masuk, ada panggung kecil dekat langit-langit. Ukurannya hanya 1 x 2 meter, mungkin lebih kecil. Di panggung itu penari seksi berpakaian mini melenggok diiringi dentuman musik yang keras. Bukan striptease memang, tapi dari gerakannya, ya ini satu level di bawah striptease-lah. Bedanya, sepanjang tarian pakaian mini berwarna emas yang membalut tubuh para penari tetap melekat, alias tak dicopot.
Seorang gadis cantik dibalut baju ketat berwarna merah muda dengan rok putih berjalan mendekati saya. "One thousand dollar," katanya to the point setengah berteriak karena kerasnya dentuman musik. Matanya mengerling nakal. Ia tersenyum dan mengembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi. Saya tersenyum kecut. Bukankah 1.000 dollar AS hampir Rp 10 juta?
Di sudut lain seorang gadis memperkenalkan diri. Namanya Svetla. Tubuhnya juga berbalut baju pink dengan paduan jeans putih ketat. Di tengah ingar-bingar dentuman musik yang memekakkan telinga ia nyaris berteriak di kuping saya, ”Seven hundreds dollar.”
Saya tak menanggapi lebih jauh soal harga. Dengan bahasa Inggris yang sangat baik, dia mengaku sebagai mahasiswi jurusan ekonomi sebuah universitas di Moskwa. Dia sempat menyebutkan nama universitasnya, tapi saya lupa.
Masih menjawab pertanyaan saya, gadis yang tingginya hanya sekitar 165 cm itu mengaku berumur 24 tahun. "Orangtua saya tak tahu apa yang saya lakukan. Mereka pikir saya bermalam di rumah teman," begitu dia bercerita sambil terus merapikan rambut hitam mengilat yang dibiarkan tergerai menutupi punggung. Cerita klasik kota metropolis. Saya sering mendengar cerita yang sama di Jakarta.
Di ruangan ini semua wanita cantik itu terlihat berkelas. Seorang gadis terlihat menggenggam telepon seluler Vertu di tangannya. Sayangnya, saya tak terlalu mengerti dengan merek sepatu atau tas yang mereka gunakan. Kalau saja saya tahu, tentu saya bisa membayangkan berapa banyak uang yang mereka punya untuk dandan dan dating ke klub ini.
Tak lama di tempat itu, kami memutuskan pulang. Di halaman parkir kami melihat salah seorang gadis cantik yang tadi kami lihat di dalam. Ia melenggang sendiri dan masuk ke dalam mobil BMW SUV X5. Ia duduk di belakang kemudi dan mobil mewah itu melesat hilang ditelan malam.
”Gadis-gadis di sini umumnya punya mobil sendiri. Di dalam klub mereka hanya deal harga lalu bertemu dengan teman kencannya di tempat yang ditentukan,” ujar Alex, seolah mengerti pertanyaan yang berkecamuk di benak kami.
Sumber: www.kompas.com
Meski pagi hampir menjelang, kami memilih keluar hotel menikmati Moskwa di waktu malam. Alex, warga negara Rusia pendamping kami selama di Moskwa, sangat fasih berbahasa Indonesia, bahkan dengan gaya “elu-gue”. Ayahnya adalah orang Medan yang menikah dengan perempuan Rusia.
Ia mengajak kami melihat-lihat kehidupan malam di kota ini. Sebagaimana laiknya kota besar, ada sudut-sudut Kota Moskwa yang tidak pernah tidur sepanjang malam. Di sini kehidupan justru menggeliat saat hari mulai gelap. Dengan dua taksi kami menyusuri jalan-jalan kota yang lengang.
Tak sampai 20 menit taksi yang membawa kami dari hotel berhenti di sebuah gedung yang mirip ruko di Jakarta. Night Flight, tulisan itu terang benderang bersinar lampu di bagian atas gedung ini. Sejumlah lelaki berbadan tegap dengan setelan jas hitam berdiri sangar di depan pintu masuk.
Night Flight bukan lokalisasi. Di Moskwa, kafe yang buka sejak pukul 10.00 malam sampai pukul 05.00 ini terkenal sebagai tempat makan dan bersantai. Hanya saja, ada “layanan plus” tersembunyi di dalamnya.
Dengan konsep manajemen dan hidangan ala Swedia, kafe ini sudah dibuka lebih dari 15 tahun. Hingga hari ini mereka masih berani mengklaim, Night Flight adalah destinasi utama untuk kehidupan malam di kota Moskwa. Berlokasi di jalan utama kota, Tverskaya 17, menjadikan tempat ini benar-benar berada di jantung kota Moskwa, bahkan tak berapa jauh dari benteng Kremlin dan Lapangan Merah, serta kawasan elite Pushkinskaya Square. Jalan Tverskaya adalah “Jalan Mangga Besarnya”-nya Moskwa. Di sepanjang jalan ini terdapat restoran, bar, kasino, dan klub malam.
Di tengah pandangan tajam para bodyguard, kami pun memasuki Night Flight. Di ruangan pertama, kami berhadapan dengan meja resepsionis. Setiap kepala harus membayar 900 rubel untuk tiket masuk, termasuk free first drink. Tak lupa kami diminta melepas mantel dan menitipkannya kepada seorang petugas yang ada di seberang resepsionis. Ya, mirip penitipan tas di toko buku, bedanya mantel-mantel kami digantung pada hanger yang tersusun rapi.
