Menerapkan program edukasi kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja terutama di sekolah adalah hal yang mendesak untuk dilakukan. Tetapi sebelum program diwujudkan, perlu lebih dulu disusun suatu modul atau panduan standar bagi para guru dan tenaga pendidik dalam mengajarkan di sekolah.
Seperti diutarakan Dr. Tini Setiawan M, Kes, perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia untuk masalah Kesehatan dan Perkembangan Remaja, pembuatan modul ini penting karena akan menjadi acuan dalam menyampaikan informasi yang tepat tentang masalah kesehatan reproduksi kepada remaja.
"Bicara soal promotif dan preventif, kita memang membutuhkan modul khusus yang menjadi pegangan guru atau tenaga pendidik dan siapa saja yang perduli dengan kesehatan remaja. Mereka jadi punya panduan untuk mengajar. Tentu bahannya harus diolah oleh para ahli dan tokoh pendidik di negara kita," ujar Tini dalam seminar Kesehatan Reproduksi yang digagas Departemen Hukum dan Ham di Jakarta, Jumat (29/8).
Ia menekankan, pembuatan modul standar ini tidaklah mudah karena tantangan yang terbesar adalah menyusun metode dan penyampaian informasi yang sesuai dengan etika dan budaya tanah air.
"Kita tidak bisa dengan mengadopsi 100 persen dari buku-buku luar negeri karena faktor budaya yang berbeda. Oleh karena itulah, WHO hadir di Indonesia memberikan pendampingan teknis kepada Departemen Kesehatan. Bersama-sama nanti kita akan mengemas guidelines atau modul seperti apa yang layak diberikan di negeri kita,"paparnya.
Tini juga mengharapkan, modul ini nantinya akan menjadi bagian dari kurikulum sekolah mengingat pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual belum nyata dilakukan. Pengenalan kesehatan reproduksi saat ini hanya dibahas sekilas di mata pelajaran biologi di sekolah menengah tanpa mengulas hal-hal yang mendalam yang terjadi sehari-hari.
"Saya harap begitu, modul ini nantinya akan menjadi bagian kurikulum karena semua guru adalah ujung tombak terdepan dalam mendidik anak-anak dan remaja. Kalau semua guru bisa menguasai dan bisa membagikan ilmunya dengan baik otomatis hasilnya bisa maksimal," tegasnya.
Intinya, lanjut Tini, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada kalangan usia remaja dan anak-anak bertujuan mengenali diri serta melindungi dari kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Untuk usia sekolah menengah seperti SMP-SMA, WHO bekerja sama dengan Depkes sebenarnya telah menyusun materi pengenalan kesehatan reproduksi dan seksual.
Materi ini telah telah dintegrasikan dalam program kesehatan remaja Depkes dan disebarluaskan ke seluruh Puskesmas. Tetapi dari 8.000 puskesmas seluruh Indonesia, baru 10 persen saja yang menyediakan layanan kesehatan untuk remaja.
"Harapannya ke depan, seluruh Puskesmas juga dapat melayani sekolah di wilayah kerjanya masing-masing untuk memberikan bantuan informasi kesehatan reproduksi dan seksual, sehingga menjawab kebutuhan guru-guru di lapangan," paparnya.
Tini juga berharap, tahun ini pihaknya akan menyusun buku-buku kesehatan reproduksi untuk pendidikan dasar. Dengan begitu, buku ini juga dapat menjadi pegangan para guru SD supaya dapat memberikan pengajaran yang tepat kepada anak-anak.
Sumber: www.kompas.com
Seperti diutarakan Dr. Tini Setiawan M, Kes, perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia untuk masalah Kesehatan dan Perkembangan Remaja, pembuatan modul ini penting karena akan menjadi acuan dalam menyampaikan informasi yang tepat tentang masalah kesehatan reproduksi kepada remaja.
"Bicara soal promotif dan preventif, kita memang membutuhkan modul khusus yang menjadi pegangan guru atau tenaga pendidik dan siapa saja yang perduli dengan kesehatan remaja. Mereka jadi punya panduan untuk mengajar. Tentu bahannya harus diolah oleh para ahli dan tokoh pendidik di negara kita," ujar Tini dalam seminar Kesehatan Reproduksi yang digagas Departemen Hukum dan Ham di Jakarta, Jumat (29/8).
Ia menekankan, pembuatan modul standar ini tidaklah mudah karena tantangan yang terbesar adalah menyusun metode dan penyampaian informasi yang sesuai dengan etika dan budaya tanah air.
"Kita tidak bisa dengan mengadopsi 100 persen dari buku-buku luar negeri karena faktor budaya yang berbeda. Oleh karena itulah, WHO hadir di Indonesia memberikan pendampingan teknis kepada Departemen Kesehatan. Bersama-sama nanti kita akan mengemas guidelines atau modul seperti apa yang layak diberikan di negeri kita,"paparnya.
Tini juga mengharapkan, modul ini nantinya akan menjadi bagian dari kurikulum sekolah mengingat pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual belum nyata dilakukan. Pengenalan kesehatan reproduksi saat ini hanya dibahas sekilas di mata pelajaran biologi di sekolah menengah tanpa mengulas hal-hal yang mendalam yang terjadi sehari-hari.
"Saya harap begitu, modul ini nantinya akan menjadi bagian kurikulum karena semua guru adalah ujung tombak terdepan dalam mendidik anak-anak dan remaja. Kalau semua guru bisa menguasai dan bisa membagikan ilmunya dengan baik otomatis hasilnya bisa maksimal," tegasnya.
Intinya, lanjut Tini, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada kalangan usia remaja dan anak-anak bertujuan mengenali diri serta melindungi dari kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Untuk usia sekolah menengah seperti SMP-SMA, WHO bekerja sama dengan Depkes sebenarnya telah menyusun materi pengenalan kesehatan reproduksi dan seksual.
Materi ini telah telah dintegrasikan dalam program kesehatan remaja Depkes dan disebarluaskan ke seluruh Puskesmas. Tetapi dari 8.000 puskesmas seluruh Indonesia, baru 10 persen saja yang menyediakan layanan kesehatan untuk remaja.
"Harapannya ke depan, seluruh Puskesmas juga dapat melayani sekolah di wilayah kerjanya masing-masing untuk memberikan bantuan informasi kesehatan reproduksi dan seksual, sehingga menjawab kebutuhan guru-guru di lapangan," paparnya.
Tini juga berharap, tahun ini pihaknya akan menyusun buku-buku kesehatan reproduksi untuk pendidikan dasar. Dengan begitu, buku ini juga dapat menjadi pegangan para guru SD supaya dapat memberikan pengajaran yang tepat kepada anak-anak.
Sumber: www.kompas.com
0 komentar :
Posting Komentar