Eit, belum selesai. Di dalam klub ini dilarang memotret. Kami semua digeledah. Saya hampir kedapatan membawa kamera poket. Untung barang itu sudah saya pindahkan ke kantong jas, jadi si bodyguard tak menemukan apa-apa pada tas kamera yang tergantung di pinggang. Tapi, meski berhasil menyusupkan kamera ke dalam, saya tak punya nyali untuk memakainya. Bisa bahaya, pikir saya.
Seperti di Indonesia, prostitusi merupakan bisnis ilegal. Seperti di Indonesia pula, di Rusia tak ada yang peduli dengan praktik tersebut. Polisi pun kabarnya tak ambil pusing dengan kegiatan ini. Sementara kelompok mafia Rusia disebut-sebut menjadi backing dari semua bisnis itu.
Suasana remang dengan kilatan cahaya lampu serta gambar-gambar gadis dengan pose vulgar yang dipajang di sepanjang dinding ruangan seolah menyambut kedatangan para tamu. Di sebelah kiri ada bar dengan bentuk memanjang ke dalam. Ratusan botol minuman di dalam rak berdinding cermin tersusun rapi. Di sekitar bar belasan gadis rusia tampak hilir mudik. Sebagian dari mereka terlihat asyik berbincang dengan pria-pria bule yang kebanyakan mengenakan setelan jas lengkap. Sementara sebagian lainnya hanya berdiri dan mengobrol, sambil sesekali mencuri pandang ke arah sekelompok lelaki yang baru masuk ke klub.
Ruangan dalam klub ini sempit sekali. Pengunjung saling berdesakan di dalam. Gadis-gadis cantik dan seksi berseliweran. Di Indonesia tampang mereka pasti jadi incaran para produser sinetron. Di bagian atas ruangan ada semacam mezanin, lantai tambahan yang juga diisi dengan kursi dan meja. Dari tempat itu bisa terlihat suasana di seputar klub.
Tepat di seberang mezanin, di atas pintu masuk, ada panggung kecil dekat langit-langit. Ukurannya hanya 1 x 2 meter, mungkin lebih kecil. Di panggung itu penari seksi berpakaian mini melenggok diiringi dentuman musik yang keras. Bukan striptease memang, tapi dari gerakannya, ya ini satu level di bawah striptease-lah. Bedanya, sepanjang tarian pakaian mini berwarna emas yang membalut tubuh para penari tetap melekat, alias tak dicopot.
Seorang gadis cantik dibalut baju ketat berwarna merah muda dengan rok putih berjalan mendekati saya. "One thousand dollar," katanya to the point setengah berteriak karena kerasnya dentuman musik. Matanya mengerling nakal. Ia tersenyum dan mengembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi. Saya tersenyum kecut. Bukankah 1.000 dollar AS hampir Rp 10 juta?
Di sudut lain seorang gadis memperkenalkan diri. Namanya Svetla. Tubuhnya juga berbalut baju pink dengan paduan jeans putih ketat. Di tengah ingar-bingar dentuman musik yang memekakkan telinga ia nyaris berteriak di kuping saya, ”Seven hundreds dollar.”
Saya tak menanggapi lebih jauh soal harga. Dengan bahasa Inggris yang sangat baik, dia mengaku sebagai mahasiswi jurusan ekonomi sebuah universitas di Moskwa. Dia sempat menyebutkan nama universitasnya, tapi saya lupa.
Masih menjawab pertanyaan saya, gadis yang tingginya hanya sekitar 165 cm itu mengaku berumur 24 tahun. "Orangtua saya tak tahu apa yang saya lakukan. Mereka pikir saya bermalam di rumah teman," begitu dia bercerita sambil terus merapikan rambut hitam mengilat yang dibiarkan tergerai menutupi punggung. Cerita klasik kota metropolis. Saya sering mendengar cerita yang sama di Jakarta.
Di ruangan ini semua wanita cantik itu terlihat berkelas. Seorang gadis terlihat menggenggam telepon seluler Vertu di tangannya. Sayangnya, saya tak terlalu mengerti dengan merek sepatu atau tas yang mereka gunakan. Kalau saja saya tahu, tentu saya bisa membayangkan berapa banyak uang yang mereka punya untuk dandan dan dating ke klub ini.
Tak lama di tempat itu, kami memutuskan pulang. Di halaman parkir kami melihat salah seorang gadis cantik yang tadi kami lihat di dalam. Ia melenggang sendiri dan masuk ke dalam mobil BMW SUV X5. Ia duduk di belakang kemudi dan mobil mewah itu melesat hilang ditelan malam.
”Gadis-gadis di sini umumnya punya mobil sendiri. Di dalam klub mereka hanya deal harga lalu bertemu dengan teman kencannya di tempat yang ditentukan,” ujar Alex, seolah mengerti pertanyaan yang berkecamuk di benak kami.
Sumber: www.kompas.com
0 komentar :
Posting Komentar